May Day, GEBRAK Soroti Kemerosotan Kaum Buruh Pasca Sahnya Omnibus Law

Demonstrasi Serikat Buruh se-Sumatra Utara saat Hari Buruh atau May Day. (Foto: PARBOABOA/Ilham Pradila)

PARBOABOA, Jakarta - May Day atau hari buruh sedunia yang dirayakan tanggal 1 Mei setiap tahunnya menjadi momen penting untuk merefleksikan perlindungan terhadap kaum buruh.

Pertanyaan publik yang mencuat adalah sejauh mana hak-hak para buruh dijamin dan difasilitasi oleh negara melalui sejumlah peraturan, baik peraturan mengenai jam kerja, upah, PHK dan lain-lainnya.

Organisasi masyarakat sipil Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) memotret sebuah kondisi yang paradoks soal ini. 

Dari temuan mereka, meski hari buruh dirayakan setiap tahun tapi tak kunjung berimplikasi positif terhadap perbaikan nasib pekerja.  Situasi lebih tidak menguntungkan terjadi pasca disahkannya Omnibus Law.

Dalam rilis yang diterima Parboaboa, Rabu (1/5/2024), GEBRAK menerangkan, UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja ini mengandung masalah krusial sehingga "berdampak buruk terhadap pada kesejahteraan para buruh".

Beberapa hal krusial tersebut salah satunya terkait fleksibilitas tenaga kerja, di mana melalui Omnibus Law terjadi kehilangan jaminan kepastian kerja.

"Dengan bertambahnya jangka waktu perjanjian sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)," tegas mereka.

Dulu, ketentuan batas waktu maksimal dalam PKWT yang semula maksimal paling lama 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun - dan tambahan maksimal 1 tahun sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003.

Tapi sekarang, demikian tegas GEBRAK, "perjanjian kerja kontrak menjadi maksimal 5 tahun."

Dengan durasi yang panjang ini buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau Perjanjian Waktu Kerja Tidak Tertentu (PKWTT).

Hal ini diperkuat dengan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, alih daya, waktu kerja dan istirahat serta pemutusan hubungan kerja (PKH).

Sistem kerja outsourcing atau alih daya yang semakin diperluas dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 juga menambah kerentanan para buruh. 

Sebab menurut GEBRAK, perluasan ini membuat perusahaan melepas tanggung jawab dari permasalahan ketenagakerjaan yang timbul dalam hubungan industrial.

Melalui kebijakan ini perusahaan tidak lagi berhubungan langsung dengan para buruh, walau setiap hari para buruh bekerja di perusahaan tersebut.

Konsekuensi lanjutnya, demikian GEBRAK menambahkan, perusahaan menganggap bahwa permasalahan ketenagakerjaan atau Perselisihan Hubungan Industrial "menjadi urusan pihak perusahaan penyalur tenaga kerja."

Politik upah murah

GEBRAK menyatakan, sejak tahun 2021 pasca Omnibus Law Kerja diberlakukan, pemerintah menghapus kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan penetapan upah minimum.

Hal ini berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas, sehingga "kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak."

Melalui PP Nomor 36 Tahun 2021 yang direvisi menjadi PP 51 Tahun 2023, pemerintah saat ini mengatur pengupahan hanya berdasarkan 3 variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu yang justru mengurangi nilai upah buruh.

GEBRAK menyebut, pengurangan upah buruh paling mencolok adalah terkait upah sektoral yang sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 dan "tidak ada lagi kenaikan hingga sekarang."

Bahkan menurut klaim mereka, Permenaker Nomor 25 Tahun 2023 telah melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30 persen per bulan.

Di sisi lain peraturan ini menciptakan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri padat karya berorientasi ekspor, "dengan alasan mencegah PHK karena krisis ekonomi global."

Menurut GEBRAK, fleksibilitas sistem kerja kontrak maupun outsourcing pasca Omnibus Law secara otomatis mempermudah proses PHK.

Karena proses PHK bisa hanya melalui pemberitahuan penguasa kepada buruh "tanpa didahului dengan perundingan."

