PARBOABOA - Suku Nias merupakan kelompok etnis yang mendiami Pulau Nias, sebuah pulau yang terletak di pesisir barat Sumatra. Suku Nias berasal dari Provinsi Sumatra Utara.
Suku Nias juga dikenal sebagai Ono Niha (Ono berarti anak/keturunan, sedangkan Niha = manusia) dan Pulau Nias disebut sebagai Tanö Niha (Tanö berarti tanah).
Masyarakat di sini, hidup dengan mengikuti tradisi dan budaya yang berdasarkan pada sistem hukum adat tersebut. Sistem hukum adat Nias disebut dengan istilah fondrako.
Fondrakö adalah istilah yang merujuk pada serangkaian peraturan adat tradisional yang mengatur kehidupan masyarakat Nias.
Berdasarkan sejarah, suku ini memiliki ciri khas budaya megalitikum yang dapat ditemukan dalam peninggalan sejarah seperti ukiran pada batu-batu besar yang masih ada hingga saat ini di wilayah pedalaman Pulau Nias.
Dengan keindahan alam yang menakjubkan, situs-situs megalitik, dan kekayaan budaya yang tak ternilai, Pulau Nias telah menjadi destinasi wisata yang semakin populer dan menarik bagi para wisatawan.
Pada artikel kali ini Parboaboa telah merangkum informasi mengenai suku nias mulai dari sejarah, tradisi, rumah adat hingga pakaian adatnya. So, simak terus informasinya di bawah ini ya.
Sejarah Suku Nias
Beberapa mitos dalam budaya suku Nias mengisahkan asal usul kedatangan mereka ke pulau ini.
Salah satu hoho (mitos) menyatakan bahwa suku Nias berasal dari pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora'a yang terletak di Tetehöli Ana'a.
Menurut cerita, kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada masa pemerintahan Raja Sirao, yang memiliki sembilan putra.
Konflik di antara mereka memaksa mereka untuk meninggalkan Tetehöli Ana'a dan menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di pulau tersebut.
Mitos lainnya, seperti Inada Sirici mengisahkan bahwa enam orang anak turun ke Pulau Nias dan menjadi leluhur penduduk pulau ini. Terdapat berbagai versi lain tentang kehadiran manusia di Nias.
Seiring berjalannya waktu, penelitian arkeologi telah memberikan pemahaman lebih mendalam tentang sejarah Pulau Nias.
Penelitian yang dimulai pada tahun 1999 menemukan bukti keberadaan manusia di pulau ini sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun yang lalu.
Budaya Hoabinh di Vietnam yang serupa dengan budaya Nias memberi dugaan bahwa penduduk pulau ini berasal dari daratan Asia dan ada kemungkinan mereka bermigrasi dari Vietnam.
Pada tahun 2013, penelitian genetika yang dilakukan oleh mahasiswa doktoral Departemen Biologi Molekuler Forensik Erasmus MC mengindikasikan bahwa masyarakat Nias memiliki akar dalam kelompok etnis Austronesia.
Mereka diyakini berasal dari Taiwan dan datang ke Pulau Nias melalui jalur Filipina sekitar 4.000-5.000 tahun yang lalu. Maka tak heran, jika wajah suku nias identik dengan mata sipit dan kulit putih.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam genetika orang-orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak masyarakat Nias kuno yang peninggalannya ditemukan di Gua Togi Ndrawa.
Studi terhadap alat-alat batu yang ditemukan di situs ini menunjukkan bahwa manusia yang tinggal di gua tersebut berasal dari sekitar 12.000 tahun yang lalu.
Penelitian ini memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang sejarah panjang dan asal-usul suku tersebut.
Tradisi Suku Nias
Suku Nias memiliki beragam tradisi yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan sejarah.
Berikut beberapa tradisi yang terdapat pada suku tersebut:
1. Lompat Batu
Lompat batu atau Hombo Batu adalah praktik budaya unik dari Pulau Nias yang dikenal oleh banyak orang di Indonesia. Upacara lompat batu Nias bahkan digambarkan pada uang seribu rupiah lama.
