PARBOABOA, Jakarta – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama sembilan masyarakat adat mengajukan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan itu dilayangkan karena pemerintah dan DPR RI tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Gugatan AMAN dan 9 masyarakat adat terdaftar di PTUN Jakarta dengan nomor registrasi 542/G/TF/2023/PTUN-JKT.
“Gugatan ini karena lambannya atau tidak dibahas dan disahkannya rancangan undang-undang pengakuan masyarakat adat,” ujar Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus sebagai kuasa hukum, Rabu (25/10/2023).
Ia mengatakan, tindakan DPR RI dan pemerintah yang tak kunjung mengesahkan UU Masyarakat Adat merugikan masyarakat adat di berbagai daerah.
Syamsul mengungkapkan, masyarakat adat kerap dikriminalisasi karena tidak adanya undang-undang yang memberikan pengakuan dan perlindungan atas keberadaannya.
Bahkan, enam orang penggugat yang berasal dari suku O Hongana Manyawa dari Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara mendapat kriminalisasi karena tidak ada undang-undang yang melindunginya.
“Mereka dituduh melakukan pembunuhan berencana oleh kepolisian. Empat di antaranya dihukum penjara seumur hidup, 2 orang penjara 20 tahun,” jelas Syamsul.
Mereka yakni, Habel Lilinger, Hago Baikole, Rinto Tojouw, Toduba Hakaru, Awo Gihali dan Saptu Tojou.
Seorang penggugat lain bernama Mikael Ane, tokoh adat Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mengalami kriminalisasi.
Ia divonis penjara 15 tahun karena mendiami kawasan hutan lindung di daerah Manggarai.
“Kenapa pada akhirnya polisi dan pengadilan memutuskan memenjarakan masyarakat adat? Karena tidak adanya regulasi yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat,” tegas Syamsul.
Menurut dia, mandeknya pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI menyebabkan masyarakat adat rentan sekali mengalami kriminalisasi.
“Oleh karena itu, kami mendaftarkan gugatan kepada presiden dan DPR karena tidak membahas RUU tersebut,” tegasnya.
Dalam gugatannya, AMAN dan masyarakat adat meminta majelis hakim menyatakan administrasi pemerintahan yang dilakukan tergugat.
Di antaranya, tindakan penundaan berlarut yang dilakukan tergugat membentuk Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat; sikap diam para tergugat atas pembentukan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Mereka juga meminta majelis hakim memerintahkan DPR RI dan pemerintah untuk membahas dan menetapkan UU Masyarakat Hukum Adat selambat-lambatnya dalam masa sidang akhir DPR RI tahun 2024.
“Mewajibkan para tergugat untuk membuat Surat Pernyataan yang berisi kesediaan membentuk UU tentang Masyarakat Hukum Adat,” bunyi permohonan penggugat.
Mandek di DPR
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa proses legislasi UU Masyarakat Adat mandek di DPR RI.
“Update terbaru pembahasan RUU MHA (Masyarakat Hukum Adat) sudah di Bamus (Badan Musyawarah) dan Baleg DPR,” ujar Rukka kepada PARBOABOA, Rabu (25/10/2023) di PTUN Jakarta, Cakung, Jakarta Timur.
Ia mengatakan, proses legislasi undang-undang tersebut mandek di DPR. Rukka menyebut, ada dua partai politik yakni Golkar dan PDI Perjuangan yang menghambat proses legislasi.
“Tapi pada dasarnya, partai-partai lain pun yang tidak mengatakan mendukung atau mendukung tetap diam, tidak juga serius mendorong,” tegasnya.
Ia lantas membandingan proses legislasi RUU Masyarakat Adat dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Rukka, pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja begitu cepat, bahkan kurang dari setahun.
Padahal, lanjutnya, UU Cipta Kerja tidak melibatkan aspirasi masyarakat, dan pengesahannya pun mendapatkan penolakan dari buruh.
“Tapi, undang-undang masyarakat adat karena memang tidak diprioritaskan ya sudah 10 tahun lebih tidak terlaksana,” miris Rukka.
Dia mengaku heran mengapa RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan. Padahal, menurutnya, undang-undang tersebut sudah melibatkan masyarakat adat di seluruh Indonesia.
“Bahkan, pembuatan naskah akademiknya itu sudah melibatkan diskusi ke kampung-kampung di seluruh nusantara. Ini adalah undang-undang yang saya bisa jamin, baru kali ini undang-undang didiskusikan rakyat Indonesia,” imbuh Rukka.
Proses perjalanan RUU Masyarakat Adat penuh lika-liku. RUU ini sudah dirancang sejak tahun 2009, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lantas pada tahun 2017, RUU Masyarakat Adat masuk menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. Di tahun 2018, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Surat Perintah Presiden (Surpres) untuk membahas RUU Masyarakat Adat.
Namun, RUU tersebut tak kunjung disahkan, hanya keluar-masuk dalam Prolegnas sejak tahun 2020 hingga tahun 2023.
Rukka berharap, RUU Masyarakat Adat segera disahkan sebelum masa sidang DPR RI tahun 2024 habis.
Ia menegaskan bahwa UU Masyarakat Adat sangat penting untuk menegakkan hak-hak masyarakat adat.
“UU Masyarakat Adat adalah mandat konstitusi. Negara ini memiliki panduan untuk bisa memenuhi dan melindungi hak masyarakat adat,” ujarnya.
PARBOABOA berusaha mempertanyakan perkembangan legislasi RUU Masyarakat Adat kepada anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Lamhot Sinaga.
“Saya belum update. DPR lagi reses,” jawabnya singkat.
Ketika ditanya ihwal gugatan AMAN, Lamhot tidak merespons lagi pesan singkat PARBOABOA hingga berita ini diterbitkan.
PARBOABOA juga berupaya menghubungi Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya dan Achmad Baidowi terkait gugatan tersebut. Namun, yang bersangkutan tidak merespons pesan singkat PARBOABOA hingga berita ini diterbitkan.
Editor: Kurniati