PARBOABOA - Karut-marut kancah sepak bola usia dini di Indonesia rupanya bukan perkara baru bagi Firman Utina (42). Mantan pemain Timnas Nasional senior itu sudah mengalaminya sejak puluhan tahun silam.
Di era 90-an, dunia si kulit bundar hanya terdengar riuh di kota-kota besar saja. Sementara di Manado, terpaut 3.000 kilometer jauhnya dari Ibukota Jakarta – obrolan serius seputar masa depan sepak bola masih sayup-sayup terdengar.
Ia hanya menjadi permainan pelepas hobi, sekadar menghabiskan waktu senggang anak-anak kampung seperti Firman, sembari menanti fajar tenggelam di Kota Nyiur Melambai.
Firman, yang saat itu memasuki usia 11 tahun mulai tertarik untuk mempertajam skill bertanding. Ia lalu memutuskan bergabung bersama SSB Indonesia Muda Manado.
Harapannya seketika patah, persis di tahun-tahun awal. Eks pemain Arema Malang itu mengendus sebanjar masalah. Nafas pembinaan terasa sesak, jauh dari ekspektasinya.
Para pemain tidak dikelompokkan berdasarkan kategori usia. Ia kadang berlatih bersama senior-senior yang usianya terpaut jauh. Semua dipukul rata.
“Pengetahuan orang-orang dulu tentang grassroot itu jarang. Sepak bola anak jarang diperhatikan,” cerita Firman saat ditemui PARBOABOA di Basecamp Dewa United, BSD City Tangerang, Banten, Kamis (20/06/2024).
Di benaknya, iklim pembinaan sepak bola usia dini di SSB bakal berbeda, lebih terintegrasi dan berkelanjutan. Ia bisa belajar banyak hal di sana, mulai dari penguatan teknik dasar, taktik, hingga pengembangan fisik.
Sialnya, ideal pembinaan semacam itu tak ia dapatkan. Firman juga harus menarik nafas panjang di tengah porsi waktu latihan yang tidak maksimal saban kali hendak mengikuti turnamen.
"Jika ada pertandingannya baru digelar persiapan. Setelah turnamen selesai, tidak ada lagi persiapan atau latihan," ujarnya.
Struktur kompetisi usia dini yang amburadul dan tidak terorganisir dengan baik, bikin masalah tambah pelik.
Di Sulawesi Utara, tempat pertama ia mulai meniti karier sepak bola, turnamen atau liga usia dini yang berkelanjutan masih jarang digelar.
Alhasil, banyak pemain berbakat sulit mereguk pengalaman bertanding. Firman terpaksa harus bertarung dengan tim senior dalam beberapa laga, meski di usianya yang baru 13 tahun kala itu.
"Jadi terkadang, saking minimnya kompetisi di usia dini saat itu, kami kerap dilibatkan bertanding dengan orang dewasa," ia mengenang.
Situasi ini justru meruncing persoalan baru. Banyak pemain berbakat di usia dini yang dipaksakan bertanding di tim senior, pada akhirnya mengalami cedera dan harus berhenti bermain.
Beruntung, eks gelandang Persita Tangerang itu bernasib baik. Performa apik di beberapa turnamen, sukses menyedot simpati Benny Dollo, juru taktik Persma Manado kala itu.
Karir Firman semakin melejit selepas Francis Wewengkang, pemain kunci Si Babirusa Badai Biru, hengkang dari klub.
Di tahun 1998-99, untuk pertama kalinya Firman mengenakan kostum Merah Putih. Saat itu, Pelatih Timnas Indonesia U-19, Rudy Keltjes turut memboyongnya ke dalam skuad tim.
Ia juga bermain membela Timnas di sejumlah kelompok umur, sebelum menciptakan debut di Timnas senior pada 2001 di usianya yang masih 19 tahun.
Pemain yang sudah 66 kali membela Skuad Garuda itu kemudian melalang buana bersama sejumlah klub papan atas Indonesia. Mulai dari Persita Tangerang (2001), yang sekaligus menjadi klub pertamanya di luar Manado.
Kepindahannya ke Pendekar Cisadane ini atas saran Coach Bendol – sapaan akrab Benny Dollo, yang saat itu juga ditunjuk sebagai pelatih tim tersebut.