Awalnya, upacara lompat batu merupakan bagian dari ritual inisiasi bagi para pemuda untuk menandai mereka sebagai orang dewasa dan calon prajurit.
Piramida batu lompat ini memiliki ketinggian antara 1,8 hingga 2,2 meter. Cara melompatinya dilakukan tanpa alas kaki dan tentunya memerlukan latihan berulang sebelum mencobanya.
Keterampilan ini awalnya dikembangkan sebagai teknik pertempuran, agar para prajurit menjadi lincah saat melompati tembok pertahanan musuh.
Hingga kini, masih banyak desa di bagian selatan Pulau Nias yang menjaga susunan batu tersebut agar dapat digunakan kembali.
2. Pesta Hukum Adat
Di masa lalu, berlangsung berbagai pesta dan upacara yang dirayakan untuk memperingati beragam aspek keluarga dan kehidupan beragama di Pulau Nias.
Sejumlah perayaan ini punah seiring dengan berkembangnya agama Kristen di kalangan mayoritas penduduk Nias. Salah satunya adalah upacara hukum adat yang juga dikenal sebagai Fondrako.
Fondrakö adalah fondasi hukum adat yang setiap aturannya diresmikan dengan sumpah kutuk.
Bagi orang-orang yang melanggar hukum tersebut, maka dapat dikenai kutukan yang tingkat keparahannya tergantung pada sifat pelanggaran yang dilakukan.
Setiap pelanggaran memiliki hukuman yang khusus, mulai dari pembayaran denda hingga hukuman mati.
Denda dapat berupa beras, daging babi, atau emas. Hukuman mati bisa dilakukan melalui berbagai metode, termasuk tembakan, tenggelam atau pedang.
Namun, hukuman mati dapat diubah menjadi kehidupan dalam perbudakan jika denda yang substansial dibayar atau jika terpidana menerima pengampunan dari bangsawan.
3. Manga’i Binu
Manga'i binu atau yang dikenal sebagai mangai binu merupakan sebuah tradisi berburu kepala yang dulunya dilakukan oleh suku Emali di Pulau Nias, Sumatra Utara.
Awalnya, tradisi ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi kini tradisi ini menjadi lambang status sosial.
Tradisi Manga’I Binu juga dikenal dengan sejumlah nama lain, seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, dan möi emali. Mereka yang melaksanakan tradisi ini dikenal sebagai suku Emali.
Namun, tradisi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat Nias seiring dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke Pulau Nias.
4. Tari Maena
Tari Maena Nias adalah tarian yang penuh semangat dan energik.
Tarian ini biasanya melibatkan sekelompok penari, baik pria maupun wanita dengan mengenakan pakaian tradisional Nias yang kaya dengan hiasan dan warna-warni.
Tarian ini juga sering disertai dengan iringan musik tradisional seperti gendang, gong, dan suling bambu.
Tarian Maena menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan kepercayaan masyarakat Nias.
Gerakan-gerakan dalam tarian ini sering kali menirukan aktivitas sehari-hari, seperti pertanian, perburuan, atau persiapan untuk perang.
Selain itu, tarian ini juga bisa merayakan momen-momen penting seperti pernikahan, upacara adat atau pertunjukan seni.
Tari Maena Nias adalah salah satu bentuk seni yang digunakan untuk merayakan dan mempertahankan warisan budaya di Pulau Nias.
Melalui gerakan, kostum, dan musiknya yang khas, tarian ini menjadi simbol penting dalam melestarikan tradisi dan budaya yang kaya dari Pulau Nias.
5. Upacara Harimau
Pada masa lalu, di wilayah Maenamölö, Nias Selatan, terdapat sebuah upacara di mana sebuah patung harimau akan diarak keliling.
Meskipun tidak ada harimau di Nias, patung yang disebut Adu Harimao, tampak lebih mirip dengan anjing berkepala kucing.
