PARBOABOA, Jakarta - Salam lintas agama menjadi kekhasan yang sering dikumandangkan setiap hajatan bersama.
Namun, siapa sangka, ungkapan yang bermakna keakraban dan multikulturalitas itu akhirnya menuai polemik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama di Bangka Belitung menyatakan bahwa salam lintas agama tidak diperbolehkan bagi umat Islam.
MUI beralasan, hal tersebut dianggap sebagai bagian dari ibadah dan karenanya tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, ucapan salam dengan menyertakan salam dari berbagai agama bukan implementasi dari semangat solidaritas.
Ia lantas menegaskan bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama menjadi hal yang haram dalam hukum Islam.
Secara terpisah, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Abdul Jamil Wahab menegaskan bahwa salam lintas agama merupakan upaya menghargai pluralitas di Indonesia.
Menurutnya, keragaman adalah kehendak Tuhan yang harus dipertahankan oleh masyarakat.
Jamil menekankan bahwa tidak seharusnya ada upaya untuk menghapus keragaman yang telah dianugerahkan kepada bangsa Indonesia.
“Kejujuran para tokoh agama dan masyarakat sangat diperlukan untuk menyampaikan bahwa perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan untuk diskriminasi sosial,” ujar Jamil dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (07/06/2024).
Jamil mengkonfirmasi, larangan salam lintas agama didasarkan pada pandangan bahwa salam adalah bentuk ibadah yang tidak boleh dicampur dengan salam dari agama lain.
Namun, jika salam tersebut dimaknai sebagai sapaan atau ucapan selamat dalam berbagai bahasa sesuai dengan audiens, Jamil menilai tidak ada masalah.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap isu kerukunan umat beragama.
Selain berfokus pada pembangunan infrastruktur, ia juga menekankan pentingnya ruang dialog lintas keimanan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Hari Lahir Pancasila yang baru diperingati, singgung Jamil seharusnya mengingatkan masyarakat akan keragaman sosial dan budaya, serta perbedaan keyakinan.
“Para pendiri bangsa telah merancang Pancasila agar Indonesia mampu menjembatani konsep ketuhanan dengan aspek kemasyarakatan," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa sila pertama dalam Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa,' berhasil mengakomodasi keinginan berbagai kelompok masyarakat dan menjadi pemersatu perbedaan keyakinan di Indonesia.
Pancasila, yang awalnya memuat kata 'menjalankan syariat Islam' dalam draft awalnya, mengalami perubahan pada 18 Agustus 1945 dengan hanya memuat 'Ketuhanan Yang Maha Esa' sebagai sila pertama.
Perubahan ini bermaksud mengakomodasi keberatan dari berbagai pihak yang merasa tidak terwakili.
“Konstitusi negara Indonesia menjamin hak semua pemeluk agama, tidak hanya yang beragama Islam saja, tetapi semua pemeluk agama sama kedudukannya di mata hukum dan negara," pungkas Jamil.
Hal tersebut, tutupnya, menunjukkan bahwa Indonesia menjunjung tinggi nilai toleransi yang juga tercermin dalam sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam Pancasila.
Editor: Defri Ngo