PARBOABOA, Jakarta - Matahari pagi mulai menyapa lembut ketika tim Parboaboa tiba di Setu Babakan, pusat pelestarian budaya Betawi yang terletak di Jakarta Selatan.
Udara segar menemani langkah penuh semangat untuk menyusuri setiap sudut desa budaya, yang menawarkan pesona autentik dari tradisi Betawi.
"Klek, klek, klek..." Suara gesekan sendok kayu dengan kuali tembaga tiba-tiba menarik perhatian kami, untuk mengarahkan langkah ke sebuah dapur sederhana yang dipenuhi aroma manis dodol Betawi.
Senyum ramah Peri (27), seorang pembuat dodol menyapa kami, bahkan mempersilahkan untuk singgah dan memperhatikan proses pembuatan salah satu makanan khas Betawi yang sudah ia tekuni sejak 2014.
Peri menjelaskan bahwa saat itu ia tengah mengolah dodol dengan varian rasa durian montong.
Proses pembuatan dodol Betawi memakan waktu lama, sekitar 9 hingga 12 jam, bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap tahap membutuhkan kesabaran dan keahlian yang diwariskan secara turun-temurun. Dari mencampur bahan-bahan hingga pengadukan terus-menerus, semuanya dilakukan dengan teliti untuk mencapai hasil yang sempurna.
Dengan waktu yang begitu lama, Peri dan rekannya terus mengaduk secara bergantian. Sebab, menurutnya, pengadukan harus dilakukan sampai dodol bisa dinyatakan layak untuk diangkat.
“Kalau nggak diaduk sebentar saja, bisa gosong, Mbak,” tuturnya sembari tersenyum tipis.
Meskipun masih berusia muda, Peri memiliki tekad untuk melestarikan budaya leluhurnya, salah satunya dengan mempertahankan keaslian cita rasa dodol Betawi. Ia memilih menggunakan peralatan tradisional dalam proses pembuatannya untuk menjaga keautentikan produk tersebut.
Kompor tungku yang di desain sendiri, dengan api menggunakan kayu bakar yang telah dipesannya secara rutin.
“Kalau pakai kompor gas, rasa dan aromanya jadi beda. Tungku kayu bakar ini yang menjaga cita rasanya tetap khas,” jelasnya.
Kobaran api membuat keringat mengalir deras di wajah Peri. Sesekali, ia mengusap dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Tanpa berhenti ia terus mengaduk dodol yang ada dalam kuali tembaga besar yang dibanderol dengan harga Rp20 juta.
Dengan harga yang sangat mahal, kuali ini mampu menampung 12 liter tepung ketan, santan dari 40 butir kelapa, dan 13 kilogram gula, komposisi yang siap diolah menjadi dodol yang kenyal dan manis.
Jika ditetapkan, rupiah yang dikeluarkan Peri saat pembuatan dodol Betawi bisa mencapai Rp.500 ribu bahkan lebih, tergantung harga bahannya.
“Kalau semua sudah mengental dan menjadi dodol siap saji, maka berat yang dihasilkan mencapai 40kg,” jelasnya.
Dengan begitu, harga jual untuk kemasan kecil Rp.16 ribu sementara harga perkilonya sekitar Rp. 90 ribu.
Jadi penghasilan yang didapatkan Peri dalam sekali olah dodol sekitar Rp. 3,6 jutaan.
Dodol buatan bang Peri tidak hanya digemari oleh para pengunjung di Setu Babakan, tetapi juga berhasil menembus pasar hingga ke Belanda.
Ia menambahkan bahwa pesanan biasanya meningkat pesat menjelang perayaan Idul Fitri.
“Kalau lebaran biasanya bisa tembus 2 kuali perhari, Mbak,” ungkapnya dengan rasa syukur.
Di selang obrolan, seorang pelanggan setia dodol Betawi menghampiri lapak bang Peri.
“Masih anget, Bang?” tanyanya pada Peri.
Tentu saja, saat itu Peri bergegas melayani pelanggan tersebut dengan segera mewadahi dodol Betawi yang masih berasal dari kuali.
Menurut pelanggan setianya, sebut saja Rizal (50), ia lebih menyukai dodol Betawi dadakan di lapaknya Peri.
“Suka belanja di sini, Mbak. Rasanya enak banget apalagi kalau dadakan, beuh..” ungkap Rizal dengan genggaman dodol hangat di tangannya.
Simbol dan Perbedaan Dodol Betawi
Di balik popularitas dodol Betawi yang disukai banyak orang, ternyata memiliki makna simbolis tersendiri yang jarang orang ketahui.