Upacara sakral ini diadakan setiap tujuh atau empat belas tahun sekali. Saat acara berlangsung, patung harimau tersebut dipatahkan dan dibuang ke sungai.
Upacara ini dikenal dengan nama Famatö Harimao. Para masyarakat setempat meyakini bahwa semua dosa yang mereka lakukan selama tahun-tahun sebelumnya akan hanyut bersama patung tersebut.
Ketika mayoritas penduduk Nias mulai memeluk agama Kristen, upacara Famatö Harimao tidak lagi dirayakan.
Dalam upaya untuk melestarikan dan menghidupkan kembali budaya lokal, perarakan ini kadang diadakan di Nias Selatan dalam rangkaian acara-acara khusus.
Kini, upacara tersebut telah berganti nama menjadi Famadaya Harimao yang masih mengenang tradisi aslinya dalam perarakan patung harimau.
Rumah Adat Suku Nias
Para peneliti setuju bahwa rumah-rumah tradisional Nias, yang dikenal dengan sebutan Omo Hada, adalah salah satu contoh terbaik arsitektur vernakular di Asia.
Rumah-rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku dan memiliki keunggulan dalam menahan gempa kuat, bahkan lebih baik daripada rumah-rumah modern.
Variasi dalam arsitektur dan gaya rumah adat Nias dapat ditemukan di seluruh pulau.
Rumah-rumah Nias ditinggikan dari tanah dan dirancang untuk tujuan pertahanan, mengingat masa lalu sejarah peperangan yang melibatkan masyarakat Nias.
Banyak arsitek dan antropolog dari seluruh dunia telah berkunjung ke Nias untuk memahami lebih dalam tentang gaya bangunan unik rumah adat ini.
Meskipun banyak orang tua di Nias lahir dan besar di rumah-rumah seperti ini, upaya dan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan rumah tradisional ini telah membuatnya semakin langka.
Namun, pengunjung masih dapat menjumpai berbagai contoh rumah tradisional di seluruh pulau, terutama di daerah selatan yang memiliki beberapa desa yang sangat terpelihara.
Selain Omo Hada, terdapat juga rumah adat jenis lain yang dikenal dengan nama Omo Sebua, yang merupakan rumah untuk para raja, kepala desa, serta kaum bangsawan.
Rumah-rumah tradisional Nias adalah warisan berharga yang mencerminkan sejarah dan kekayaan budaya masyarakatnya.
Berikut adalah beberapa informasi penting tentang rumah adat suku Nias:
Arsitektur
Omo Hada biasanya dibangun dengan struktur panggung. Rumah adat ini memiliki atap yang tinggi dan kemiringan curam, serta dinding-dinding yang terbuat dari kayu.
Pintu masuk ke rumah adat Nias dilengkapi dengan tangga. Rumah ini dibangun kokoh dan tahan lama untuk melindungi penduduknya dari cuaca buruk dan potensi serangan.
Material
Bangunan rumah adat ini terbuat dari kayu yang kuat dan tahan lama. Bahan-bahan alami seperti kayu, kulit kayu, dan anyaman daun sering digunakan dalam konstruksi rumah ini.
Fungsi
Omo Hada adalah tempat tinggal bagi keluarga besar. Rumah ini juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan perlengkapan dan pakaian adat.
Selain itu, rumah adat ini juga digunakan sebagai tempat pertemuan dan pelaksanaan berbagai upacara adat dan keagamaan.
Ornamen dan Dekorasi
Omo Hada sering dihiasi dengan berbagai ukiran dan hiasan kayu yang menggambarkan elemen-elemen budaya dan agama.
Ornamen-ornamen ini memperkuat identitas dan kebanggaan mereka terhadap warisan budaya mereka.
Pakaian Adat Suku Nias
Pakaian tradisional masyarakat Nias memperlihatkan perbedaan dalam hal warna.
Pakaian adat untuk perempuan di Nias Selatan mengenakan pakaian yang didominasi warna kuning, sementara perempuan di Nias Utara lebih cenderung mengenakan pakaian yang didominasi warna merah.
