PARBOABOA, Jakarta - Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan konsumsi energi fosil terbesar di dunia.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan pada 2021 lalu, konsumsi energi nasional mencapai 909 juta barel.
Berdasarkan data tersebut, sektor transportasi tercatat sebagai konsumen energi terbesar dengan penggunaan sebanyak 388 juta barel, atau sekitar 42% dari total konsumsi energi nasional.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira turut mengeluhkan kebijakan presiden Jokowi yang belum sepenuhnya mendukung ekonomi hijau.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% kebijakan belum mendukung implementasi ekonomi hijau," ujar Bhima pada Rabu (24/7/2024).
Ia mengangkat contoh penundaan penerapan pajak karbon, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mendanai program-program ekonomi hijau.
"Sebagai contoh, penerapan pajak karbon masih tertunda, padahal pajak ini dapat berperan dalam mendanai berbagai program yang mendukung ekonomi hijau," tambah Bhima.
Pendapat Bima beralasan, sebab aktivitas industri dan transportasi telah menghasilkan 1.637.156 juta ton emisi gas rumah kaca (GRK).
Konsumsi bahan bakar fosil dinilai berkontribusi pada peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer hingga 400,26 ppm.
Sementara, konsumsi BBM di sektor transportasi menyumbang 27,6% dari konsumsi energi global, dengan 92,6% berasal dari produk minyak.
Ketidakmampuan menangani emisi GRK berpotensi memperburuk pemanasan global dan perubahan iklim. Peningkatan suhu global sebesar 1°C telah memicu peningkatan jumlah bencana alam.
Pada 2009 silam, misalnya terjadi 1.245 kejadian bencana alam. Angka tersebut kembali meningkat menjadi 3.814 kejadian pada 2019.
Persoalan ini menekankan pentingnya upaya untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan guna mengurangi dampak perubahan iklim.
Di antara banyaknya visi pemerintah, penerapan ekonomi hijau menjadi salah satu jawaban untuk keluar dari persoalan emisi karbon yang melilit Indonesia.
Transportasi Listrik
Salah satu solusi pemerintah untuk menanggapi persoalan emisi karbon adalah percepatan pengembangan industri kendaraan listrik, yang diyakini mendukung transformasi ekonomi hijau.
Kendaraan listrik dikenal lebih ramah lingkungan dan efisien dalam mengurangi emisi gas rumah kaca serta polusi udara, dibandingkan kendaraan konvensional.
Namun, pengembangan industri ini dihadapkan pada tantangan seperti biaya produksi yang tinggi, infrastruktur pengisian yang belum merata, dan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung.
Pemerintah Indonesia merespons tantangan ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019, yang bertujuan mempercepat program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Momentum tersebut sangat penting mengingat perubahan iklim, ketergantungan pada BBM, dan ancaman krisis energi yang terus membayangi wajah Indonesia.
Meskipun demikian, hingga 2022, harga kendaraan listrik tetap lebih tinggi dibandingkan kendaraan konvensional. Hal ini umumnya disebabkan karena mahalnya harga baterai lithium-ion.
Keterbatasan stasiun pengisian dan kekhawatiran pengendara terkait jarak tempuh juga menjadi hambatan.
Pengembangan industri kendaraan listrik sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yang menempatkan energi bersih dan penanganan perubahan iklim sebagai prioritas.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29% hingga 41% pada 2030 dapat terbantu dengan pengembangan teknologi kendaraan listrik.
Lebih lanjut, Bhima Yudhistira dari CELIOS mendorong presiden terpilih, Prabowo Subianto, agar mengambil langkah strategis dalam memaksimalkan transisi menuju ekonomi hijau.
Salah satu langkah penting yang diusulkan adalah mempercepat target bauran energi terbarukan hingga mencapai 44% sebelum tahun 2030.
"Pak Prabowo perlu mengalihkan penggunaan insentif dan subsidi dari sektor ekstraktif ke sektor ekonomi hijau," pungkasnya.
Selain itu, perbankan seperti BUMN diharapkan meningkatkan porsi pembiayaan untuk sektor berkelanjutan dan mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam analisis kredit.
Bhima juga memaparkan berbagai dampak positif yang dapat diraih Indonesia melalui percepatan transisi ekonomi hijau.
Ia menyebut, transisi ini berpotensi menambah produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Transisi ke ekonomi hijau, lanjut Bhima, diproyeksi mampu menyerap 19,4 juta tenaga kerja dalam satu dekade pelaksanaan program.
"Manfaat ekonomi hijau tidak hanya menciptakan lebih banyak lapangan kerja, tetapi juga, menurut perhitungan CELIOS, pertumbuhan ekonomi hijau berpotensi melampaui model ekonomi konvensional," jelasnya.