PARBOABOA, Jakarta - Pemecatan yang dilakukan Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Herybertus G.L Nabit terhadap 249 nakes masih menjadi diskusi hangat di kalangan masyarakat.
Pengamat Hukum dan Advokat, Siprianus Edi Hardum menyebut, tindakan bupati dapat dikelompokan sebagai wanprestasi.
“Dalam ranah hukum, tindakan semacam itu bisa tergolong wanprestasi. Artinya tindakan yang melanggar perjanjian kerja ya,” ungkap Hardum kepada PARBOABOA, Sabtu (13/04/2024).
Baginya, ada kemungkinan bupati Nabit melakukan pelanggaran karena pada waktu sebelumnya, ia turut menandatangani perpanjangan kontrak dengan para nakes.
“Kalau misalnya bupati tidak mau memperpanjang kontrak kerja mereka (red: para nakes), kenapa kemarin di bulan Januari 2024 masih diproses kembali sampai 31 Desember 2024?”
Ia membeberkan, perpanjangan kontrak kerja yang dibuat bupati Nabit seharusnya menjadi tolak ukur ketika bupati sendiri hendak membuat keputusan, termasuk memecat para nakes.
“Dalam UU Ketenagakerjaan, baik edisi yang lama maupun edisi baru tertulis bahwa tenaga kontrak itu berarti tenaga kerja dengan waktu tertentu. Mereka terikat perjanjian yang dibuat bersama pemberi kerja.”
Perjanjian kerja waktu tertentu, demikian singgung Hardum, dibatalkan apabila pekerja meninggal dunia. Pekerja tersebut otomatis diberhentikan karena tidak lagi memberi kontribusi langsung untuk kemajuan perusahaan.
Alasan lain, yaitu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, selesainya suatu pekerjaan tertentu, adanya putusan pengadilan atau putusan lembaga hubungan industrial, dan karena peraturan khusus perusahaan, misalnya ketika terjadi likuiditas.
Dalam kasus pemecatan 249 nakes, Hardum meyakini, alasan mendasar yang melatari keputusan bupati Nabit adalah selesainya kontrak kerja para nakes. Hanya saja, bupati selaku kepala daerah terlanjur menandatangani surat perpanjangan kontrak (SPK) pada awal 2024 yang lalu.
“Saya mendengar, perjanjian kerja mereka ini sudah berakhir ya. Hanya saja, kemarin di Januari, mereka diproses lagi untuk diperpanjang sampai 31 Desember tahun 2024,” ungkap Hardum.
Sebelumnya, seperti diketahui 249 nakes melakukan demonstrasi di depan kantor bupati pada Senin (12/02/2024). Demonstrasi serupa juga dilakukan di halaman kantor DPRD Manggarai pada Rabu (06/03/2024).
Kedua demonstrasi tersebut membawa kurang lebih empat tuntutan, antara lain penyetaraan gaji sesuai upah minimum kabupaten (UMK), perpanjangan surat perintah kerja (SPK), pengangkatan nakes menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan penambahan kuota PPPK 2024.
Demonstrasi yang dilakukan para nakes tidak beroleh jawaban. Mereka malah diberhentikan secara tidak terhormat oleh bupati Nabit.
Lebih lanjut, Hardum menyebut bahwa ada setidaknya satu perspektif hukum yang dapat dipakai untuk mengurai persoalan terkait.
“Kalau berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan, khususnya pembahasan terkait tenaga kontrak yang dipekerjakan dengan tenggat waktu tertentu, maka boleh-boleh saja bupati mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan mereka. Alasannya karena masa kerja mereka sudah berakhir dan tidak diperpanjang, ya,” jelasnya.
Namun, ia menyebut, persoalan dapat saja timbul jika bupati selaku pimpinan daerah kembali menandatangani SPK para nakes. SPK itu biasanya ditandatangani setahun sekali sesuai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.
“Nah, kalau SPK itu sudah ditandatangani bupati, maka ia tentu melakukan tindakan yang tergolong wanprestasi. Kalau demikian, maka bupati tentu bisa digugat, ya.”
Hardum menjelaskan, tindakan wanprestasi bisa dimaafkan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan daerah. Jika benar bahwa keuangan daerah berkurang, maka tindakan bupati bisa jadi pertimbangan tersendiri.
