PARBOABOA, Pematangsiantar - Dua pekan berlalu usai kematian jurnalis veteran Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, dan sejumlah bukti baru terkait kematiannya mulai terungkap.
Kantor berita Associated Press (AP) melakukan rekonstruksi, wawancara, dan pengumpulan bukti berupa foto dan video saat penembakan terjadi pada 11 Mei lalu.
Dan hasilnya AP menyimpulkan bahwa memang benar peluru yang menghantam kepala Shireen berasal dari senjata pasukan Israel.
Gambar dan video yang dikumpulkan AP menunjukkan beberapa penduduk lokal dan wartawan yang mengenakan rompi dan helm bertuliskan 'PERS' sedang berada di jalan sempit.
Namun dalam waktu singkat, terlihat kepanikan karena tembakan. Video kemudian menunjukkan Shireen sudah tergeletak tak bergerak dalam posisi tengkurap.
Israel sebelumnya beralasan bahwa saat itu melihat sedikitnya satu militan berada di antara warga dan wartawan. Namun, mereka tidak memberikan bukti atau menunjukkan lokasinya.
Sedangkan, berdasarkan rekonstruksi AP, satu-satunya militan Palestina yang bisa dikonfirmasi itu berada sekitar 300 meter di sisi lain perkumpulan masyarakat tersebut. Dan sebagian besar terpisah tembok serta bangunan, jauh dari posisi Shireen.
Berdasarkan video yang direkam kameraman Al Jazeera, Majdi Banura, Shireen tewas akibat luka tembak di kepala pada 11 Mei pukul 06.30 pagi.
"Kami berdiri di depan kendaraan pasukan militer Israel sekitar 5-10 menit sebelum kami berpindah, untuk memastikan mereka melihat kami," cerita reporter Shatha Hanaysha.
"Itu kebiasaan kami sebagai jurnalis. Kami selalu bergerak dalam grup dan berdiri di depan mereka (pasukan Israel) supaya tahu bahwa kami jurnalis. Setelah itu baru bergerak," lanjutnya.
Berdasarkan penelusuran CNN serta dua bukti baru, tidak ada militan Palestina di dekat Shireen kala itu.
Video tersebut ditambah dengan kesaksian delapan saksi mata dan analisis forensik suara, Shireen dipastikan tewas karena menjadi sasaran tembak pasukan Israel.
Salim Awad, salah satu warga Jenin yang merekam video berdurasi 16 menit, mengaku tidak menyangka bakal terjadi penembakan. Karena saat itu tidak ada konflik dan ia kebetulan berada di dekat sang jurnalis nahasnahas tersebut.
"Kami sekitar 10 orang berbincang-bincang dengan jurnalis di sana. Kami tidak takut apapun. Kami tidak menyangka itu (penembakan) terjadi karena ketika kami melihat ada jurnalis, kami pikir itu area aman," kata Salim Awad.
"Kami melihat empat atau lima kendaraan dengan senapan, salah satunya menembak Shireen. Kami di sana, kami melihatnya. Ketika hendak mendekati Shireen, mereka menembaki kami. Saya coba menyeberang untuk membantu, tapi tidak bisa," lanjutnya.
Sebelumnya, tak lama setelah penembakan tersebut, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyalahkan warga Palestina sebagai penyebab tewasnya Shireen.
"Warga Palestina menembaki pasukan kami dengan skala besar, menembak secara membabi-buta dan tidak diskriminatif di semua arah," kata Kepala Staf IDF, Mayor Jenderal Aviv Kochavi, kala itu di hari penembakan.
"Tidak seperti Palestina, tentara IDF menembak secara profesional dan selektif. Di tahap ini masih tidak mungkin untuk mengetahui ia meninggal karena tembakan dari kubu mana."
Pemerintah Palestina menolak bekerjasama dan menyerahkan peluru yang menewaskan Shireen kepada Israel. Tapi mereka akan membagikan hasil penyelidikan tersebut kepada pihak manapun.
Kematian Shireen semakin meningkatkan ketegangan di tengah gelombang kekerasan dan kekhawatiran terhadap keselamatan para jurnalis yang meliput pendudukan Israel di Tepi BaratBarat selama 55 tahun.