Firman melanjutkan karirnya bersama Bendol di Arema Malang (2004). Ia bahkan sukses mencicipi gelar pertama nasional yakni juara Copa Indonesia 2005 dengan cara sensasional; mencetak hattrick ke gawang Persija.
Firman kemudian menancapkan jejak karirnya di Pelita Jaya (2008), Persija Jakarta (2010), Sriwijaya FC (2011), Persib Bandung (2013) hingga Bhayangkara (2017).
Ia berulang kali ditunjuk sebagai kapten tim, menjuarai gelar Liga Indonesia di tahun 2011, 2013 dan 2017. Firman menutup perjalanan karirnya sebagai pesepakbola profesional di Kalteng Putra pada 2018 silam.
Sejumlah Soal
Bagi Firman, problem pembinaan usia dini sebetulnya bersinggungan erat dengan sejumlah aspek krusial.
Pertama, standarisasi semua SSB dan akademi sepak bola, yang hingga kini belum digodok matang.
Sejatinya, akademi harus menyediakan fasilitas belajar dan tinggal yang layak, sementara SSB minimal harus memiliki lapangan yang baik.
SSB sering kali menjadi tempat tumbuhnya bakat-bakat dari kalangan kurang mampu atau kelompok ekonomi menengah ke bawah. Banyak pesepakbola sukses berasal dari SSB.
Kedua, banyak klub yang merekrut pemain, namun tidak terafiliasi dengan PSSI. Para pemain berbakat yang berasal dari SSB non-afiliasi ini, tidak mendapatkan perhatian untuk berkembang menjadi profesional sepak bola.
“Karena banyak pemain bagus dari SSB yang tidak terafiliasi tadi, sehingga mereka luput dari perhatian untuk bisa menjangkau menjadi pesepakbola profesional,” tegasnya.
Ketiga, masalah database pemain yang tidak terorganisir dengan baik, juga menjadi kendala di setiap SSB atau akademi sepak bola. Database ini berhubungan erat dengan Asprov dan terus diperbarui setiap enam bulan.
Asprov, sejauh pengamatannya, belum maksimal melakukan identifikasi para pemain terbaik di daerahnya, yang nantinya direkomendasikan kepada PSSI.
Pendekatan ini penting dilakukan untuk memastikan proses pencarian bakat sepak bola berjalan terstruktur dan efisien.
Keempat, PSSI belum bisa memastikan bahwa setiap Asprov memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola database dan melakukan scouting dengan profesional.
Sementara, seleksi pemain ke tingkat nasional tidak hanya bergantung pada hubungan personal di tingkat daerah, tetapi berdasarkan kualitas dan potensi para pemain.
Tim yang sukses dalam scouting seperti Liverpool, Brentford, Brighton, Leicester, dan Tottenham, punya scouting yang sangat bagus.
Beberapa tim seperti Liverpool, bahkan sangat data-based, yang mungkin analis dan coaching staff-nya lebih berharga daripada starting XI mereka.
Brentford pun demikian, menekankan database hingga punya analis khusus expected goals (xG) di klubnya.
“Kalau PSSI kuat sendiri, tapi anggotanya aja rentan dan tidak kuat, databasenya aja tidak ada, ya gimana ya,” ujar Firman.
Di sisi lain, terbatasnya infrastruktur kompetisi untuk pembinaan usia dini, cenderung beririsan dengan minimnya pengetahuan pengurus sepak bola, baik di tingkat Askot/Askab, Asprov hingga PSSI.
Banyak ruang-ruang kompetisi yang kerap diabaikan, seperti penyelenggaraan FU-15 Cup dan FU-15 mini tournament.
“Saya merasa kita tidak seharusnya hanya bergantung pada Askot/Askab untuk memulainya. Anak-anak ini bisa tumbuh dan berkembang dengan baik,” ungkap Firman.
Selepas ‘gantung sepatu’ pada 2018 lalu, gelandang yang lekat dengan nomor punggung 15 ini mendirikan Firman Utina Football Academy.
Ia ingin menghidupkan harapan para pemain berbakat yang terputus, mengisi kembali ruang-ruang kompetisi yang kosong.
“Ibaratnya, kami telah merasakan itu, sekarang kami harus memperjuangkan harapan pemain-pemain ini untuk merasakan apa yang kita rasakan,” katanya.
