Parboaboa, Jakarta - Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi menilai munculnya kasus sengketa tanah adat karena tidak dilibatkannya masyarakat adat.
Salah satu contoh, klaim sepihak pemerintah terhadap wilayah masyarakat adat menjadi kawasan hutan negara yang kemudian oleh negara, diberikan izin pengelolaannya kepada perusahaan atau korporasi.
"Tentu hal itu tanpa melibatkan masyarakat adat. Nah itu juga yang perlu ditinjau ulang terkait dengan penunjukan kawasan hutan di Sumatra Utara, itu kan sepihak," kata Delima, Selasa (9/5/2023) di Jakarta.
Pasalnya, kata Delima, penentuan tata batas yang dilakukan selama ini kerap tak melibatkan masyarakat adat.
"Itulah yang membuat sebenarnya yang kita dampingi itu sekitar 33 komunitas masyarakat adat bersama AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan Tano Batak. Itu hanya sebagian kecil yang terpublikasi yang mendapat fasilitas pendampingan," ujarnya.
Menurutnya, ada banyak komunitas masyarakat adat lain yang saat ini juga terancam kehadiran konsesi PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL).
"Oleh karena itu, saya berharap saya pemerintah serius melakukan evaluasi terhadap kehadiran PT. TPL karena terbukti lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," tegas Delima.
Ia juga meminta pemerintah serius mengevaluasi pengesahan RUU Masyarakat adat dan segera menerbitkan SK pencadangan di wilayah-wilayah masyarakat adat yang berkonflik yang hingga kini belum ada Perdanya.
"Tidak perlu diperpanjang. Segera terbitkan SK itu, dan mediasi konflik-konflik horizontal yang ada. Yang paling penting adalah tutup TPL!" tegas Delima.
Perjuangan Masyarakat Adat Masih Panjang
Delima menyampaikan, perjuangannya bukanlah hasil perjuangannya sendiri, akan tetapi perjuangan masyarakat adat di seluruh Indonesia.
"Jadi pertama perjuangan kami masih panjang, capaian yang ada saat ini masih sebagian kecil saja masih banyak masyarakat adat yang belum diakui keberadaannya," katanya.
Ia juga berharap pengakuan terhadap masyarakat adat tidak dipersulit. Dinamika yang terjadi jangan sampai menjadi penghalang, serta melihat dari aspek hak asasi manusia.
"Seharusnya jangan melihat dari aspek legalnya saja, tapi lihat aspek kemanusiaannya mereka ada dan hidup di sana menjalankan ritualnya jadi mengapa harus dipersulit, akui saja mereka sebagai warga negara," harap Delima.