PARBOABOA, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengatakan, posisi bidang adminastrasi di daerah banyak diisi oleh para tim sukses hingga keluarga pejabat dan kepala daerah setempat.
Hal tersebut disampaikan Tito dalam Rapat Koordinasi Penguatan APIP Daerah di Kantor Kemendagri, Jakarta, pada Rabu (13/9/2023).
Menurut Tito, mayoritas tenaga honorer di bidang administrasi ini tidak mempunyai skill atau keahlian khusus. Mereka hanya diberikan pekerjaan sebagai hadiah atau balas budi karena telah memenangkan kepala daerah terpilih.
Bahkan, kata Tito, kebanyakan dari mereka tidak disiplin dalam bekerja, "jam 8 masuk kantor, jam 10 sudah ngopi-ngopi, lalu hilang."
Tito mengatakan, siklusnya akan tetap sama ketika selesai pilkada dan pejabat baru terpilih, tim sukses yang tidak mempunyai keahlian khusus ini kembali numpuk di kantor.
Selain tenaga administrasi, Tito juga menyinggung soal tenaga honorer kesehatan dan pendidikan. Namun, ia tidak mempersoalkan dua bidang ini lantaran para honorernya dinilai memiliki keahlian khusus.
Menumpuknya tenaga honorer yang tidak mempunyai skill, demikian Tito, akan berdampak pada belanja daerah banyak tersedot untuk gaji pegawai ketimbang belanja operasional atau modal di daerah.
Misalnya, belanja modal yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur yang mungkin dianggarkan hanya 15-20 persen, sehingga tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Briokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas, menyoroti persoalan tenaga honorer yang membludak di berbagai pemerintah daerah di Indonesia.
Ia mengaku kaget melihat menumpuknya tenaga honorer di berbagai pemerintah daerah. Hal ini, kata Azwar, berdampak pada kerja-kerja pemerintah yang tidak maksimal dan efisien.
Awalnya, Azwar mendapat laporan bahwa tenaga honorer Indonesia pada 2018 tersisa 446 ribu orang. Jumlah ini pun ditargetkan akan berkurang hingga 200 ribu. Namun, setelah laporan tersebut ditelusuri lebih jauh, data jumlah tenaga honorer yang ada justru membludak mencapai 2,3 juta orang.
Azwar juga menemukan fakta di lapangan terkait proses perekrutan tenaga honorer tersebut. Menurutnya, banyak tenaga honorer yang diangkat karena faktor kedekatan dengan pejabat atau pemimpin daerah, meski pun banyak dari mereka yang tidak memiliki kualitas atau keahlian tertentu.
Azwar lantas menyebut akronim yang sarkastik untuk fenomena ini, yakni PDAM (ponakan dan anak-mantu), serta ASDP (anak, saudara, dan ponakan).
Fenomena ini terjadi, kata Abdullah, karena pemerintah saat ini sedang mengupayakan reformasi birokrasi agar kerja-kerja aparatur pemerintah lebih efisien. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan tes nasional untuk mengangkat calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Padahal, menurutnya, Presiden Joko Widodo sudah memberi contoh akuntabilitas dan transparansi tes ASN ketika putrinya, Kahiyang Ayu, gagal lolos tes CPNS pada 2017 lalu.
Meski demikian, Azwar menyadari bahwa para kepala daerah tidak bisa dipaksa untuk tidak mengangkat tenaga honorer. Sebab menurutnya, "Semakin tinggi dikasih pagar pasti akan melompat."
Karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan aturan agar tenaga honorer tetap dibuka. Namun dengan sejumlah aturan dan tes agar kinerja para calon tenaga honorer kompeten.
Salah satu upaya tersebut, kata dia, adalah dengan menerbitkan surat edaran (SE) terkait penganggaran bagi para tenaga honorer yang ada saat ini sampai 2024, yang nantinya akan diseleksi dengan ketat.