PARBOABOA, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut anggaran haji rawan dikorupsi. Pada 2019 lalu, nilai kerugian negara dari sektor ini mencapai Rp160 miliar.
Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, berdasarkan hasil temuan Direktorat Monitoring KPK kerugian negara mencapai Rp160 miliar di 2019. Dana yang berpotensi di mark-up mulai dari biaya akomodasi, penginapan, konsumsi, hingga biaya pengawasan haji.
Firli meminta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk cermat untuk mengantisipasi titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia.
“Terpotret ada beberapa pos titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia,” kata Firli melalui keterangan resmi KPK yang diterima Parboaboa, Jakarta, Jumat (06/01/2023).
Firli melanjutkan, KPK juga menemukan permasalahan penetapan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran Jemaah.
Dia mencontohkan, pada 2022 BPIH per satu orang jemaah Rp39 juta dari biaya seharusnya Rp98 juta per satu orang.
Firli melihat ada masalah lainnya, yakni pembiayaan penyelenggaran ibadah haji diperoleh dari setoran jamaah dan nilai manfaat yang diperoleh dari dana kelolaan haji per tahun. Di mana pada pelaksanaannya, dana tersebut dibedakan menjadi dua, direct cost dan indirect cost.
Seiring berjalannya waktu, indirect cost dipergunakan untuk mensubsidi direct cost dengan membiayai selisih biaya penerbangan, akomodasi selama di Mekkah dan Madinah.
"Kondisi ini harus segera dicarikan solusi agar tidak menjadi bom waktu," ucapnya.
Firli melanjutkan, indirect cost yang berasal dari dana manfaat, akan cepat habis sehingga berpotensi merugikan jemaah yang masih dalam masa tunggu. Jika kondisi ini terus berlangsung, diperkirakan dana manfaat tersebut akan habis pada 2026-2027.
Firli mengingatkan BPKH untuk melakukan perbaikan sistem pembiayaan haji. Diperlukan efisiensi dengan memangkas hal-hal yang tidak diperlukan agar pembiayaan tidak membengkak. Pos-pos yang dihilangkan tersebut dapat diganti atau memanfaatkan sumber daya yang selama ini tersedia.
“Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya,” ujar Firli.