PARBOABOA – Apa itu ijma? Al Quran dan hadist sebagai sumber hukum Islam menjadi pedoman umat muslim untuk menjalani kehidupan ini.
Pada zaman kepemimpinan Rasulullah SAW, Al-Quran dan hadits sudah digunakan untuk memecahkan segala persoalan yang ada.
Para sahabat Rasulullah selalu bertanya kepada beliau untuk mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi. Namun, ketika Rasulullah wafat kemudian persoalan-persoalan muncul.
Persoalan yang muncul itu tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadits. Maka, umat muslim kesulitan untuk mencari sumber hukum yang adil, sebab tidak ada lagi tempat untuk bertanya.
Seiring berjalannya waktu, muncullah sumber hukum lain yang mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang tumbuh semakin kompleks. Sumber hukum tersebut adalah ijma.
Ijma adalah hukum yang ditetapkan atas kesepatan para ulama, bagaimana maksudnya? apa perbedaan ijma dan ijtihad?
Berikut ini Parboaboa akan menjelaskan secara lebih mendalam, lengkap dengan ciri, jenis, dan contohnya. Yuk, simak di bawah ini.
Pengertian Ijma
Ijma adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan hadits. Hukum ini mengacu pada pemahaman bersama dan persetujuan ulama atau cendekiawan muslim yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah-masalah hukum.
Secara bahasa ijma memiliki dua arti yakni dilihat dari kata “azam” dan “ittifaq”. Azam berarti niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan memutuskannya.
Sedangkan ittifaq artinya kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu. Sementara menurut istilah, pengertian ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat.
Menurut Abi Al-Husain Muhammad ibn Ali Aib Tayyib, ijma adalah kesepakatan kelompok ulama terhadap hukum sesuatu, baik untuk mengerjakan ataupun untuk meninggalkan.
Kedudukan ijma dalam hukum islam adalah sebagai sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum.
Terdapat beberapa dalil yang menjadi dasar ijma, seperti yang termaktub daam Surat An Nisa Ayat 59, yang berbunyi:
يٰٓاَيّÙهَا الَّذÙيْنَ اٰمَنÙوْٓا اَطÙيْعÙوا اللّٰهَ وَاَطÙيْعÙوا الرَّسÙوْلَ وَاÙولÙÙ‰ الْاَمْر٠مÙنْكÙمْۚ ÙَاÙنْ تَنَازَعْتÙمْ ÙÙيْ شَيْء٠ÙَرÙدّÙوْه٠اÙÙ„ÙŽÙ‰ اللّٰه٠وَالرَّسÙوْل٠اÙنْ ÙƒÙنْتÙمْ تÙؤْمÙÙ†Ùوْنَ بÙاللّٰه٠وَالْيَوْم٠الْاٰخÙرÙÛ— ذٰلÙÙƒÙŽ خَيْرٌ وَّاَØْسَن٠تَأْوÙيْلًا ࣖ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An Nisa Ayat 59)
Perbedaan ijma dan ijtihad adalah terletak pada pengerjaannya. Ijma merupakan bagian dari ijtihad, sehingga semua ijma adalah ijtihad. Sedangkan tidak semua ijtihad adalah ijma.
Pengertian Ijma Menurut Para Ulama
Para ahli ushul fiqh berpendapat bahwa ijma adalah kesepakatan terhadap permasalahan hukum syara pada suatu peristiwa. Ksepakatan ini dilakukan para mujtahid setelah Rasulullah SAW wafat.
1. Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa ijma merupakan sebuah kesepakatan dari umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan yang berhubungan dengan persoalan agama.
2. Imam Al-Subki
Imam Al-Subki mendefinisikan bahwa ijma adalah suatu kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara.
3. Ali Abdur Razak
Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak dan bertajuk al Ijma Fi al Syari’at al Islamiyat. Menurut Ali Abdur Razak ijma adalah kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan atas perkara hukum syara.
4. Abdul Karim Zaidah
Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah menjelaskan bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasullallah SAW wafat.
5. Abd al Wahhab Khallaf
Abd al Wahhab Khallaf menyatakan ijma adalah konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum syara' mengenai suatu kasus.
Salah satu bentuk ijtihad adalah ijma ulama,artinya kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama Islam berdasarkan Al-Quran dan hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Ciri-ciri Ijma
Menurut Muhammad Salam Madkur dan Ali Hasballah menyebutkan ada beberapa kriteria dalam menyebutkan sebuah hukum berdasarkan hasil ijma adalah sebagai berikut:
- Ulama yang dapat melakukan kesepakatan adalah ulama mujtahid.
- Ulama yang membuat kesepakatan adalah semua ulama mujtahid dan tidak ada yang menyalahkan kesepakatan yang dibuat.
- Objek yang disepakati adalah persoalan yang termasuk wilayah ijtihad.
- Ijma dilakukan setelah Rasulullah wafat.
Rukun Ijma
Dalam Ushul Fiqih Islami oleh Az Zuhaili (1986:537), ijma artinya sah apabila terlah terpenuhi rukun-rukunnya, seperti:
1. Mujtahid lebih dari satu orang
2. Kesepatan dari para mujtahid atas hukum tertentu harus dapat direalisasikan
3. Adanya kesepakatan dari semua mujtahid sebagai suatu hukum syari’i tanpa memandang suatu negeri, kebangsaan, atau kelompok tertentu
4. Kesepatakan diawali ketika masing-masing mujtahid memberikan pendapatnya secara jelas dan transparan
5. Penetapan ijma harus bersandarkan pada Al Quran dan hadits Rasulullah.
Jenis-jenis Ijma
Jenis-jenis ijma dibagi menjadi 4 kategori. Berikut ini yang merupakan jenis ijma adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma terbagi menjadi dua, yaitu:
- Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar, dan tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat lima waktu dan haramnya minuman keras.
- Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama. Karena diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.
2. Berdasarkan metode terjadinya, ijma dibagi menjadi dua yaitu:
- Ijma bayani adalah ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma’, begitu juga jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum lalu para ulama lainnya berpendapat sama. Inilah dia asalnya ijma’, dan ketika disebut kata ijma’ secara mutlak maka yang terbetik dalam benak adalah ijma’ sharih.
- Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan ataupun perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari, maka apakah itu ijma’? Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak mengingkari, maka bisa dikatakan ijma’. Namun, berdasarkan pandangan bahwa diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti segan atau memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak dapat disebut ijma’.
3. Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma dibagi menjadi dua, yaitu:
- Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang dimaksud dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.
- Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan dengan jenis yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka telah mufakat untuk tidak berselisih kecuali menjadi dua atau tiga pendapat tersebut, maka tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang bertentangan atau menafikan pendapat yang telah ada.
4. Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma dibagi menjadi dua yaitu:
- Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid mengeluarkan kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari mendata ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.
- Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan tak perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu orang.
Contoh Ijma
Setelah memahami pengertian dari ijma, berikut ini contoh ijma adalah sebagai berikut:
- Mulai diterapkan adzan dan iqomah sebanyak dua kali pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
- Mulai membukukan Al-Quran pada masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
- Para ulama sepakat untuk mengharamkan babi dan hal-hal yang berkaitan dengan babi.
- Menjadikan hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran.
Demikianlah penjelasan tentang ijma adalah beserta dengan ciri, rukun, jenis dan contohnya. Semoga ulasan ini dapat menambah pengetahuan Anda mengenai sumber hukum Islam, selain Al-Quran dan hadits. Semoga bermanfaat.
Editor: Lamsari Gulo