PARBOABOA, Jakarta - Pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) tahun ini, Selasa (24/9/2024), sejumlah organisasi masyarakat sipil kembali mempertanyakan klaim pemerintah soal reformasi agraria yang belum sepenuhnya memberi keadilan bagi petani dan buruh tani.
Padahal, 64 tahun yang silam, bangsa Indonesia berhasil mengakhiri era Agrarische Wet 1870, hukum kolonial yang membatasi kepemilikan tanah hanya pada golongan tertentu.
Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 menjadi langkah penting dalam menghentikan dominasi asing atas tanah dan kekayaan alam Indonesia.
UUPA sendiri bertujuan untuk memberikan keadilan agraria dengan menghapus klaim bahwa tanah yang belum diakui sebagai hak adalah milik negara, dan memberikan prioritas kepemilikan kepada petani, buruh tani, serta penggarap.
Selain itu, UUPA melarang monopoli tanah oleh segelintir kelompok swasta dan mendorong pengelolaan sumber daya secara gotong royong melalui koperasi.
Setelah reformasi, tekanan dari petani dan masyarakat sipil menghasilkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, yang memperkuat mandat UUPA dan menugaskan pemerintah, DPR, serta Presiden untuk melaksanakan reforma agraria secara menyeluruh.
Namun sayangnya, hingga saat ini, amanat sejumlah UU di atas tidak menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyatakan, salah satu sebabnya adalah UUPA yang seharusnya menjadi landasan utama dalam kebijakan reforma agraria, seringkali diabaikan.
Di saat yang sama, muncul kebijakan baru seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang justru memperparah masalah.
Kata dia, kebijakan tersebut justru memberi peluang lebih besar bagi korporasi untuk menguasai lahan, baik melalui proyek strategis nasional maupun atas nama konservasi hutan dan perdagangan karbon.
"Kerja Omnibus Law yang isinya bukan saja semakin mengeksploitasi pekerja tapi juga petani dan rakyat," kata Henry di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Selain itu, program reforma agraria yang berjalan saat ini dinilai lebih condong pada melegalkan kepemilikan tanah yang sudah timpang melalui sertifikasi tanah.
Hal ini membuka jalan bagi perusahaan besar untuk memperluas kekuasaan atas tanah, termasuk melalui proyek konservasi hutan dan perdagangan karbon.
Menurut Henry, akibat pembiaran ini, konflik agraria terus meningkat, dengan banyak kasus perampasan tanah rakyat yang belum terselesaikan.
Berdasarkan data Kemenko Perekonomian dan Kantor Staf Presiden (KSP), terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria yang tercatat selama tujuh tahun terakhir, dari 2016 hingga 2023.
Dari jumlah tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Namun, sampai Februari 2024, redistribusi tanah dan penyelesaian konflik baru terlaksana di 24 LPRA, mencakup 14.968 bidang tanah seluas 5.133 hektare untuk 11.017 KK.
Masih ada 46 lokasi LPRA yang belum selesai penanganannya, dan 1.361 lokasi konflik agraria lainnya masih belum mendapatkan solusi yang memadai.
Henry berkata, Ini menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konflik agraria masih menghadapi banyak tantangan di lapangan.
Jadi "masih ada 46 LPRA yang belum selesai" dan "1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak."
Sementara itu, selama 17 tahun terakhir, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadinya 4.009 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 11,4 juta hektar dan berdampak pada 2,4 juta orang.
Selain itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa 3,1 juta hektar wilayah adat telah diambil alih oleh pemerintah dan perusahaan melalui berbagai perizinan, seperti izin tambang dan perkebunan.
Celakanya, konflik agraria ini kerap diselesaikan dengan cara represif yang melibatkan aparat, sehingga kekerasan agraria terus terjadi. Ribuan petani, masyarakat adat, dan aktivis agraria dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanah mereka.
Masalah ini diperburuk dengan munculnya tumpang tindih izin penggunaan lahan, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan.
Data Kementerian Pertanian (2022) menunjukkan adanya jutaan hektar perkebunan kelapa sawit ilegal yang beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU) dan ribuan hektar lainnya yang berada dalam kawasan hutan tanpa izin resmi.
Kondisi ini memperlihatkan adanya indikasi kuat korupsi dalam sektor agraria, dengan banyak lahan yang diklaim secara ilegal oleh perusahaan besar.
Akibatnya tanah rakyat pun semakin terancam oleh proyek-proyek strategis nasional yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi daripada kepentingan umum.
Untuk diketahui, HTN diperingati setiap 24 September sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan petani Indonesia dan pembebasan mereka dari kesengsaraan.
Tanggal ini juga menandai disahkannya UUPA yang menjadi dasar hukum untuk mengatur kekayaan agraria nasional.
Mengutip laman resmi Kemendikbud Ristek, peringatan HTN ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963.
Seiring perkembangan waktu, berbagai perubahan di sektor pertanian terus terjadi, terutama di masa Orde Baru.
Pada tahun 1974, dibentuk Badan Litbang Pertanian berdasarkan Keppres tahun 1974 dan 1979 untuk mendukung inovasi pertanian.
Kemudian, pada 1980, didirikan Departemen Koperasi untuk membantu petani kecil, khususnya di luar Jawa dan Bali dalam meningkatkan usaha pertanian skala besar.
Pembentukan lembaga seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) di tahun-tahun berikutnya juga menjadi langkah penting dalam memperkuat pertanian nasional.
Balai-balai tersebut tersebar di seluruh provinsi untuk mendukung pengembangan teknologi pertanian.
Editor: Gregorius Agung