PARBOABOA, Jakarta - Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tidak menerima gugatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terhadap Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah di 88 kota/kabupaten dan provinsi.
Putusan pada perkara nomor 422/G/TF/2022/PTUN.JKT diumumkan secara elektronik pada Rabu (24/5/2023).
Majelis hakim menyatakan penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum dan dalam pokok perkara menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.
Objek gugatan itu ialah Presiden Jokowi dan Mendagri tidak menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tidak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10) dan (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Objek yang kedua adalah tindakan pemerintah yang menerbitkan surat keputusan pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah pada 88 kota/kabupaten dan provinsi selama kurun waktu 12 Mei hingga 25 November 2022 tanpa menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tidak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 ayat (9), (10) dan (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu.
“Saya tidak mengerti putusan Majelis Hakim yang mengatakan bahwa Penggugat tidak memiliki legal standing yang jelas. Sebagai warga Jakarta, kami tidak pernah dilibatkan dalam proses penunjukan Pj Kepala daerah," kata salah seorang penggugat, Adhito Harinugroho.
"Hal ini jelas melanggar konstitusi yang mengatakan bahwa 'kepala daerah dipilih secara demokratis'. Penunjukan Pj Gubernur Jakarta jelas tidak demokratis. Kalo sekarang penggugat dinyatakan tidak memiliki legal standing lalu siapa yang berhak menggugat pemerintah?” tambahnya.
Pengacara LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi menyebut majelis hakim PTUN Jakarta serampangan memutus dan menyatakan penggugat tidak memiliki kepentingan hukum.
Padahal, kata dia, penggugat jelas memiliki kepentingan hukum yang ditunjukkan dengan kedudukan hukum penggugat yang mempunyai hubungan kausalitas atas penunjukkan pj kepala daerah oleh presiden dan mendagri.
"Tindakan presiden dan mendagri yang menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah tanpa didahului adanya aturan pelaksana, tentu akan berdampak langsung pada warga masyarakat. Akibatnya, proses tersebut akan menentukan kebijakan-kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup masyarakat, termasuk penggugat," jelas Jihan kepada Parboaboa.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai tindakan Presiden Jokowi dan Mendagri 'ugal-ugalan' dalam proses penunjukkan Pj kepala daerah.
“Pemerintah dalam bernegara berlaku secara ugal-ugalan karena telah mengangkangi konstitusi. Pemerintah menganggap apabila selesai secara prosedural maka dianggap rakyat harus menerima apapun hasilnya," ujar Bivitri.
"Ukuran ugal-ugalan atau tidaknya dalam bernegara adalah konstitusi yang mana adalah buah dari gerakan reformasi 25 tahun yang lalu," sambungnya.
Di 2022, Presiden Jokowi menunjuk 88 Pj kepala daerah untuk menggantikan kepala daerah kota/kabupaten dan provinsi yang masa jabatannya habis sebelum Pilkada Serentak 2024 digelar.