GEBRAK mencatat, sepanjang UU Cipat Kerja diberlakukan ledakan PKH  terhadap buruh melonjak dengan "mendompleng pandemi covid" sebagai pemicunya.

Tak hanya itu GEBRAK juga menyoroti pengurangan pesangon para buruh. Sebelumnya kata mereka, perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji.

Saat ini, maksimal hanya 1,75 PMTK dengan perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangan 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP, "berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 36."

Berdasarkan sejumlah kejanggalan ini, bertepatann dengan perayaan May Day 1 Maret 2024, GEBRAK meminta pemerintah agar segera, "cabut Omnibus Law Cipta Kerja dan PP Turunannya."

Selain itu, mereka mendesak stop PHK dan pemberangusan serikat buruh, tolak sistem kerja kontrak dan sistem kerja magang sembari meminta, "berlakukan upah layak nasional secara adil dan bermartabat."

Sebelumnya, pemerintah melalui Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono mengatakan UU UU 6/2023 pada dasarnya mendukung kegiatan investasi secara logis.

Namun begitu, ia menekankan UU ini tidak melupakan perlindungan pekerja/buruh. Bahkan, menurut dia UU a quo justru memperbaiki beberapa hal yang menguntungkan para buruh.

Pertama, soal PKWT. Edy mengatakan, UU Nomor 6 Tahun 2023 memandatkan uang kompensasi bagi pekerja habis PKWT. Sebelumnya, kata dia, "tidak ada uang kompensasi" bagi PKWT yang habis masa kontraknya.

Kedua, penguatan perusahaan outsourcing. Menurut dia sebelumnya perusahaan outsourcing hanya wajib berbadan hukum. Tetapi saat ini, selain berbadan hukum juga harus mengantongi izin.

Ketentuan harus mengantongi izin kata dia semata-mata "untuk melindungi pekerja."

Ketiga, soal pengupahan yang dibayar berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Hal ini diberlakukan untuk menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan pengupahan.

Ia menambahkan, terkait upah ada kewajiban bagi perusahaan untuk membentuk struktur dan skala upah. Hal ini juga penting agar menjadi acuan kenaikan upah/buruh dengan masa kerja lebih dari setahun.

Selain itu UU baru ini juga memberikan skema baru jaminan sosial untuk perlindungan bagi pekerja yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

UU Nomor 6 Tahun 2023 sendiri juga sebenarnya telah diajukan Judicial Review (JR) ke MK namun ditolak. MK beralasan, UU tersebut memiliki kekuatan mengikat sehingga pemberlakukaanya sah dan harus ditaati.

MK juga menilai pokok permohonan pemohon yang terdiri dari aktivis buruh "tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya."

Sejarah hari buruh

Sejarah hari buruh dimulai dari Amerika Serikat (AS) pada tahun 1886. Saat itu, tepatnya di tanggal 1 Mei, di kota Chicago, ribuan buruh turun ke jalan menuntut hak-hak buruh yang lebih baik.

Selain menuntut hak yang lebih layak, mereka juga meminta agar bekerja hanya 8 jam sehari. Namun aksi ini justru menjadi peristiwa berdarah ketika polisi membubarkan massa dengan kekerasan.

Naas ini menyebabkan kematian dan luka-luka di antara para buruh dan polisi - insiden ini kemudian dikenal sebagai tragedi Haymarket.

Ketegangan ini disusul dengan penjatuhan hukuman mati dan penjara tanpa bukti bagi beberapa pimpinan buruh.

Tak berhenti di situ, peristiwa ini selanjutnya menginspirasi gerakan buruh di seluruh dunia menetapkan tanggal 1 Mei sebagai peringatan perjuangan buruh di dunia.

Berawal ketika Kongres Internasional ke 2 Federasi Serikat Buruh Internasional di Paris pada tahun 1889, sejak itu pula hari buruh diperingati sebagai momentum menggalang solidaritas antar kelas pekerja di seluruh dunia melawan kapitalisme.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS