PARBOABOA – Laporan Biro Statistik dan Direktur Jenderal Perencanaan Kebijakan Jepang, menyebutkan bahwa negara Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk. Hal tersebut terjadi karena penduduk Jepang sangat sibuk, sehingga mengurangi keinginan memiliki anak.
Jepang memang dikenal paling sering mengalami permasalahan dalam konteks populasi. Penurunan populasi di Jepang terlihat dari persentase kelahiran dan rentang usia penduduk di sana.
Populasi Jepang pada tahun 2010 mencapai lebih dari 128 juta penduduk, namun justru semakin merosot dari tahun ke tahun.
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri Jepang, populasi penduduk di negeri Sakura mencapai 125.927.902, termasuk penduduk asing, seperti dikutip dari Harian Nasional Jepang Mainichi.
Dari 47 prefektur Jepang kecuali Okinawa, mengalami penurunan populasi sejak 2013. Terlebih saat pandemi virus corona, menyebabkan arus masuk orang ke wilayah ibu kota menjadi lebih lambat.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Jepang pada tahun 2021, terdapat 811.604 kelahiran di Jepang, sedangkan angka kematian naik menjadi 1.439.809 orang. Angka ini tercatat paling rendah sejak tahun 1899.
Situasi ini tentu menjadi kekhawatiran bagi pemerintah Jepang dan berpotensi membahayakan pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Selain karena sibuknya aktivitas penduduk, terdapat penyebab lain mengapa Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk. Berikut penjelasannya!
Punya Budaya Kerja Ekstrem
Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk. Hal tersebut terjadi karena sebagian masyarakat Jepang menganut budaya kerja yang ekstrem. Dalam artian, mereka benar-benar punya semangat kerja yang tinggi.
Mengutip riset yang dilakukan Google, Jepang masuk ke dalam daftar ‘negara tersibuk di dunia’, didasarkan oleh rata-rata waktu bekerja penduduk, serta aktivitas di beberapa kota utama.
Penduduk Jepang dikenal memiliki budaya kerja ekstrem, terlihat dari tingkat kedisiplinan tinggi, ketepatan dan efisiensi waktu dalam bekerja.
Kesibukan warga Jepang terlihat jelas di kawasan perkotaan, terutama Tokyo. Bahkan di kota-kota besar lainnya, bekerja melebihi jam kerja sudah menjadi hal biasa bagi warga di negeri Sakura ini.
Belum lagi etos kerja yang tinggi, membuat Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk karena masyarakatnya yang super sibuk sehingga mengurangi keinginan memiliki anak.
Tingkat Kesuburan Rendah
Tingkat kesuburan yang rendah bisa dikatakan sebagai faktor utama mengapa angka kelahiran di Jepang sangat minim.
Indikator tingkat kesuburan wanita di Jepang dapat diketahui dari tingginya angka kematian dibandingkan kelahiran.
Belum lagi, ketidakpastian lapangan pekerjaan juga menjadi hambatan bagi pria muda untuk menikah, sehingga wanita cenderung menanti seseorang yang pantas baginya hingga tak sadar bahwa usianya sudah tak lagi subur.
Akibat menunda terlalu lama, banyak pasangan menjadi kesulitan memiliki keturunan karena sudah melewati usia produktif.
Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), usia subur wanita adalah pada saat mereka berusia 14-49 tahun.
Pandangan repot dan biaya mengurus anak yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab mengapa banyak wanita Jepang lebih memikirkan kariernya ketimbang pernikahan lalu memiliki anak.
Dalam konteks ini, pemerintah Jepang telah berupaya untuk mengatasinya dengan meluncurkan sejumlah insentif agar mendorong pasangan-pasangan muda untuk menikah dan memiliki anak. Adapun sejumlah bantuan tersebut seperti:
- Dukungan dana pernikahan/subsidi pengantin baru
- Dukungan dana untuk keperluan program kehamilan
- Santunan dana melahirkan
- Dana tunjangan anak
Masing-masing dana tersebut memiliki nilai yang berbeda tergantung domisili tempat tinggalnya.
Tidak Tertarik Menikah
Dikutip dari Insider, hasil survei Kantor Biro Kesetaraan Gender Jepang yang dilakukan pada Desember 2021 dan Januari 2022 terhadap 20 ribu responden dari usia 20 hingga 60, menunjukkan bahwa sekitar 25,4 persen responden wanita dan 26,5 persen pria tidak ingin menikah.
Sebagian besar wanita menolak menikah karena tidak siap berbagi tugas rumah tangga dan mengurus anak yang dibebankan kepada mereka. Belum lagi, mereka harus melayani pasangan seumur hidup setelah menikah.
Kemudian sebagian besar responden pria menginginkan kehidupan bebas tanpa ada kekangan ataupun beban pikiran yang menurut mereka itu adalah hal merepotkan.
Sebagiannya lagi memutuskan tidak menikah karena merasa belum mampu secara finansial.
Kesimpulan
Negara Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk. Hal tersebut terjadi karena penduduk Jepang sangat sibuk, sehingga mengurangi keinginan memiliki anak.
Selain itu, etos kerja yang tinggi membuat sebagian masyarakat Jepang lebih mementingkan karir daripada menikah. Terlebih, penduduknya yang tidak tertarik pada pernikahan dan rendahnya tingkat kesuburan wanita di Jepang menjadi penyebab turunnya populasi Jepang dari tahun ke tahun.