PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada tahun 2025.
Kebijakan ini diberlakukan secara merata untuk seluruh provinsi di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024.
Namun, keputusan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. Salah satu pihak yang menyampaikan keberatan adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Menurut Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, kenaikan ini dianggap terlalu tinggi dan berpotensi membebani sektor usaha, terutama yang bergantung pada tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kata Shinta, hal yang paling ditakutkan adalah meningkatnya biaya tenaga kerja yang kemudian mempengaruhi struktur operasional perusahaan.
"Dikhawatirkan bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja(PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru," tegasnya dalam sebuah keterangan resmi belum lama ini.
Di sisi lain, buruh yang diwakili oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai bahwa penyesuaian sebesar 6,5 persen merupakan langkah moderat.
Menurut mereka, keputusan ini dianggap tidak hanya memperhitungkan kemampuan finansial pengusaha, tetapi juga memberikan kesempatan bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
"Ini menyangkut keadilan keadilan dan kesejahteraan pekerja," tegas Presiden KSPI, Said Iqbal.
Lantas, Iqbal mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto menaikan UPM, "karena mencerminkan perhatian yang lebih besar terhadap kebutuhan rakyat pekerja."
Senada, Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P. Sasmita menilai kenaikan UMP sebesar 6,5 persen adalah langkah moderat.
Meski begitu, menurutnya, angka kenaikan harusnya bisa lebih besar, yaitu di kisaran 7 hingga 8 persen, mengingat daya beli masyarakat yang terus menurun.
"Dalam hemat saya, apa yang diusulkan oleh pemerintahan 6,5 itu sudah cukup moderat. Tidak terlalu tinggi dan cukup pro juga terhadap pekerja," katanya.
Ia menjelaskan, kenaikan yang lebih signifikan diperlukan untuk mengimbangi berbagai tekanan ekonomi, seperti inflasi, kenaikan pajak, dan pengurangan subsidi yang telah berdampak pada biaya hidup masyarakat.
Ronny juga menilai bahwa narasi mengenai ancaman PHK saat ini lebih berupa kekhawatiran semata. Melakukan PHK dalam jumlah besar, menurutnya, akan menjadi keputusan sulit bagi pengusaha karena hal itu dapat menurunkan kapasitas produksi dan mengecilkan skala bisnis mereka.
Sebaliknya, meningkatkan UMP hingga batas yang lebih tinggi sebenarnya dapat menciptakan siklus positif.
Ia berkata, ketika daya beli meningkat dan konsumsi bertambah, hal itu menguntungkan perusahaan melalui peningkatan penjualan.
Respons Pemerintah
Menanggapi kekhawatiran dari para pengusaha terkait kenaikan UMP sebesar 6,5 persen, pemerintah berencana membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK).
Satgas ini dirancang untuk mengantisipasi potensi dampak PHK yang mungkin muncul akibat penyesuaian upah tersebut.
"Pemerintah akan membuat satgas terkait dengan PHK," kata Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Selain itu, pemerintah juga mempersiapkan skema khusus bagi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu memenuhi kenaikan UMP tersebut.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli menjelaskan skema ini berbeda dengan Satgas PHK karena lebih fokus pada memberikan solusi spesifik bagi pengusaha yang menghadapi tantangan finansial.
"Ini lebih spesifik treatment untuk pelaku usaha yang saat ini kesulitan finansial. Sehingga kalau penerapan UMP (2025) itu sekarang, bisa jadi mereka tidak mampu," Tukasnya.
Sementara itu, Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang kekhawatiran terkait potensi PHK massal mungkin berlebihan, kecuali bagi perusahaan yang sudah kesulitan bersaing di pasar dan tidak mampu memanfaatkan peluang dari peningkatan permintaan.
Ia juga menganggap bahwa pembentukan Satgas PHK oleh pemerintah kurang diperlukan. Langkah ini, menurutnya, justru dapat membuka peluang bagi pengusaha untuk mengambil keputusan pemutusan hubungan kerja yang mungkin tidak seharusnya dilakukan.
Sebagai gantinya, Nailul menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada kebijakan perlindungan untuk dunia usaha, seperti mengendalikan impor yang dapat memberikan ruang bagi industri lokal untuk berkembang.
Kebijakan ini dianggap lebih efektif dibandingkan menekan kenaikan UMP atau membentuk Satgas PHK, karena akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih stabil bagi pekerja dan pengusaha.