Pola dan lambang desain khas juga memperkaya pakaian tradisional ini, terutama dengan motif segitiga yang disebut Ni'ohulayo.
Motif segitiga ini mengingatkan pada ujung tombak dan mewakili semangat kepahlawanan masyarakat Nias.
Motif ini tidak hanya terbatas pada pakaian tradisional, melainkan juga telah menjadi simbol penting dalam budaya Nias, terlihat pada berbagai elemen seperti karya batu, ukiran kayu, dan rumah-rumah tradisional.
1. Baru Oholu
Pakaian adat laki-laki Nias, dikenal dengan nama Baru Oholu, diciptakan dengan menggunakan berbagai jenis bahan, seperti kulit pohon dan serat-serat dari kulit pohon atau rumput.
Pakaian ini terdiri dari rompi dasar berwarna cokelat atau hitam yang didekorasi dengan ornamen kuning, merah, dan hitam.
Bahan kulit kayu dari pohon oholu digunakan untuk membuat cawat (saombö) dan rompi (Baru Oholu) laki-laki.
Selain itu, rompi juga dapat dibuat dengan serat kulit pohon yang dikenal sebagai isitö. Diyakini bahwa mengenakan pakaian tenun dengan serat isitö memberikan pemakainya kekuatan.
2. Õröba Si’öli
Õröba Si’öli adalah pakaian adat perempuan Nias yang biasanya didominasi oleh warna merah, kuning, atau hitam dan emas.
Pakaian wanita terdiri dari sehelai kain yang melilit pinggang tanpa baju atas, tetapi dihiasi dengan gulungan gelang kuningan dan anting besar.
Serat isitö digunakan untuk menenun rok (U'i) dan kain. Penggunaan katun lembut (afasi niha) yang jarang terjadi bisa ditenun untuk menutupi bagian tertentu.
Pakaian dari kapas buatan Nias (afasi niha) sangat langka dan biasanya hanya tersedia bagi bangsawan.
Akhirnya, pengaruh tekstil dari luar mulai masuk ke Nias. Hal ini mengakibatkan penggunaan bahan-bahan baru dalam pakaian perempuan, termasuk katun, kain belacu, bahkan sutra untuk wanita bangsawan, serta berbagai warna yang lebih beragam.
3. Baru Hada
Baru Hada adalah pakaian adat dari Wilayah Kabupaten Nias Barat yang awalnya hanya dipakai oleh kaum bangsawan dalam acara-acara istimewa.
Seiring berjalannya waktu, Baru Hada menjadi pakaian resmi untuk seluruh warga Nias Barat dalam upacara adat pernikahan atau yang dikenal dengan sebutan Famasao ono Nihalo.
Pakaian ini memiliki nilai sakral dan hanya digunakan dalam konteks upacara adat.
Sebagai simbol budaya Nias Barat, Baru Hada didominasi oleh warna merah yang mencerminkan identitas budaya Nias Barat dan seringkali dipadukan dengan warna kuning dan hitam.
Terdapat enam jenis motif dan ornamen khas Nias Barat pada Baru Hada, masing-masing mengandung makna dan nilai-nilai sejarah yang sangat dihormati.
Motif-motif ini mencerminkan kepemimpinan, kepahlawanan, kebijaksanaan, kebesaran, kekuatan, kesuburan, kerukunan, kesetiaan, gotong royong, dan status sosial (kekayaan).
Dalam upaya untuk melestarikan dan menghormati warisan budaya leluhur, Baru Hada secara resmi diakui sebagai Baju Adat Nias Barat pada tanggal 10 November 2021 di Lahomi, Nias.
Oleh karena itu, semua warga Nias Barat baik yang tinggal di wilayah Kabupaten Nias Barat atau di luar wilayah tersebut diwajibkan untuk mengenakan Baru Hada sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya mereka.
