PARBOABOA, Jakarta - Suara para akademisi kampus mendeklarasikan supaya Pilpres 2024 berlangsung jujur dan adil kian meluas di berbagai daerah.
Dampak deklarasi akademisi tersebut menyembulkan beragam dugaan-dugaan di publik. Semisal, mempengaruhi tingkat elektabilitas salah satu peserta pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) di Pilpres 2024.
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai sikap deklarasi akademisi beberapa universitas di Indonesia tidak akan memengaruhi tingkat elektabilitas pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Ujang menjelaskan, kritikan para akademisi tersebut cukup berat menurunkan elektabilitas Prabowo-Gibran merujuk hasil survei sejumlah lembaga survei.
“Jadi narasi kalah dalam konteks hari ini agak sulit dan berat menang dua putaran. Bahkan targetnya satu putaran, nanti kita lihat saja di 14 Februari itu, pilihan rakyat seperti apa. Kita tunggu,” ujarnya, saat diwawancara PARBOABOA via telepon, Rabu (7/2/2024).
Apalagi aksi deklarasi para akademisi tersebut dianggap bertujuan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu jauh panggang dari api.
“Sebagai pengingat keras Jokowi, kampus itu mengawal demokrasi. Kalau Jokowi dianggap melanggar konstitusi, dan lain-lain, kemudian digerakkan TNI-Polri, itu baru. Ini kan pemakzulan itu banyak aspek dan faktornya, rumit lagi,” ungkapnya.
Galibnya aspirasi suara kampus harus didengar begitu juga tuduhan kecurangan harus dibuktikan dan juga dilaporkan. Kritikan para akademisi itu harus ada pembuktian.
Ujang tidak memungkiri, bahwa gerakan kampus ada dari kalangan pendukung capres-cawapres nomor urut 01 maupun 03.
“Karena gerakan kampus juga ada yang murni ada yang tidak,” jelasnya.
Sementara itu, Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Firman Noor, mengatakan fenomena kritis dari beberapa kampus di Indonesia, menjadi harapan tersendiri untuk mengatasi pelemahan demokrasi, baik secara substansial maupun prosedural.
"Masyarakat tersalurkan sikap dan pandangannya akan aksi kaum intelektual kampus itu," paparnya.
Firman melanjutkan, bahwa hal dilakukan oleh para akademisi di berbagai kampus itu sejalan dengan pandangan Jean-Paul Sartre (1905-1980) tentang hakikat intelektual sejati (the true intellectual).
Sebagai seorang filosof eksistensialis terkenal dari Perancis, dia menyebut para intelektual yang tak peduli akan kehidupan sosial dan politik serta penuh kompromi dengan kekuasaan, merupakan intelektual palsu (false intellectual).
Sebaliknya, seorang intelektual sejati, yaitu mereka yang memperhatikan kondisi sekelilingnya. Oleh sebab itu, memberikan sumbang pikiran, yakni memecahkan persoalan-persoalan dihadapi masyarakat.
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Rentetan kampus yang bersuara yaitu dimulai pada 31 Januari, guru besar dan akademisi UGM memulai petisi Bulaksumur, menyesalkan tindakan Presiden Joko Widodo, yang juga alumni UGM, atas dugaan penyimpangan dalam pemerintahannya.
Universitas Islam Indonesia (UII)
Sehari setelah UGM, UII mengeluarkan pernyataan "Indonesia Darurat Kenegarawanan," menyoroti penyalahgunaan kewenangan dan kemunduran demokrasi di era Jokowi, khususnya terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Universitas Indonesia (UI)
UI mengekspresikan keprihatinan atas kehilangan arah dan kecurangan dalam perebutan kekuasaan yang menggerogoti tatanan hukum dan demokrasi, khususnya menjelang Pemilu 2024.
Universitas Hasanuddin (Unhas)
Unhas menyatakan keprihatinan mereka terhadap perkembangan demokrasi dan mengingatkan Jokowi serta pejabat negara untuk berada dalam koridor demokrasi.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
UMY menyerukan agar demokrasi berlangsung dengan berkeadaban, menyoroti pelanggaran konstitusi dan hilangnya etika bernegara.
Universitas Padjadjaran (Unpad)
Unpad menyerukan penyelamatan demokrasi dan taat etika dalam Pemilu 2024, menilai kualitas demokrasi menurun di bawah pemerintahan Jokowi, terutama terkait kasus nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Universitas Mulawarman (Unmul)
Unmul menyerukan penyelamatan demokrasi dan meminta Jokowi untuk menghentikan langkah politik yang berkepentingan dengan dinasti di Pemilu 2024.
Sanksi DKPP untuk KPU
Tidak hanya soal kritikan dari para kampus, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, telah bersalah melanggar kode etik dan pedoman penyelenggara pemilu.
Kondisi itu juga memperkeruh jalan perjuangan politik Prabowo-Gibran.
Keputusan itu diambil setelah empat perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 diperiksa.
Hal tersebut menyeret nama Asy'ari dan enam anggota KPU lainnya.
Ketua DKPP, Heddy Lugito, menekankan Hasyim Asy'ari terbukti melanggar. Sebagai konsekuensinya, DKPP menjatuhkan sanksi melalui peringatan keras terakhir kepada Asy'ari sejak putusan itu dibacakan.
Diketahui, perkara ini berawal dari pengaduan terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden pada 25 Oktober 2023.
Pengaduan menilai Gibran yang diterima dalam pendaftaran tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Mengingat KPU belum merevisi, atau mengubah peraturan terkait pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Keputusan DKPP tersebut menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap kode etik. Sekaligus pedoman penyelenggara pemilu menjaga integritas dan keadilan proses demokrasi Indonesia.
Uniknya, putusan DKPP terkait pelanggaran etik tersebut tidak mempengaruhi penetapan pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Ruang publik ramai mendengar keterangan Ketua DKPP, Heddy Lugito, bahwa putusan itu murni bersifat etika dan tidak memiliki kaitan proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden Prabowo Subianto.
Editor: Aprilia Rahapit