PARBOABOA, Jakarta - Komisi I DPR RI, Christina Aryani menyatakan bahwa 850 warga negara Indonesia (WNI) yang akan dievakuasi dari Sudan, mayoritas merupakan mahasiswa.
“Mayoritas WNI di Sudan adalah mahasiswa,” kata Christina Aryani dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Senin (24/04/2023).
Menurutnya, keputusan soal evakuasi WNI dari Sudan merupakan hal yang tepat, mengingat negara-negara lain juga telah melakukan yang serupa.
Oleh karenanya Christina berharap, proses evakuasi terhadap WNI di Sudan berjalan lancar dan aman sampai tiba di Tanah Air dalam keadaan selamat.
"Keputusan melakukan evakuasi menjadi langkah tepat untuk situasi yang terus memburuk di Sudan saat ini. Sama halnya negara lain yang mulai mengevakuasi warganya kami berharap WNI kita yang akan mulai keluar dari Sudan bisa selamat sampai tiba di tanah air," tuturnya.
Berdasarkan komunikasi dengan Dirjen Protokoler Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, proses evakuasi dilakukan melalui jalan darat dari Khartoum ke Pelabuhan Sudan dengan jarak sekitar 1.200 km.
Selanjutnya WNI akan menyeberang menggunakan kapal menuju Jeddah, lalu diterbangkan dari Jeddah ke Jakarta.
"Proses ini tentu tidak mudah. Kita doakan semuanya berjalan lancar, tidak ada hambatan berarti khususnya dalam perjalanan menuju pelabuhan Sudan," ucapnya.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa 413 korban tewas selama pertempuran militer di Sudan.
“Menurut data pemerintah Sudan, sebanyak 413 korban tewas dan 3.551 orang terluka,” kata Juru Bicara WHO Margaret Harris dalam konferensi pers Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (21/04/2023).
Selain korban tewas, Margaret turut mengungkapkan jika telah terjadi 11 serangan terhadap fasilitas kesehatan, termasuk 10 serangan sejak 15 April 2023.
Sementara itu, badan anak-anak PBB (UNICEF) mengatakan sedikitnya sembilan anak dilaporkan tewas dalam pertempuran di Sudan, dan lebih dari 50 anak terluka parah.
Adapun pertempuran tersebut dilakukan oleh dua faksi militer Sudan dengan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang pecah sejak Sabtu (15/04/2023).
Konflik ini dipicu perebutan kekuasaan dua faksi militer utama, yang mengakibatkan gagalnya proses transisi pemerintahan sipil sejak digulingkannya pemimpin diktator Omar al-Bashir.