PARBOABOA - Ondel-ondel, boneka raksasa khas Betawi yang menjulang hingga 2,5 meter, dulunya adalah simbol magis yang memiliki makna mendalam. Namun, zaman berubah, begitu pula perannya.
Dalam tradisi leluhur, boneka besar ini dipercaya mampu menangkal bala dan menjaga harmoni kampung dari pengaruh buruk.
Kini, perjalanan waktu telah mengubah wajah ondel-ondel dari sebuah ritual spiritual menjadi ikon budaya yang kini meramaikan sudut-sudut Jakarta sebagai hiburan jalanan.
Di balik tampilan ikoniknya, ada proses panjang yang penuh dedikasi. Seperti yang dilakukan oleh Ferry, seorang pengrajin ondel-ondel yang setiap hari mampu membuat tiga boneka besar berukuran 85 cm.
Bambu-bambu yang digunakan dipilih dengan cermat, mulai dari yang berukuran kecil hingga yang mencapai 2 meter, untuk memastikan kekuatan dan kelenturan yang tepat.
Dengan ketelitian tinggi, bambu dipotong, dikupas, dan dikerjakan hingga membentuk kerangka tubuh yang kokoh.
“Tak, tak, tak!” terdengar suara saat bambu dipotong. Proses pemotongan dilakukan sesuai ukuran yang sudah ditentukan, untuk memastikan bahan yang fleksibel namun kuat untuk proses selanjutnya.
Kulit bambu kemudian dikerjakan dengan mesin, mempercepat proses pengupasan sebelum dibentuk dengan pisau menjadi rangka tubuh, mulai dari kaki hingga bahu.
Sementara itu, kepala ondel-ondel dibuat dari paralon dan busa spons, dan bagian rambutnya diisi dengan ijuk, memberikan sentuhan khas pada boneka raksasa tersebut. Selain itu, terdapat juga topeng dengan bahan pembuatan yang berbeda dan harga yang berbeda.
“Topeng dari fiber bersifat ringan dan mudah pecah sekitar 14 juta rupiah, topeng dari spons dengan harga yang lebih murah sekitar 230 ribu rupiah. Sedangkan topeng yang terbuat dari kayu relatif lebih mahal sekitar 25 juta rupiah,” jelas ferry.
Sebelum membuat kerangka ondel-ondel, bambu diraut kembali dengan menggunakan pisau sampai terbentuk sesuai yang inginkan. Kerangka dimulai dari bagian kaki, badan, dan bahu dari ondel-ondel.
Bagi Ferry, pembuatan ondel-ondel ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga bagian dari upaya pelestarian budaya Betawi yang kaya akan makna.
Sejarah dan Makna
Menurut situs resmi Kebudayaan Betawi, asal-usul Ondel-Ondel Betawi memiliki beragam versi, namun tidak ada catatan pasti tentang siapa yang menciptakannya dan kapan pertama kali dibuat.
Meski begitu, masyarakat sekitar meyakini bahwa ondel-ondel, yang dahulu dikenal sebagai "barongan," sudah ada sejak abad ke-17. Barongan dipercaya sebagai simbol penolak bala yang berfungsi melindungi masyarakat dari wabah penyakit dan gangguan lainnya.
Pada tahun 1605, seorang pedagang Inggris bernama W. Scot mencatat keberadaan ondel-ondel di Indonesia. Sejak saat itu, ondel-ondel berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Betawi.
Pada 1970-an, lagu "Ondel-Ondel" yang dibawakan oleh Benyamin Sueb semakin mengangkat popularitasnya.
Awalnya, ondel-ondel lahir dari tradisi yang sarat dengan nilai spiritual. Kehadirannya erat kaitannya dengan upacara adat Betawi untuk menolak bala atau mengusir roh jahat.
Keberadaan ondel-ondel berpasangan, yaitu ondel-ondel laki-laki yang berwarna merah dan ondel-ondel perempuan yang berwarna putih, mencerminkan kekuatan dan kelembutan, serta memberikan harapan akan keselamatan dan berkah bagi masyarakat.