Fakta Menarik Suku Nias
1. Lompat Batu
Lompat batu adalah sebuah tradisi asal Pulau Nias yang hanya dilakukan oleh laki-laki dengan melompati tumpukan batu setinggi dua meter.
Pada masa lalu, kegiatan ini digunakan sebagai bukti kedewasaan fisik bagi laki-laki suku Nias.
Tradisi ini sering dipertunjukkan dalam acara-acara adat dan menjadi daya tarik khusus bagi para wisatawan yang mengunjungi Pulau Nias, Sumatra Utara.
2. Pernikahan dengan Mahar Termahal
Keunikan suku Nias lainnya adalah sistem budaya pernikahan yang masih dijaga hingga saat ini.
Sesuai dengan tradisi nenek moyang yang berlaku, pernikahan adat ini dikenal sebagai salah satu upacara pernikahan termahal di Indonesia.
Besarnya mahar dalam pernikahan adat suku ini ditentukan berdasarkan kasta calon pengantin perempuan.
Biasanya, semakin tinggi tingkat pendidikan mempelai wanita, maka semakin tinggi pula nilai mahar yang diminta kepada mempelai laki-laki.
3. Rumah Tanpa Paku
Rumah yang dibuat oleh suku Nias biasanya berbentuk rumah panggung dan dibangun di atas lempengan batu dengan menggunakan tiang penyangga yang disusun secara teratur.
Pada bagian luar rumah, tiang penyangga disusun secara vertikal, sementara di bagian tengahnya disusun secara diagonal.
Jenis kayu yang digunakan biasanya sangat keras, seperti kayu nibun atau manawa, sementara rangka dan dinding rumah menggunakan jenis kayu simakebueu.
Bangunan yang dibuat sepenuhnya mengikuti metode tradisional dan tidak menggunakan paku sama sekali.
4. Mengunyah Sirih
Keunikan suku Nias selanjutnya adalah kebiasaan mengunyah sirih. Sirih biasanya ditawarkan kepada tamu yang berkunjung ke rumah.
Kebiasaan mengunyah sirih ini adalah salah satu tradisi turun-temurun yang masih dijaga dengan baik hingga saat ini.
Setidaknya ada lima bahan yang digunakan saat mengunyah sirih, yaitu daun sirih, kapur, gambir, tembakau, dan buah pinang.
Campuran dari kelima bahan ini disebut sebagai "apok," meskipun terkadang orang yang baru mempelajari tradisi ini menggunakan hanya empat bahan tanpa tembakau.
Meskipun mengunyah sirih dapat menyebabkan efek samping seperti pusing atau pening, kebiasaan ini dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki.
Selain itu, tradisi mengunyah sirih juga merupakan simbol budaya yang menjadi bagian dari pelaksanaan acara adat suku Nias.
5. Memiliki Marga
Penggunaan marga suku Nias merupakan bukti bahwa suku ini mengikuti budaya patriarki dengan garis keturunan yang mengikuti garis bapak atau ayah.
Di mana pun suku ini berada, baik di kampung halaman maupun di perantauan, ketika bertemu satu sama lain atau bahkan saat belum saling mengenal, mereka pasti akan bertanya mengenai marga masing-masing.
Marga memiliki peran penting sebagai penentu hubungan kekerabatan serta untuk melacak asal usul seseorang dari etnik sukunya. Selain itu, melalui marga seseorang dapat mengetahui hubungan antar sesama.
Demikianlah rangkuman mengenai suku nias yang selalu menjaga dan mewariskan nilai-nilai budaya mereka dari generasi ke generasi.
Meskipun terjadi perubahan dalam agama dan gaya hidup, warisan budaya daerah ini tetap hidup dan dihargai.
Semoga pengetahuan ini dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang suku Nias dan memberikan apresiasi terhadap keindahan dan budaya mereka.
Tetaplah menjunjung tinggi dan merayakan keanekaragaman budaya, karena hal inilah yang membuat dunia ini begitu kaya dan menarik.
Editor: Ratni Dewi Sawitri