PARBOABOA, Jakarta - Problem finansial yang kerap menyasar mahasiswa di perguruan tinggi tak boleh dianggap sepele. Banyak di antara mereka terjerat pinjaman online (pinjol) demi melunasi tunggakan kuliah.
Para mahasiswa rupanya tak punya pilihan lain. Kondisi ekonomi yang cekak ditambah biaya kuliah di universitas yang tinggi, memaksa mereka mengambil keputusan itu, lalu terjebak dalam lilitan hutang.
Akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa yang berada di kelompok menengah ke bawah, agaknya tak semudah yang dibayangkan. Pemerintah, mau tak mau, harus sesegera mungkin memetakan ulang strategi jangka panjang agar bisa keluar dari lingkaran setan tersebut.
Dalam diskusi bertajuk 'Biaya Kuliah Tinggi, Pinjaman Pendidikan Jadi Solusi?', Prof. Warsito, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), kembali menyoroti soal ini.
Menurutnya, pemerintah saat ini tengah mengkaji skema student loan atau pinjaman pendidikan yang lebih lunak, sebagai salah satu solusi bagi mahasiswa yang mengalami kendala finansial. Skema ini, kata dia, sebisa mungkin dirancang untuk menghindari risiko gagal bayar.
“Ini pendekatan yang lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pinjaman yang sifatnya konvensional dengan membebankan bunga tinggi dan sering kali tidak mempertimbangkan keadaan finansial peminjam setelah lulus kuliah,” paparnya.
Warsito belajar dari program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang cukup populer di era 1980-an. Program ini sejatinya menjadi strategi alternatif untuk meringankan beban biaya kuliah mahasiswa, namun sayangnya tidak berjalan maksimal.
Salah satu faktor utama, menurut Warsito, yakni sulitnya pengembalian dana dari para mahasiswa setelah lulus kuliah.
Karena itu, skema pinjaman lunak, selain untuk mendukung mahasiswa mendapat akses pendidikan tinggi, tetapi juga dirancang untuk mengurangi beban finansial. Para mahasiswa nantinya bisa mengembalikan pinjaman setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Skema ini diharapkan dapat membantu mengatasi rendahnya Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK-PT) Indonesia pada 2024 sebesar 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen,” katanya.
Warsito yakin bahwa skema pinjaman lunak akan memberikan keringanan bagi mahasiswa dibandingkan skema kredit berbunga tinggi. Mereka akan lebih mudah melunasi pinjaman setelah lulus kuliah.
Masalah tunggakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan angka putus kuliah yang cukup tinggi di Indonesia, juga bisa diminimalisir.
"Ibaratnya kalau kuliah 4 tahun, jadi tahun kedua setelah lulus itu mulai melakukan pembayaran dengan berbagai skenario tentu," paparnya.
Selain itu, Warsito menekankan, pentingnya konvergensi data dan regulasi perbankan untuk memastikan bahwa skema pinjaman lunak ini tepat sasaran dan dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkannya.
Di sisi lain, integrasi data menjadi krusial, sehingga pelacakan dan penagihan pinjaman dapat dilakukan dengan mudah setelahnya sekaligus mengurangi risiko gagal bayar.
Hal ini juga, kata dia, akan memungkinkan pemerintah memantau kemajuan peminjam dan memberikan bantuan yang diperlukan jika mereka mengalami kesulitan dalam pembayaran.
Para mahasiswa juga tak perlu khawatir jika tak mampu memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman. Menurut Warsito, pemerintah siap memberikan bantuan tambahan, termasuk beasiswa, sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya.
"Pemerintah juga akan melakukan kerja sama dengan ikatan alumni dan lembaga filantropi dalam rangka memastikan tata kelola yang efektif dan pengembalian dana yang lancar," jelas Warsito.
Warsito juga menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sebagai nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Ini tercermin dalam desain skema pinjaman lunak, yang tidak hanya ditujukan untuk meringankan beban finansial, tetapi juga untuk membangun kepercayaan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan warganya.
