PARBOABOA – Sejak Humas Polda Jawa Timur (Jatim) membuka hotline pengaduan korban Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu, Malang, satu persatu korban bermunculan.
Kamid Humas Polda Jatim Kombes Dirmanto menyampaikan, korban eksploitasi ekonomi terhadap siswa SPI, mulai melaporkan diri. Ia menuturkan jumlah korbannya terus bertambah menjadi 14 orang.
"Hari ini ada delapan orang yang melapor, sebelumnya ada enam orang, jadi saat ini korban eksploitasi ekonomi yang dilakukan di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) menjadi 14 orang," katanya, Kamis (14/7).
Dari laporan yang diterima melalui hotline, ada berbagai macam pengaduan eksploitasi yang dialami korban. Ia menjelaskan, salah satu korban yang mengadu pada tanggal 12 Juli 2022 berinisial EE, korban disuruh membersihkan sungai dan pekerjaan berat lainnya.
"Saudari EE, alumni SPI angkatan 7. Beliau di sini, sesuai keterangan yang bersangkutan disuruh membersihkan sungai, mengangkut batu, pasir dan mencangkul di sawah, serta menjadi sales competition," tuturnya.
Dirmanto menambahkan, seluruh korban eksploitasi ekonomi merupakan alumni sekolah SPI. Ia menyebutkan, akan terus menerima laporan melalui hotline yang disediakan.
"Kami akan terus membuka hotline ini, di nomor yang saya sebutkan tadi, termasuk di Polres Batu juga ada hotline yang kami buka di sana, dengan nomor 0823-2803-1328," pungkasnya.
Pemiliki Sekolah SPI Julianto Eka Putra (JEP) saat ini tidak hanya terjerat kasus pelecehan seksual yang membuatnya mendekam di Lapas Klas I Lowokwaru, Kota Malang. Namun, kini JEP juga dilaporkan terkait dugaan eksploitasi ekonomi anak.
Untuk diketahui, eksploitasi ekonomi terhadap anak adalah tindakan semena-mena yang dilakukan seseorang dengan cara memanfaatkan waktu dan tenaga anak untuk mendapatkan keuntungan secara materiil.
Dalam kasus di sekolah SPI, eksploitasi anak yang dilakukan oleh JEP adalah mempekerjakan anak di bawah umur di berbagai sektor ekonomi. Salah satunya, meminta korban melakukan kegiatan pembangunan di lingkungan sekolah.
Dirmanto mengatakan, kasus tersebut pertama kali ditangani oleh Polda Bali, kemudian dilimpahkan ke Polda Jatim pada 26 April 2022 lalu, saat ini Polda Jatim masih terus memproses kasus tersebut.
Atas perbuatannya, JEP akan dijerat Pasal 761 i jo pasal 88 UU RI No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun.