PARBOABOA, Jakarta - Peneliti Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono mengingatkan seluruh politikus yang akan bertarung di pemilihan umum 2024 tidak menggunakan isu-isu agama dan suku untuk menggalang suara.
Ia juga meminta politikus tidak membawa rasa kebencian terhadap minoritas agama, gender, seksualitas, hingga penyandang disabilitas saat berkampanye, karena mencederai demokrasi.
“Saya harap tahun politik ini tidak ada satupun politikus dari Aceh sampai Papua, dari Miangas sampai Rote menggunakan kebencian buat mendapatkan suara. Itu akan merusak, mencederai demokrasi. Baik itu (kebencian) terhadap minoritas agama, minoritas gender, minoritas seksualitas, hingga disabilitas,” ucapnya dalam konferensi pers Laporan Dunia 2023 yang diselenggarakan Human Rights Watch, Kamis (12/01/2023).
Andreas menyebut sejumlah tragedi berdarah yang mencoreng demokrasi Indonesia saat pergantian pemimpin. Masa Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto di 1956 lalu, ada 1 juta orang yang meninggal dunia.
Saat Presiden Soeharto lengser dan digantikan Presiden Habibie di 1998 ada 90 ribu orang meregang nyawa. Pada 1999-2001 ada banyak orang Madura di Kalimantan yang tewas saat terjadi pergantian pemimpin di sana.
“Tidak elok buat politisi berkampanye dengan menggunakan kebencian. Tidak elok,” jelasnya.
Andreas mengatakan, sentimen-sentimen negatif yang dibawa-bawa saat tahun politik, dan kejadian-kejadian di masa lalu menyebabkan banyak orang takut setiap kali pemilihan umum akan dilaksanakan.
Andreas meminta politikus Indonesia bersaing secara sehat dengan beradu mengenai program-program yang lebih baik, guna menunjang kemajuan negara.
“Politisi Kita harus berani untuk beradu soal mereka menjadi pemimpin yang lebih baik, memperbaiki keadaan mungkin dengan anggaran, mungkin dengan program-program dan agar demokrasi di Indonesia makin bermutu," ucapnya.
Terlebih lagi, kata Andreas mengatakan, pemilihan umum dilakukan untk mencari pemimpin terbaik. Seluruh prosesnya harus dilakukan dengan cara yang baik dan damai.
“Kita ini melakukan pemilihan umum untuk mencari pemimpin baru. Mungkin menggantikan pemimpin lama atau mungkin mempertahankan pemimpin yang lama. Baik itu pada aras nasional, provinsi, maupun kabupaten kota. Jadi itu tujuan demokrasi Pergantian pemimpin dengan cara yang damai. Kalau tidak menggunakan demokrasi, setiap kali terjadi perubahan pemimpin itu bisa berdarah darah,” jelasnya.