Firman aktif membangun jejaring dengan SSB di 24 provinsi. Mereka saling bertukar gagasan, berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Konsepnya adalah jika program pengembangan di daerah berhasil, mereka dapat mengirimkan lima pemain untuk dinilai, sebelum melakukan evaluasi lebih lanjut di tempat lain.
“Kami menyiapkan standar untuk Elite Pro Academy, ini dia. Dan di Soeratin, ini dia,” pungkas Direktur Akademi Dewa United itu.
Anggaran Terbatas
Kucuran dana yang terbatas dari PSSI, sebagai federasi yang menaungi sepak bola Indonesia, menjadi pangkal masalah mandeknya pembinaan dan kompetisi usia dini.
Asep Surdi, Sekretaris Umum Asosiasi Kota (Askot) Jakarta Barat, mengkonfirmasi hal itu. Ia mengaku belum pernah menerima jatah anggaran dari PSSI.
"Kalau berangkat dari anggaran PSSI pusat, enggak pernah turun. Enggak pernah turun," ujarnya saat Technical Meeting pelaksanaan Jakarta Barat Junior League (JBJL) tahun 2024 Jakarta Barat, Rabu (19/6/2024).
Sejak 2017, Askot PSSI Jakbar konsisten menjalankan JBJL -- liga akbar di Jakarta Barat itu. Masalah yang muncul selalu sama: anggaran yang terbatas.
Semua biaya operasional kompetisi, yang ditaksir mencapai 800 juta rupiah, berasal dari pendaftaran peserta dan sponsor.
"Keuangannya kebetulan selama ini enggak ada dari pemerintah yah. Lebih kepada kita mandiri," tuturnya.
Askot Jakbar coba mencari jalan tengah: membangun sinergi dengan SSB untuk menggelar kompetisi.
Awalnya hanya terdapat tiga kategori, namun sekarang sudah berkembang menjadi lima kategori: U9, U11, U13, U15, dan U17.
Komitmen ini tidak hanya berhenti di kategori usia dini, tetapi juga mempersiapkan pemain untuk Liga 3 yang mencakup usia 17 hingga 23 tahun.
Di saat yang sama, pemerintah daerah juga tidak memberikan kontribusi signifikan. Dulu, kata Asep, sebelum 2010, Askot menerima anggaran dari APBD sekitar 400 hingga 500 juta per tahun.
Namun, anggaran tersebut kini tak lagi mengalir ke Askot. Usaha mendapatkan tanda tangan dari walikota untuk proposal sponsor pun sulit.
“Minta tanda tangan aja untuk membantu mencari sponsor diperlama, alasannya disalahgunakan aja,” ketusnya.
Ketua Umum PSSI, Erick Tohir, sebelumnya berencana menambah alokasi dana Asprov dari sebelumnya Rp300 juta per Asprov menjadi Rp500 juta demi mendukung program pengembangan sepak bola di daerah.
Dari jumlah tersebut, sebesar 100 juta dialokasikan khusus untuk merekrut Technical Director di setiap Asprov. Langkah ini, kata Erick, diharapkan dapat memperkuat fondasi teknis di tingkat regional dan lokal.
Namun, Asep mengaku pesimis. Jika anggaran dikucurkan tanpa diimbangi perencanaan yang jelas, maka hanya akan mengendap di kantong-kantong pribadi.
“Anggaran yang 450 juta aja enggak tau kemana sebab enggak pernah sampai ke tingkat Askot,” tegasnya.
Tak Sekadar Turnamen
Sudah jauh-jauh hari, Emilius Caesar Alexey, Direktur Liga Kompas, memotret minimnya kompetisi reguler untuk anak usia dini di Indonesia.
Kehadiran PSSI yang dianggap tak becus menghadirkan wadah kompetisi, pada akhirnya meredupkan bakat-bakat pemain lokal yang bersinar di Timnas.
PSSI hingga saat ini hanya menggelar kompetisi Elite Pro Academy dan Piala Soeratin untuk anak usia dini di Indonesia. Elite Pro Academy sendiri merupakan kompetisi berjenjang yang diikuti oleh akademi-akademi klub yang bermain di liga satu.
Sementara, Piala Soeratin merupakan kompetisi yang diperuntukkan bagi pemain sepak bola yang berusia 18 tahun ke bawah.
Emilius melihat dua kompetisi ini masih belum cukup ideal. Selain tidak bergulir sepanjang tahun, masih banyak klub-klub liga satu yang belum memiliki akademi.