Boneka ini dibuat dengan penuh penghormatan, dihias dengan wajah menyeramkan, berkumis tebal untuk lelaki dan berlipstik merah mencolok untuk perempuan, sebagai simbol penjaga yang tangguh.
Setiap gerakan ondel-ondel diiringi musik khas, seperti tanjidor atau gambang kromong, mempertegas kehadiran mereka sebagai bagian dari ritual sakral.
Pada masa itu, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan memainkan ondel-ondel karena boneka ini dianggap memiliki kekuatan spiritual yang tidak bisa sembarangan disentuh.
Ondel-ondel kemudian bertransformasi menjadi simbol budaya Jakarta, terutama setelah Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, menjadikannya sebagai ikon kota pada tahun 1970-an. Pada 2017, ondel-ondel pun resmi diakui sebagai warisan budaya Betawi dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 11 Tahun 2017.
Krisis Identitas Budaya
Seiring dengan popularitasnya, ondel-ondel mengalami pergeseran fungsi. Dari yang awalnya digunakan dalam upacara adat, kini sering dijumpai di jalanan sebagai alat untuk mencari nafkah oleh pengamen.
Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan dalam makna dan penggunaan ondel-ondel di masyarakat modern.
Meskipun sudah diakui sebagai ikon budaya Betawi, kenyataannya ondel-ondel sering kali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berkaitan dengan tradisi Betawi.
Ferry, seorang pengrajin ondel-ondel, menjelaskan bahwa banyak pengamen yang membawa ondel-ondel, namun mereka bukanlah orang Betawi, melainkan berasal dari daerah lain.
“Sebenarnya pengamen yang di jalanan bukan orang Betawi, melainkan orang Jawa dan lainnya,” katanya.
Para seniman dan budayawan mulai khawatir dengan fenomena ini. Mereka merasa bahwa pengamen yang menggunakan ondel-ondel dapat merusak citra asli seni Betawi dan mengurangi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Boneka raksasa yang dulunya dibuat dengan ritual khusus kini terlihat sederhana, bahkan seringkali tidak lagi diiringi alat musik tradisional melainkan speaker portable yang memutar lagu dangdut atau remix modern.
Perubahan fungsi ini memunculkan pro dan kontra. Sebagian orang merasa bahwa ini adalah cara kreatif untuk menjaga keberadaan ondel-ondel di tengah gempuran budaya asing. Namun, ada pula yang merasa bahwa ondel-ondel kehilangan marwahnya sebagai simbol budaya Betawi yang luhur.
Untuk menjaga kelestarian budaya Betawi, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015 tentang pelestarian kebudayaan Betawi seharusnya lebih diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda).
Menurut Martyn Rifky, seorang seniman muda asal DKI Jakarta, Perda dapat menjadi landasan hukum yang lebih kuat untuk mendukung pelaksanaan program pelestarian budaya Betawi. Menurutnya, hal tersebut memungkinkan keterlibatan lebih banyak elemen masyarakat, bukan hanya pemerintah daerah, sehingga upaya pelestarian dapat menjangkau dan melibatkan masyarakat secara lebih luas.
Dengan begitu, harapannya ondel-ondel tidak hanya bertahan sebagai simbol budaya, tetapi juga dapat terus berkembang tanpa kehilangan esensi dan makna aslinya.
Melalui langkah-langkah pelestarian yang lebih sistematis dan melibatkan berbagai pihak, budaya Betawi, termasuk ondel-ondel, dapat tetap hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Ondel-ondel, yang sudah ada sejak ritual adat hingga hiburan jalanan, menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa bertahan dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Tugas kita sekarang adalah memastikan bahwa adaptasi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya.
Pelestarian budaya Betawi, termasuk ondel-ondel, perlu didukung dengan kebijakan yang lebih kuat. Dengan begitu, tradisi ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari warisan budaya yang sangat bernilai.
Penulis: Kuni Hanifah
Peserta Program Magang Parboaboa