Dengan dukungan regulasi yang kuat dan kerja sama antara pemerintah dan sektor non-pemerintah, skema ini diharapkan mampu meningkatkan Akses Pendidikan Tinggi (APK-PT) dan membantu Indonesia mencapai target pendidikan nasionalnya.
Ia berharap, inisiatif pinjaman lunak ini dapat membuka jalan bagi generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan memperoleh masa depan yang lebih cerah.
Skema income contingent loan
Elza Emira Ph.D, Development Research University of Bonn, menyambut baik wacana tersebut. Skema yang paling cocok diterapkan di Indonesia, kata dia, yakni income contingent loan – berbasis pendapatan.
Skema ini merupakan pinjaman tanpa bunga untuk pendidikan tinggi yang bisa dilunasi setelah mahasiswa lulus dan berpenghasilan cukup.
Elza menjelaskan, banyak negara maju telah mengembangkan sistem pinjaman berbasis pendapatan untuk menggantikan pinjaman pendidikan dengan sistem hipotek. Menurutnya, sistem pinjaman berbasis pendapatan dianggap lebih baik daripada sistem hipotek.
Dalam sistem hipotek, kata dia, jumlah dan jangka waktu pembayaran sudah ditetapkan, yang menyebabkan beberapa orang mengalami kesulitan dalam pembayaran.
"Namun, dalam sistem pinjaman berbasis pendapatan, mahasiswa yang menerima pinjaman akan membayar sesuai dengan penghasilan mereka setelah lulus dan mulai bekerja," jelas Elza dalam forum yang sama.
Ia juga menerangkan, dalam skema pinjaman berbasis pendapatan tidak ada konsep kredit macet atau gagal bayar yang akan mencoreng nama peminjam di BI Checking.
Skema ini, ujar Elza, memungkinkan mahasiswa peminjam untuk menyesuaikan pembayaran pinjaman dengan penghasilan yang mereka peroleh.
"Karena pembayaran dipasang berdasarkan penghasilan. Jika tidak ada penghasilan, maka mahasiswa akan dibebaskan dari pembayaran pinjaman. Pembayaran akan dilanjutkan ketika ada pendapatan kembali," jelasnya.
Di sisi lain, sistem pinjaman berbasis pendapatan akan sejalan dengan program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan APK-PT melalui beasiswa.
Program ini bertujuan untuk memudahkan orang-orang yang ingin mengakses pendidikan tinggi tetapi menghadapi kesulitan finansial.
Elza meyakini, sistem pinjaman berbasis pendapatan lebih efektif dibandingkan dengan skema beasiswa. Meskipun prinsipnya sama, namun pinjaman berbasis pendapatan dapat menjangkau lebih banyak mahasiswa.
"Jika beasiswa hanya untuk satu mahasiswa, income contingent loan bisa membantu dua mahasiswa. Sebab dana pinjaman akan kembali setelah sebagian kekurangannya ditutupi pemerintah," katanya.
Pemerintah dapat menutup sebagian dari pinjaman ini menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, saat ini, alokasi APBN untuk pendidikan tinggi masih sangat terbatas, hanya sekitar 0,3% dari total APBN.
"Kami menyadari keterbatasan APBN, oleh karena itu, sistem pinjaman berbasis pendapatan ini akan membantu pemerintah dalam penutupan biaya pendidikan. Karena dana akan kembali setelahnya untuk dipinjamkan ke mahasiswa lain," jelasnya.
Menurut Elza, hal terpenting bagi pemerintah saat ini adalah mempersiapkan sistem pendataan yang terintegrasi. Data ini akan digunakan untuk pelacakan setelah mahasiswa lulus agar mereka dapat melunasi pinjamannya.
Di luar negeri, data ini terintegrasi dengan pajak dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), memudahkan pelacakan. Misalnya, untuk mahasiswa yang bekerja di sektor formal setelah lulus, pembayaran pinjaman langsung dipotong dari gaji mereka.
"Namun, tantangannya adalah bagaimana menangani mahasiswa yang bekerja di sektor informal. Oleh karena itu, pemerintah harus pandai dalam mengatasi hal ini," ujarnya.