PARBOABOA, Jakarta – Perjalanan naik haji bagi umat Islam di Indonesia menjadi cita-cita spiritual yang selalu diprioritaskan walau tantangannya tidak sedikit.
Dari antrean panjang hingga biaya yang terus meningkat, penyelenggaraan haji masih menyisakan banyak masalah.
Pemerintah terus berupaya memperbaiki layanan ini, dengan harapan pada 2026 Badan Penyelenggara Haji (BPH) bisa menjadi lembaga mandiri yang mengurus penyelenggaraan ibadah haji secara lebih profesional dan efisien.
Naik haji memerlukan waktu tunggu yang sangat panjang. Berdasarkan data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) 2023, lebih dari 5,4 juta calon jamaah haji reguler telah terdaftar, dengan masa tunggu hingga 30 tahun di beberapa wilayah.
Kendala utama berasal dari kuota yang terbatas. Pada 2024, Indonesia hanya mendapat alokasi kuota sebesar 221.000 jamaah dari pemerintah Arab Saudi, jauh dari angka ideal yang dapat mengurangi panjangnya antrian.
Kondisi ini memaksa calon jamaah untuk menunggu bertahun-tahun dan mendorong pemerintah mencari solusi, seperti mendorong masyarakat untuk menjalankan ibadah umrah sebagai alternatif.
Namun, bagi mereka yang tetap ingin menunaikan ibadah haji, pemerintah perlu memperbaiki sistem agar antrean bisa lebih terkelola secara adil dan efisien.
Selain itu, biaya naik haji juga menjadi tantangan tersendiri. Pada 2024, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) ditetapkan sebesar Rp 49,8 juta per jamaah, naik dari tahun-tahun sebelumnya.
Faktor seperti nilai tukar rupiah, biaya transportasi udara, dan inflasi menjadi alasan utama kenaikan ini.
Banyak calon jamaah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah mengalami kesulitan dalam memenuhi biaya tersebut, sehingga perlu ada kebijakan subsidi yang lebih signifikan bagi mereka.
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mencatat bahwa hingga 2023, dana haji yang dikelola mencapai lebih dari Rp160 triliun.
Sebagian dana ini telah diinvestasikan untuk mendukung keberangkatan dan memberikan subsidi bagi jamaah, namun distribusi subsidi ini masih perlu diperluas agar lebih banyak masyarakat bisa menikmati manfaatnya.
Pengelolaan haji diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Regulasi ini mengatur tata kelola dana, hak dan kewajiban jamaah, serta peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dan pelayanan.
Di sisi lain, UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menetapkan BPKH sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas dana haji, termasuk pengelolaannya melalui investasi yang menguntungkan.
Untuk meningkatkan pelayanan, pemerintah telah meluncurkan aplikasi Haji Pintar yang memudahkan jamaah memantau status pendaftaran, jadwal keberangkatan, dan informasi penting lainnya.
Aplikasi ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan kemudahan dalam penyelenggaraan haji.
Selain itu, UU No. 8 Tahun 2019 juga menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan prima bagi jamaah, baik sebelum keberangkatan maupun selama berada di Tanah Suci.
Pemerintah wajib memastikan jamaah mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai agar ibadah dapat berlangsung dengan lancar.
Langkah Transformasi Menuju 2026
Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH), Irfan Yusuf, mengungkapkan bahwa BPH akan menjadi lembaga mandiri pada 2026.
Saat ini, penyelenggaraan haji masih dikelola bersama dengan Direktorat Haji dan Umrah Kementerian Agama hingga 2025.
Irfan menyatakan bahwa setiap tahun, evaluasi dilakukan untuk memperbaiki aspek layanan, termasuk transportasi, akomodasi, dan perlindungan jamaah.
“Setelah setiap musim haji, evaluasi dilakukan untuk memastikan peningkatan layanan bagi jamaah,” jelas Irfan saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Selasa (22/10/2024).
Presiden Prabowo, ungkapan, memberikan perhatian khusus terhadap keamanan dan kenyamanan jamaah selama perjalanan.
“Harapannya, jamaah dapat berangkat dan pulang dengan aman dan nyaman,” ujar Irfan, mengutip pesan dari Prabowo.
Agar transformasi ini berjalan lancar, pemerintah menunjuk Muhadjir Effendy sebagai Penasihat Khusus Presiden untuk Urusan Haji.
Muhadjir akan membantu mengkoordinasikan berbagai lembaga terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial, agar pelayanan haji berjalan efektif.
“Koordinasi lintas sektor sangat penting dalam proses haji. Sinergi dengan BNPB dan Kementerian Sosial menjadi kunci keberhasilan,” jelas Muhadjir.
Di masa depan, kolaborasi ini diharapkan dapat membantu mengatasi kendala klasik seperti antrean panjang dan terbatasnya kuota.
Pemerintah juga berencana memperkuat diplomasi dengan Arab Saudi untuk mendapatkan tambahan kuota, sekaligus menyiapkan inovasi dalam pengelolaan antrian dan distribusi kuota agar lebih efektif dan transparan.
Langkah menuju kemandirian BPH menjadi harapan besar bagi perbaikan penyelenggaraan haji.
Pada 2026, BPH diharapkan bisa sepenuhnya menangani proses haji tanpa campur tangan langsung dari Kementerian Agama, meski kerjasama strategis akan tetap berlangsung.
Dengan transformasi ini, pemerintah tidak hanya menargetkan kelancaran operasional, tetapi juga peningkatan pengalaman spiritual bagi jamaah.
Sinergi antara BPH, Kementerian Agama, dan lembaga lain menjadi kunci utama untuk memastikan pelayanan yang lebih profesional dan modern.
Perubahan besar ini membawa harapan baru bagi jutaan calon jamaah di Indonesia. Namun, tantangan masih ada, terutama dalam memastikan kuota dan biaya haji lebih terjangkau bagi masyarakat luas.
Editor: Norben Syukur