“Tapi disini, bupati harus mengakui kesalahannya terlebih dahulu karena sudah melakukan penandatanganan SPK pada bulan sebelumnya. Konsekuensinya, ia harus membayar hak-hak mereka dari Januari sampai April. Empat bulan itu.”
Sebagai anak daerah NTT, Hardum juga mengakui adanya dilema yang dialami para nekes. Di satu pihak, mereka selalu dituntut untuk bekerja sesuai target pemerintah. Namun, di pihak lain, mereka tidak dibayar dengan gaji yang layak.
Di banyak desa, para nakes bahkan harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi tuntutan ekonomi dalam rumah.
“Mereka dituntut untuk bekerja disiplin dan profesional, tapi di sisi lain mereka tidak dihargai. Tidak dihargai di sini artinya gaji mereka sangat tidak layak,” keluh Hardum.
Ia mengharapkan, bupati Nabit bisa bersikap lebih bijak dalam menanggapi persoalan yang sedang terjadi. Keberadaan para nakes sangat dibutuhkan untuk melayani kebutuhan masyarakat di daerah-daerah.
“Tawaran saya, mungkin bupati terus memperpanjang kontrak kerja mereka, ya sambil terus melakukan pembinaan agar para nakes lebih disiplin dan tanggung jawab dalam bekerja,” ungkapnya.
Hingga saat ini, belum ada informasi terbaru soal kelanjutan kasus. Bupati Nabit memilih tidak banyak berkomentar. Ia juga belum mendapat kabar tentang inisiatif para nakes untuk meminta maaf.
Gelombang Protes
Dalam informasi yang disampaikan bupati Nabit, keputusan untuk memberhentikan ratusan nakes dilandasi oleh alasan ketidakdisiplinan dan ketidakloyalan mereka kepada pihak pemerintah.
Ia menyayangkan sikap para demonstran yang tidak percaya pada kinerja pemerintah Manggarai. Ia lantas menimpali, ‘perkenankan saya untuk menunjukkan ketidakpercayaan kepada mereka’.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menyebut beberapa usulan yang disampaikan para nakes terkesan berulang-ulang dan ‘tidak masuk akal’.
Pasca pemecatan 249 nakes, Ketua Komisi A DPRD Manggarai, Thomas Edison Rihimone angkat bicara. Ia menyayangkan sikap Nabit yang terlampau arogan. Bagi Rihi, selaku kepala daerah, bupati seharusnya mendengarkan aspirasi para nakes.
“Bupati Nabit sedang mempertontonkan langkah yang arogan. Sebagai kepala daerah, ia seharusnya bisa menerima keluhan mereka (red: para nakes),” ungkap Rihi kepada PARBOABOA, Sabtu (13/04/2024).
Pendapat serupa disampaikan oleh Presiden Asosiasi Pekerja Kesehatan seluruh Indonesia (APKSI), Sepri Latifan pada Jumat (12/04/2024), yang menyebut sikap Nabit terkesan ‘blunder’.
Bupati Nabit, demikian ungkap Latifan, seharusnya menempuh jalan negosiasi dan mediasi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi para nakes. Demonstrasi yang mereka lakukan seharusnya didengar dan kemudian dicarikan jalan keluar yang bijak.
Gelombang kritik juga disuarakan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Senin (15/04/2024).
Dalam rilisan resmi yang disampaikan lewat akun instagram ISMKI (@ismki_indonesia), mereka menyebut bahwa sikap bupati bertolak belakang dengan amanat UU Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 5 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Publik.
“Ratusan nakes di Manggarai berhak untuk menyampaikan pendapat dan isi pikirannya secara bebas di muka umum,” tulis ISMKI.
Mereka lantas memproposalkan pentingnya pertimbangan yang bijak dari pemerintah setempat untuk memperhatikan kesejahteraan para nakes.
Sementara itu, Koordinator Forum Nakes non-ASN Manggarai Elias Ndala mengkonfirmasi, pihaknya sedang berupaya membangun jalan dialog bersama bupati. Mereka sedang menunggu waktu yang tepat.
“Belum ada informasi terbaru. Tunggu saja mungkin setelah liburan Idul Fitri, kami akan bertemu bupati,” tulis Elias kepada PARBOABOA, Senin (15/04/2024).
Editor: Defri Ngo