“Kompetisi yang bener ya kalau kita ngomong kompetisi kita harus ngomongnya Liga bukan turnamen,” jelas Emilius ketika ditemui awak PARBOABOA, di Tower Kompas, Selasa (18/06/2024).
Konsep liga reguler yang berdiri sejak 2010 itu, bergulir selama 30 pekan atau sekitar 8 bulan di jenjang usia 14 tahun. Liga Kompas sendiri diikuti oleh 16 tim terbaik se-Jabodetabek.
Tak hanya rutin menggelar kompetisi liga untuk mencari pemenang, kehadiran Liga Kompas juga hendak menanamkan sikap fair play, respect, kejujuran dan kemauan untuk berkembang, ke setiap pemain yang bertanding.
Tak tanggung-tanggung, untuk mengukur tingkat perkembangan setiap pemain yang berlaga, Liga Kompas juga menyediakan tim statistik dan pemandu bakat.
Kedepannya, kata Emilius, data dari tim statistik dan pemandu bakat tersebut dapat dipakai oleh klub-klub maupun pelatih Timnas dalam merekrut para pemain.
Emilius tak menampik, kompetisi liga sepak bola di usia dini membutuhkan biaya yang mahal. Untuk satu musim saja, Liga Kompas membutuhkan dana hingga miliaran rupiah.
“Dana jelas besar banget,” jelasnya.
Menjamurnya kompetisi yang diinisiasi pihak swasta mendapat catatan kritis dari pengamat Sepakbola Indonesia, Kesit Budi Handoyo.
Bung Kesit, demikian ia lazim disapa, menganggap PSSI tidak serius memikirkan kompetisi usia dini yang lebih holistik: berjenjang, berkelanjutan, dan konsisten.
Indonesia, katanya, perlu belajar dari negara-negara maju seperti Spanyol dan Prancis, yang kompetisi amatirnya berjalan.
“Perancis itu bahkan dua presidennya, ada presiden amatir, ada presiden profesional,” jelasnya kepada PARBOABOA.
Di Spanyol, setiap klub memiliki akademi sepak bola. Real Madrid punya La Fabrica, begitu pun Barcelona dengan La Masia. Setiap akademi ini kemudian berkompetisi secara reguler sesuai kelompok umur.
Untuk kelompok usia di bawah 23 tahun saja, tim-tim cadangan terkenal seperti Real Madrid Castilla, Barcelona B, Atletico Madrid B, Sevilla B, dan klub-klub lainnya berkompetisi di liga kasta kedua dan ketiga Spanyol.
Hal ini justru membuat para pemain muda akademi mereka mendapatkan lingkungan yang kompetitif.
Nama-nama seperti Lionel Messi, Dani Carvajal, Alvaro Morata, Fernando Torres muncul dari akademi sepak bola klub masing-masing yang kompetitif itu.
Dalam beberapa kesempatan, Kesit bertemu Erick Thohir, mengingatkan Ketua Umum PSSI itu untuk lebih memperhatikan sepak bola usia dini.
Menurutnya, selain kompetisi regular sepak bola usia dini berjenjang, liga sepak bola amatir di setiap daerah perlu dihidupkan kembali.
Kompetisi sepakbola amatir, justru menjadi ajang klub-klub besar mencari bibit pemain unggul, untuk diboyong ke masing-masing akademi sepakbola.
Pada saat yang sama, hal ini juga setidaknya bisa meminimalisir geliat naturalisasi, sebagai efek domino mandeknya pembinaan sepak bola usia dini di Indonesia.
“Makanya kenapa saya begitu Pak Erick itu jadi ketua PSSI, jadi saya ingatkan dia, ‘Pak kompetisi amatir Pak, tolong hidupin lagi’,” katanya.
PSSI juga perlu mempertebal komunikasi dan membangun sinergitas lintas sektoral, baik dengan Asprov maupun Askot/Askab.
Ketiadaan dana tidak bisa dijadikan alasan. Menggandeng stakeholder, mulai dari pusat hingga ke daerah, bisa jadi alternatif.
“Ngomonglah sama presiden, sama gubernur kan bisa. Intinya, biayanya ya, di-drop dari APBD masing-masing,” imbuhnya.
Tamat…
Reporter: Putra Purba, Calvin Siboro, dan Rahma Dhoni
Editor: Andy Tandang