PARBOABOA, Jakarta – Keberadaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi salah satu penyebab kendaraan listrik sulit berkembang di Indonesia.
Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi MTI Indira Darmoyono mengatakan, harga BBM yang murah menjadikan masyarakat susah pindah ke kendaraan listrik
"Selama ini, kebijakan seperti subsidi itu (sangat berdampak) karena harga BBM ini menjadi kunci untuk beralih ke kendaraan listrik," kata Indira, Senin (6/2/2023).
Indira menegaskan, investasi di kendaraan listrik ada total cost of ownership (COF), di mana besarannya sangat tinggi dibanding dengan mobil konvensional berbasis internal combustion engine (ICE).
Selain itu, Indira merinci terdapat 5 kendala lainnya yang membuat kendaraan listrik di Indonesia masih jarang digunakan. Pertama, kurangnya ekosistem kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya yang terbatas. Indira mengatakan infrastruktur pengisian daya dengan tarif yang sesuai merupakan bagian dari ekosistem EV.
Ia menegaskan, ekosistem ini tidak hanya stasiun charging dan outlet penggantian baterai, melainkan membentuk rantai pasokan lokal secara keseluruhan untuk industri kendaraan listrik.
Indira menyinggung soal industri manufaktur, outlet penjualan, bisnis pemeliharaan serta daur ulang, dan pembuangan baterai yang ramah lingkungan.
Kedua, produksi kendaraan listrik yang masih terbatas. Menurutnya, meski ada peta jalan industri kendaraan listrik yang ambisius, belum ada produksi lokal yang serius untuk mobil listrik, termasuk ketersediaan model yang terbatas di pasar.
"Produsen lokal masih kesulitan karena permintaan secara keseluruhan masih rendah sehingga menghambat peningkatan penjualan. Belum ada fasilitas dalam negeri untuk memproduksi mobil listrik roda empat hingga saat ini," ungkap Indira.
Ketiga, kurangnya bukti untuk mendukung implementasi kebijakan dan rencana. Indira menyebut berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, industri, hingga konsumen belum sepenuhnya paham mengenai pelaksanaan kebijakan dan peraturan yang ada. Padahal, aturan tersebut sebenarnya penting untuk membantu mengembangkan ekosistem mobil listrik dan mendorong pasar.
Keempat, kurangnya pengetahuan, kesadaran, dan promosi. Indira mengatakan dibutuhkan lebih banyak publikasi proyek percontohan penggunaan EV dan lokasi charging publik kendaraan listrik. Hal ini juga perlu dikombinasikan dengan kampanye dan promosi yang menekankan manfaat kendaraan listrik.
Kelima, masalah dalam produksi baterai berkelanjutan, pengelolaan limbah, dan daur ulang. MTI menegaskan produksi dan pembuangan baterai kendaraan listrik memiliki dampak lingkungan yang perlu dikelola dengan hati-hati.
"Perlu disiapkan regulasi dan penataan sistem monitoring, verification, and enforcement (MVE) yang baik. Agar kejadian yang terjadi pada baterai lead-acid tidak terjadi pada baterai lithium. Bahwa banyak sekali praktik ilegal daur ulang baterai yang merugikan dan membahayakan masyarakat," tandasnya.
Editor: Sondang