PARBOABOA, Jakarta- Sejumlah tahapan besar telah dilalui menjelang pemilu 2024. Mulai dari verifikasi partai politik, penetapan peserta pemilu, penetapan daerah pemilihan (dapil), hingga tahapan pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat kabupaten/kota.
Saat ini tahapan pemilu sedang dalam proses pemuktahiran data pemilih yang berlangsung dari tanggal 18 Februari hingga 14 Maret. Namun, perjalanan tahapan pemilu tidak berjalan mulus. Ada 9 permasalahan yang saat ini menjadi sorotan sejumlah pihak.
Direktur Utama Kata Rakyat, Alwan Ola Riantoby, mengatakan setiap permasalahan yang timbul dalam proses tahapan pemilu akan mempengaruhi kualitas hasil pemilu ke depan.
“Proses yang tidak baik akan berdampak pada kualitas hasil pemilu kita yang akan berimplikasi pada tingkat kepercayaan publik terhadap kelembagaan pemilu, baik Bawaslu maupun KPU,” kata Alwan dalam sesi diskusi di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (02/03/2023).
Alwan mengatakan ada beberapa catatan krusial dalam tahapan pemilu. Yakni proses pelaksanaan rekrutmen penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota periode 2023-2028 yang berlangsung di tengah tahapan pemilu.
Menurutnya, hal itu akan beririsan dan mengganggu kerja-kerja penyelenggara pemilu.
“Secara psikologis, saya membaca bahwa teman-teman tidak akan berkonsentrasi dalam menjalankan tahapan. Dan semua orang akan berpikir bagaimana berkopetisi untuk dipilih kembali sebagai penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Kemudian, Alwan menambahkan, hal krusial selanjutnya mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi yang dinantikan oleh masyarakat Indonesia terkait sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka.
“Ini berdampak sekali pada euforia dan kepastian pemilu kita. Apakah tertutup untuk 2024 dan terbuka untuk 2029, atau terbuka untuk 2024 dan tertutup di 2029,” kata dia.
Ia mengatakan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih di daerah masih bermasalah seperti data pemilih yang invalid, data ganda, data pemilih meninggal yang masih masuk dalam rekapan, hingga eror aplikasi e-coklit.
Selain itu, ada juga pencatutan nama tanpa sepengetahuan pemilik nama. Dalam hal ini, Pantarlih tidak bekerja dengan jujur.
Berdasarkan temuan lembaga pemantauan dan edukasi pemilu Jaringan Pendidikan untuk Rakyat (JPPR), sejumlah nama anggotanya dicatut ataupun tercatut sebagai penyelenggara.
“Saya mendapatkan data dari sipol UI terkait pencatatan kepartaian, di mana tidak sedikit pemilih bahkan penyelenggara pemilu yang namanya dicatut atau tercatut. Ini juga terjadi pada saat pembentukan JPPR di beberapa provinsi dan kabupaten,” kata perwakilan JPPR Nova.
Hal tersebut, kata Nova, menjadi bukti bahwa terdapat Pantarlih yang tidak melakukan tugasnya sesuai prosedur.
Selain itu, joki Pantarlih juga kini tengah jadi sorotan publik setelah lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) membeberkan bahwa ditemukan sebanyak 176 joki di Tasikmalaya.
“Ada joki, (misalnya) di Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya,” ujar Direktur Eksekutif DEEP Indonesia Neni dalam diskusi di Media Center Bawaslu kemarin (01/03/2023).
JPPR kata Nova mendorong masyarakat untuk tidak terpancing terhadap isu SARA dan hoaks yang berseliweran di sosial media.
“Isu SARA dan berita hoaks juga menjadi masalah krusial dalam tahapan pemilu,” kata Nova.
Selanjutnya, kebijakan diperbolehkannya eks koruptor menjadi calon anggota legislatif dan yudikatif usai melewati 5 tahun masa terlepas dari status tahanan terpidana.
Nova mengatakan, keputusan MK terkait narapidana dapat kembali nyaleg merupakan hal yang memacung rakyat.
“Ini menjadi hal yang krusial ketika kita memberikan ruang kepada para eks koruptor menjadi wakil rakyat,” ucapnya.
Selain itu di lapangan, masih ditemukan kepala desa yang menjadi pengurus partai politik. Sebagaimana diketahui, hal ini telah dilarang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 9 huruf g.
Isu ini menjadi sorotan Bawaslu ketika puluhan Kepala Desa dan ratusan perangkat desa masuk keanggotaan partai politik di Purworejo pada September 2022 lalu.
Terpisah, Tenaga Ahli Divisi Hukum dan Penyelesaian Masalah Bawaslu, Abdullah menambahkan, catatan krusial dari pihak Bawaslu sendiri yaitu keterbatasan akses data yang ada pada aplikasi Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) milik KPU lantaran adanya UU Perlindungan Data Pribadi.
Sehingga, hal tersebut menjadi hambatan bagi Bawaslu dalam melaksanakan kerja-kerja pengawasan sebagaimana termaklumat dalam konstitusi.
Sebagai informasi, SIPOL merupakan platform berbasis web yang digunakan untuk menginput data parpol, seperti profil, kepengurusan, domisili, dan keanggotaan. Seluruh dokumen yang disyaratkan Undang-Undang Pemilu untuk menjadi peserta pemilu disampaikan parpol kepada KPU melalui Sipol.
“KPU dan Bawaslu itu satu kesatuan fungsi, tetapi berbeda wewenang. Satu pelaksana teknis, satu pengawas. Maka, seluruh data-data yang ada di pelaksana teknis juga harus ada di pengawas,” kata Abdullah.
Menanggapi hal ini, Alwan merasa heran jika lembaga sekelas Bawaslu kesulitan mendapatkan data. Tetapi di lain sisi, ia juga merasa aneh dengan KPU yang tidak mau memberikan data sebagai bagian dari keterbukaan informasi untuk bersama-sama diselesaikan.
“Kalau kita (organisasi dan lembaga) kelas pemantau tidak dapat (data) wajar lah, karena masyarakat sipil. Tapi lembaga negara yang punya kewenangan yang sama dan dinaungi oleh satu undang-undang kok tidak bisa,” pungkasnya.