Catatan Kelam Pelanggaran HAM dan Upaya Pemajuan Melalui Indeks HAM Nasional

Catatan kelam pelanggaran HAM selama setahun terakhir. (Foto: Dokumen KontraS)

PARBOABOA, Jakarta - Menjelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember 2024, KontraS merilis laporan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang Desember 2023 hingga November 2024. 

Laporan ini mengungkap berbagai peristiwa yang menggambarkan tantangan serius dalam penegakan HAM di Indonesia.

Salah satu sorotan utama adalah pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing). Sepanjang periode tersebut, terjadi 45 kasus yang menyebabkan 47 korban jiwa. 

Dari jumlah itu, 27 korban merupakan tersangka tindak pidana, sementara 20 lainnya bukan tersangka. Sebagian besar korban tewas akibat penembakan, sementara sisanya akibat penyiksaan.

"Perlawanan yang dilakukan oleh tersangka tindak pidana seringkali menjadi 'justifikasi' dilakukannya penembakan terhadap tersangka" kata KontraS. 

Ironisnya, kata KontraS, banyak juga korban yang terbunuh meskipun tidak memberikan perlawanan kepada aparat.

Hukuman mati juga menjadi sorotan. Sepanjang periode ini, terdapat 29 vonis pidana mati dengan total 57 terpidana. Mayoritas kasus terkait narkotika dan pembunuhan.

KontraS berkata, kondisi tersebut di atas memperpanjang daftar terpidana mati yang menunggu eksekusi di lembaga pemasyarakatan.

Penyiksaan menjadi catatan kelam lainnya, dengan 62 peristiwa yang menyebabkan 128 korban, termasuk 19 korban tewas. Sebagian besar korban adalah warga sipil yang tidak terkait tindak pidana.

Ini, "mencerminkan pola kekerasan yang terus digunakan oleh aparat," tegas mereka.

Situasi semakin diperburuk oleh pelanggaran terhadap kebebasan sipil, seperti pembubaran paksa aksi protes, kekerasan terhadap peserta aksi, dan serangan terhadap jurnalis. Bahkan, sebanyak 20 peristiwa serangan terhadap jurnalis terjadi sepanjang tahun ini, mayoritas melibatkan aparat kepolisian.

Di sektor pembangunan, pelanggaran HAM juga masih sering terjadi, terutama dalam proyek strategis nasional (PSN) dan eksploitasi sumber daya alam. 

KontraS mencatat 161 peristiwa pelanggaran yang mencakup okupasi lahan, penggusuran paksa, dan intimidasi. Masyarakat adat menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak, dengan proyek-proyek pembangunan sering kali dilakukan di atas tanah adat tanpa persetujuan mereka.

Di sisi lain, konflik di Papua terus menyisakan luka mendalam. Selama setahun terakhir, tercatat 51 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil, meliputi penembakan, penyiksaan, dan penganiayaan yang mengakibatkan 36 orang luka-luka dan 21 orang tewas. 

Konflik yang berulang ini, tegas KontraS menunjukkan kurangnya upaya konkret pemerintah untuk menghentikan siklus kekerasan dan menciptakan perdamaian.

Tahun 2024 juga diwarnai oleh langkah-langkah yang mencerminkan impunitas terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo Subianto dan penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR tentang antikorupsi menjadi simbol upaya pemutihan sejarah kelam Indonesia. Sementara itu, kasus pelanggaran berat HAM seperti pembunuhan Munir dan peristiwa Paniai masih terkatung-katung tanpa kejelasan.

Di tingkat internasional, pemerintah terus mempromosikan keberhasilan HAM, seperti pemilu yang damai dan pengakuan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Namun, kenyataan di dalam negeri, kata Kontras, bertolak belakang dengan narasi ini, terutama terkait kekerasan di Papua dan pembatasan ruang sipil. 

Dengan pemerintahan baru yang berencana melanjutkan banyak kebijakan sebelumnya, KontraS menyimpulkan prospek penegakan HAM di Indonesia masih dirundung ketidakpastian. 

Apalagi, kata mereka, paradigma pembangunan selalu fokus pada proyek besar-besaran dan eksploitasi sumber daya alam yang berpotensi mengabaikan hak masyarakat, terutama di pedesaan dan daerah terpencil.

Kendati demikian, Kontras tetap berharap, Hari HAM Sedunia harus menjadi momen penting untuk merefleksikan komitmen terhadap keadilan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia.

Peluncuran Indeks HAM

Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) RI turut menyayangkan catatan kelam pelanggaran HAM di Indonesia.

Karena itu, menyambut hari HAM sedunia, mereka menginisiasi peluncuran indeks HAM yang rencananya akan digelar  di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Selasa (10/12) malam.

Plt. Inspektur Jenderal Kemenham, Farid Junaedi di Jakarta, Kamis, (5/11/2024) menjelaskan indeks HAM adalah "instrumen pengukuran kondisi implementasi norma dan prinsip HAM di Indonesia."

Farid menjelaskan, indeks HAM ini dirancang sebagai alat untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai HAM telah diterapkan di Tanah Air. 

Proses pengukurannya akan melibatkan tiga pendekatan utama, yaitu pengumpulan data dari kementerian dan lembaga terkait, survei terhadap lebih dari 2.000 masyarakat, serta wawancara dengan para pakar. 

Kemudian, hasil pengukuran ini, jelasnya, akan didiskusikan bersama akademisi, pakar, dan masyarakat sipil untuk memastikan akurasi dan relevansinya.

Indeks ini mencakup 20 indikator, terdiri atas sebelas indikator di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta sembilan indikator di bidang sipil dan politik. 

Farid berkata, seluruh indikator diadaptasi dari kovenan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga memiliki landasan yang kuat dalam konteks hukum dan kebijakan global.

"Kita harapkan indeks ini mempunyai manfaat, memantau situasi implementasi HAM di Indonesia" serta "memberikan deskripsi dan dokumentasi kontekstual terhadap situasi implementasi HAM di Indonesia."

Untuk diketahui, peringatan Hari HAM Sedunia Ke-76 tahun ini mengusung tema 'Harmoni dalam Keberagaman menuju Indonesia Emas 2045.' 

Tema ini bertujuan memperkuat nilai-nilai HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian dalam masyarakat yang semakin beragam.

Staf Khusus Bidang Komunikasi Media Kementerian HAM, Thomas Harming Suwarta menerangkan, salah satu fokus utama yang akan dilakukan adalah pengarusutamaan nilai-nilai HAM. 

Hal itu nantinya diarahkan tidak hanya kepada masyarakat umum tetapi juga kepada aparatur negara seperti ASN, TNI, dan Polri. 

Ia menyebut, pengarusutamaan dilakukan melalui dua dimensi, yaitu kognitif yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan, dan aksiologis yang berfokus pada implementasi langsung di lapangan.

"Kita arahkan kepada aparat sipil, ASN, penyelenggara negara, dan aparat pemerintah, baik itu keamanan maupun pertahanan, dalam konteks ini TNI/Polri," pungkasnya. 

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS