PARBOABOA, Jakarta – Setelah disahkan pada 11 Juli 2023 lalu, pemerintah kini berencana untuk mengeluarkan peraturan turunan yang diperlukan agar Undang-Undang Kesehatan dapat diimplementasikan dengan baik.
Dalam pernyataannya pada Kamis (14/9/2023), Mohammad Syahril, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menegaskan bahwa proses perancangan peraturan tersebut akan dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan partisipasi publik.
Syahril menjelaskan, pihaknya telah menyediakan portal khusus yang dapat diakses melalui situs resmi Kemenkes. Portal ini bertujuan untuk mengumpulkan berbagai masukan, aspirasi, serta memfasilitasi diskusi bersama masyarakat.
Kini, portal tersebut sudah tersedia bagi masyarakat yang ingin memberikan masukan dan saran terkait penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Masukan yang diberikan sangat penting untuk merancang peraturan turunan UU Kesehatan yang lebih komprehensif,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa.
Selain membuka partisipasi publik, Kementerian Kesehatan juga berencana melakukan sosialisasi dan konsultasi publik terkait substansi RPP UU Kesehatan. Kegiatan ini akan dilaksanakan secara daring melalui saluran YouTube resmi Kementerian Kesehatan.
Detik Detik Pengesahan RUU Kesehatan
Meski mendapat penolakan dari dua fraksi, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi telah mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang pada Selasa (11/7/2023) lalu.
Ketua DPR, Puan Maharani, meminta pendapat dari semua anggota fraksi yang hadir dalam ruang sidang mengenai persetujuan RUU Kesehatan untuk dijadikan UU. Seluruh anggota DPR pun memberikan suara "setuju" dalam responnya.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi, memaparkan bahwa terdapat sejumlah aspek penting yang menjadi fokus dari keberadaan UU yang terdiri dari 20 bab dan 458 pasal ini.
Beberapa aspek tersebut meliputi perubahan fokus dari pengobatan menjadi pencegahan, penyederhanaan akses layanan kesehatan, transformasi industri kesehatan dari ketergantungan pada luar negeri menjadi industri yang mandiri di dalam negeri.
Selain itu, UU ini juga akan mempersiapkan sistem kesehatan yang tangguh dalam menghadapi bencana, meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pembiayaan kesehatan, serta memberikan perlindungan khusus kepada tenaga kesehatan.
Ikatan dokter, Perawat dan Apoteker Tolak UU Kesehatan
Pengesahan UU Kesehatan menghadapi penolakan tidak hanya dari fraksi-fraksi di parlemen, tetapi juga dari kalangan tenaga kesehatan (nakes). Undang-Undang ini dianggap masih memiliki banyak permasalahan.
Menurut Dr. Mohammad Adib Khumaidi, Ketua Umum IDI, salah satu aspek yang sangat kontroversial dalam Undang-Undang ini adalah penghapusan kewajiban alokasi dana minimal sebesar 5%.
Hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Adib berpendapat bahwa alokasi anggaran kesehatan seharusnya tidak hanya berdasarkan program-program pemerintah daerah (pemda), karena layanan kesehatan tidak bisa hanya bergantung pada program-program tersebut.
Menurutnya, kesehatan adalah komitmen nasional yang harus diatur dalam undang-undang, untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya memenuhi prinsip keadilan kesehatan bagi seluruh rakyat.
Di sisi lain, Noffendri Roestam, Ketua Umum Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), mengklaim bahwa Undang-Undang Kesehatan sulit diimplementasikan karena tidak mendapat dukungan dari tenaga medis dan nakes.
Ia menyoroti Pasal 145 ayat 3 yang memungkinkan pelayanan farmasi oleh tenaga kesehatan lain selain tenaga farmasi.
Noffendri berpendapat bahwa Pasal ini memiliki ketentuan yang ambigu dan berpotensi mengurangi peran tenaga kesehatan apoteker, meskipun jumlah apoteker yang diluluskan setiap tahun mencapai 7.000 orang.
Menurutnya, masalahnya sekarang bergantung pada keputusan pemerintah apakah akan menyerap tenaga apoteker tersebut atau tidak.