Peri mengungkapkan, jika sebenarnya dodol betawi memiliki simbol “gotong royong”.
“Karena proses pembuatannya dulu melibatkan waktu panjang dan kerja sama antaranggota keluarga atau tetangga,” ungkapnya.
Tugas biasanya dibagi, para pria bertanggung jawab mengaduk adonan dodol selama berjam-jam hingga dodol mencapai tekstur sempurna dengan warna coklat pekat. Sementara, para perempuan sibuk menyiapkan bahan-bahan seperti tepung ketan, santan, dan gula aren.
Selain gotong royong, Peri juga menuturkan jika dodol Betawi juga sering dikaitkan dengan kelekatan pasangan.
“Dalam tradisi Betawi, dodol melambangkan hubungan yang kuat dan harmonis, seperti sifat dodol yang lengket, sulit terpisahkan, dan manis,” tuturnya.
Itulah mengapa dodol wajib ada dalam pernikahan orang Betawi. Simbol ini sering diterapkan dalam berbagai acara adat, untuk menggambarkan harapan akan keutuhan dan keintiman hubungan pengantin baru.
Bukan hanya simbol, ternyata dodol Betawi juga memiliki perbedaan dengan dodol lain. Mulai dari bahan yang pokok dan juga rasa yang autentik.
Dodol Betawi dibuat dengan bahan sederhana, seperti tepung ketan putih, yang membuatnya memiliki tekstur kenyal dan rasa yang gurih. Berbeda dengan dodol dari lain, yang biasanya lebih kering dan keras.
“Dodol Betawi ini lebih kenyal, santannya lebih dominan. Jadi rasanya gurih dan legit. Kalau dodol lain, kadang malah lebih manis dan kering,” jelas Peri sembari memindahkan adonan ke dalam cetakan.
Dodol Betawi juga tidak mengenal waktu khusus untuk disajikan, berbeda dengan dodol Cina yang hanya muncul saat perayaan Tahun Baru Imlek.
“Dodol Cina itu simbol keberuntungan, biasanya dibuat untuk Imlek. Kalau kita, dodol Betawi, ya buat sehari-hari. Tidak hanya saat acara besar,” tuturnya.
Namun, ada perbedaan mencolok dalam daya tahan dan pengawetan. Dodol Betawi, yang dibuat tanpa pengawet, tidak bisa lebih dari dua minggu.
“Nah, dodol Betawi hanya memiliki ketahanan sampai 2 minggu saja, beda sama dodol lain itu tahan bisa nyampe 1 tahun bahkan lebih,” tambahnya.
Sementara itu, dodol seperti Kue Keranjang, yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, memiliki daya tahan lebih lama bisa mencapai setahun meskipun tidak disimpan di dalam lemari es.
“Kue Keranjang itu dibuat dari gula pasir, jadi lebih tahan lama. Meski setahun, kalau dikukus lagi, masih bisa dinikmati,” jelas Peri, sambil menunjukkan perbedaan dalam penggunaan bahan.
Pemali yang Harus Dihindari
Selain simbol dan perbedaan, ternyata ada yang sangat penting agar dihindari ketika membuat dodol Betawi, yaitu tidak boleh memasak sambil cemberut karena diyakini dapat mempengaruhi rasa.
"Kalau kata orang zaman dulu, masak dodol harus sambil senyum ramah gitu. Jangan ngeliatin capek atau cemberut," ungkapnya.
Hal ini juga disetujui oleh Mpok Leha (45), seorang pengunjung yang sedang mampir di lapak Peri.
"Nggak boleh sambil cemberut, Neng. Ntar rasanya biasanya kurang manis," katanya sambil tertawa.
Meskipun keakuratan kepercayaan ini masih dipertanyakan, pantangan tersebut sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.
"Mau nggak percaya, tapi itu pernah kejadian, Mbak," tambah Peri.
Ia juga menjelaskan bahwa pembuat dodol Betawi kini semakin berkurang peminatnya.
"Jarang banget, Neng. Bahkan nggak semua orang Betawi bisa. Buktinya saya, saya Betawi asli, tapi nggak bisa. Rasanya juga kadang ada yang enak, kadang nggak. Tergantung tangan siapa yang bikin," jelas Mpok Leha sambil menjinjing barang belanjaannya.
Mendengar hal itu, Peri menyampaikan keinginannya agar masyarakat, terutama generasi muda Betawi, lebih peduli dalam melestarikan makanan tradisional khas ini. Ia juga mendorong generasi penerus untuk belajar membuat dodol sebagai upaya menjaga warisan budaya.
Penulis: Dea Pitriyani
Peserta program magang Parboaboa