PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu kasus yang marak terjadi di Indonesia.
Umumnya, terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan fisik, psikis, verbal, dan seksual.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan melaporkan, sebanyak 339.782 kasus kekerasan yang dialami perempuan sepanjang 2022. Sementara pada 2023, jumlah kekerasan berada di angka 289.111.
"Tiap hari, Komnas Perempuan menerima rata-rata 11 laporan kasus," demikian bunyi laporan tersebut.
Laporan yang sama bahkan menyebut, pada 2022, sebanyak 307 perempuan yang mengalami kematian akibat relasi kuasa dengan laki-laki. Setahun berselang, jumlahnya bertengger di angka 159.
Terbaru, sosok Ronald Tannur, putra salah satu anggota non aktif DPR dari partai PKB, Edward Tannur diduga melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya Dini Sera Afrianti.
Meski Ketua Majelis Hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik membebaskan Ronald dengan alasan tak cukup bukti dakawaan, putusan tersebut memicu kontroversi luas.
Hakim Erintuah dinilai salah dalam memberikan putusan karena kurangnya pemahaman terhadap penerapan hukum femisida di Indonesia.
Tindakan Ronald seharusnya masuk dalam kategori "femisida dalam hubungan intim yang belum banyak dikenal di Indonesia," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, Jumat (26/07/2024).
Terlepas dari putusan tersebut, kasus femisida yang dilakukan Ronald kepada kekasihnya, Dini menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam mencegah femisida.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengajak masyarakat untuk lebih proaktif dalam mencegah femisida.
"Kita harus bisa menjadi support system yang solid. Tidak boleh menyalahkan atau menghakimi korban," ungkap Fuad pada Rabu (11/10/2023).
Saat seorang perempuan menjadi korban femisida, lingkungan sekitar perlu memberikan dukungan penuh, baik secara moral maupun material.
"Alasan utama korban sulit melepaskan diri dari pelaku seringkali karena ketergantungan finansial. Masyarakat sekitar bisa membantu dengan memberikan dukungan finansial sementara, misalnya untuk memenuhi kebutuhan korban," jelas pria yang akrab disapa Cak Fu ini.
Beberapa korban femisida biasanya terjebak dalam hubungan yang beracun dan merusak.
Mereka enggan melaporkan pelaku karena berbagai alasan, termasuk ketergantungan finansial atau keyakinan bahwa pelaku akan berubah.
Oleh karena itu, lingkungan sekitar perlu berperan dalam membantu membuka pemikiran korban secara perlahan agar mereka sadar akan situasi yang sebenarnya.
"Kita harus mengedukasi para korban bahwa kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan berbasis gender tidak boleh dianggap remeh. Faktanya, banyak kasus KDRT yang berujung pada kematian atau trauma psikologis yang berat," jelas Cak Fu.
Kekerasan berbasis gender memiliki pola yang berulang, di mana pelaku bisa bersikap kasar, kemudian berbaikan, dan kembali bersikap kasar. Korban harus mampu memutus siklus ini untuk menyelamatkan diri mereka.
"Pola ini terus berulang. Pelaku melakukan kekerasan, kemudian bersikap mesra lagi, dan setelah itu kekerasan muncul kembali. Jika tidak diputus, siklus ini bisa sangat fatal," tegasnya.
Cak Fu juga memberikan beberapa langkah yang harus dilakukan jika masyarakat menyaksikan kejadian femisida.
"Jika masyarakat melihat tindakan kekerasan, terutama kekerasan seksual, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan korban," sarannya.
Setelah itu, masyarakat dapat melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua RT atau pihak berwenang setempat.
Langkah berikutnya adalah melaporkan pelaku ke pihak berwajib, baik Kepolisian atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Semua bertujuan untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, khususnya menyelamatkan perempuan dari tindakan yang bisa berakibat pada kematian.
Definisi dan Bentuk Femisida
Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida didefinisikan sebagai tindakan pembunuhan terhadap perempuan yang dipicu oleh kebencian, dendam, dan dominasi.
Riset Maria Noviyanti Meti (2023) menemukan kebanyakan kasus yang menempatkan perempuan sebagai korban disebabkan karena pandangan yang reduktif terhadap mereka.
Femisida berbeda dari pembunuhan biasa karena melibatkan aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau penindasan.
Fenomena ini bukan sekadar kematian biasa, melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi di berbagai ranah, baik lingkup pribadi, komunitas, maupun negara.
Menurut publikasi World Health Organization (WHO), terdapat beberapa jenis femisida, antara lain:
Pertama, femisida intim, yaitu femisida yang mengakibatkan pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan atau mantan pasangan mereka.
Jenis ini biasanya terjadi sebagai puncak dari kekerasan berulang yang dilakukan oleh pasangan.
Kedua, pembunuhan atas nama kehormatan, yaitu jenis femisida yang didorong oleh konsep patriarki yang agresif.
Contohnya terjadi di Palestina, di mana Ghrayeb, seorang perempuan berusia 21 tahun, dibunuh oleh keluarganya karena memposting foto bersama pria yang melamarnya di Instagram.
Ketiga, femisida terkait mahar, yaitu jenis femisida yang terjadi karena seorang pria gagal memenuhi mahar yang dibebankan kepadanya.
Di India, seorang ibu muda bernama Annu Devi dan bayinya dibakar hidup-hidup oleh suaminya karena gagal membayar mahar pernikahan. Kasus ini menunjukkan betapa tragisnya situasi di mana nyawa perempuan dianggap tak berharga.
Keempat, femisida non-intim, yaitu model pembunuhan yang dilakukan seorang pria yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan korban tetapi melakukan tindakan kekerasan terhadapnya.
Selain empat jenis femisida yang diidentifikasi oleh WHO, ada beberapa jenis lainnya menurut laporan "Femicide in Canada".
Jenis-jenis tersebut, yaitu, femisida konflik bersenjata, femisida terhubung, femisida berlatar belakang budaya, dan femisida rasis yang terjadi karena penolakan terhadap ras tertentu.
Dengan mengenal dan memahami definisi dan jenis-jenis femisida, diharapkan pikiran masyarakat terbuka sehingga mereka saling bergandengan tangan untuk memberantas kasus serupa di masa depan.
Editor: Defri Ngo