PARBOABOA, Simalungun - Tingginya angka Tuberkulosis (TBC) merupakan persoalan serius di berbagai wilayah di Indonesia.
Kabupaten Simalungun, misalnya, telah menjadi salah satu daerah dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi di Sumatera Utara.
Pada tahun 2024 saja, Simalungun menduduki peringkat keempat dengan 4.550 kasus, setelah Medan, Deli Serdang, dan Asahan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) tahun 2024, tercatat pada tahun 2022 terdapat 1.935 pasien TBC baru yang terdaftar dan diobati.
Dari jumlah tersebut, tercatat 96 kasus (4,9%) meninggal dunia.
Sementara pada tahun 2023, jumlah pasien baru bertambah menjadi 2.044, dengan persentase kematian mengalami penurunan menjadi 4,6%.
Sementara itu, tingkat kesembuhan pasien mengalami penurunan. Pada tahun 2022, jumlah pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 843 orang (43,5%), sedangkan pada tahun 2023 menurun menjadi 760 orang (37%).
Padahal, Kabupaten Simalungun tercatat sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menerima bantuan dari United States Agency for International Development (USAID) dan The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GFATM).
Menurut data yang dihimpun oleh PARBOABOA melalui laman resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat, USAID memberikan bantuan berupa pengadaan obat TPT jangka pendek 3HP, yang menggabungkan Isoniazid dan Rifapentine dosis tinggi.
Berdasarkan rekomendasi WHO, obat TBC tersebut diberikan sekali seminggu selama tiga bulan.
Penggunaan 3HP terbukti meningkatkan kepatuhan dan hasil pengobatan, serta mengurangi beban pada sistem pelayanan kesehatan.
Sementara, berdasarkan data dari laman resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, GFATM juga memberikan dukungan signifikan berupa dana hibah sebesar 309 juta dolar AS atau setara Rp 4,6 triliun untuk periode anggaran 2024-2026.
Dana ini bertujuan mendukung eliminasi penyakit HIV, TBC, dan malaria di semua wilayah rentan di Indonesia, termasuk di Simalungun.
Pencairan dana hibah tersebut sudah mulai direalisasikan di Jakarta sejak Januari 2024.
Hal ini dinilai sebagai wujud komitmen kuat untuk mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030.
Administrator P2PM Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, Hamonangan Nahampun, membenarkan informasi tersebut.
Ia menyatakan bahwa komitmen pemerintah serta dunia internasional sangat serius dalam memberantas TBC.
“Dukungan ini sangat membantu dalam mengoptimalkan penanganan TBC di Simalungun serta menuju eliminasi TBC pada tahun 2028 di Simalungun,” ucap Hamonangan kepada PARBOABOA, Kamis (20/06/2024).
Hamonangan juga menjelaskan bahwa Kabupaten Simalungun telah melengkapi tujuh alat deteksi TBC, yaitu Tes Cepat Molekuler (TCM), yang tersebar di tiga RSUD dan empat puskesmas.
“Alat ini membantu petugas kesehatan untuk mendeteksi infeksi TBC dengan cepat dan menentukan apakah pasien masih sensitif terhadap obat-obatan biasa (TB SO) atau sudah resisten (TB RO),” ungkapnya.
“Semua layanan pemeriksaan dan pengobatan TBC ini tersedia secara gratis, jadi masyarakat tidak perlu khawatir,” tambahnya.
Meskipun jumlah alat terbatas, ia menyampaikan bahwa masyarakat Simalungun yang berada jauh dari fasilitas kesehatan yang dilengkapi alat TCM tidak perlu khawatir.
Puskesmas, jelasnya, hanya perlu mengirimkan sampel dahak untuk pengujian ke lokasi terdekat yang memiliki TCM, dan hasil pemeriksaan akan dikirimkan kembali.
“Kami bekerja sama dengan JNE untuk pengiriman sampel dahak, serta memastikan bahwa semua fasilitas kesehatan di Simalungun mampu memberikan layanan TB-DOTS,” jelasnya.
Dia juga menyatakan bahwa Dinas Kesehatan melakukan upaya tambahan dengan melakukan Tuberculin Skin Test (TST).
Tes ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang sering bersentuhan langsung dengan penderita TBC, seperti keluarga atau tenaga medis, agar penyebaran TBC dapat dikendalikan.
“Kami juga berupaya meningkatkan kesadaran pasien mengenai etika batuk. Pasien harus memahami cara pembuangan dahak yang benar dan cara membuang tisu dengan tepat,” ucapnya.
Hamonangan pun menyarankan penggunaan tisu disposabel saat batuk bagi penderita TBC dan melakukan perendaman tisu tersebut dalam cairan Lysol atau karbol.
Pemerintah Kabupaten Simalungun, ungkapnya, telah melakukan rontgen di 39 titik untuk mendeteksi kasus TBC laten, yaitu infeksi yang belum menunjukkan gejala.
Langkah-langkah ini dirancang untuk meningkatkan deteksi dini dan mencegah penyebaran lebih lanjut.
Walau demikian, Hamonangan menyayangkan rendahnya kesadaran pasien TB di wilayah tersebut.
Dia merujuk data tahun 2022 dengan jumlah 905 kasus (46%) dengan klasifikasi Pengobatan Lengkap.
Data tersebut kemudian menurun menjadi 830 kasus (40%) pada tahun 2023.
Hal itu membuat,kami tidak tahu apakah pasien sembuh atau tidak,” karena mereka tidak mengikuti tahapan pemeriksaan,” ucapnya.
Menurut dia, hal ini juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah pasien TB RO di Simalungun.
"Pasien TB RO seringkali adalah pasien TB SO yang tidak rutin melakukan pengobatan."
Hamonangan mengakui bahwa tantangan pengendalian penyebaran TBC di Simalungun karena penyebaran penyakit ini merata di seluruh wilayah, termasuk daerah padat penduduk seperti Tapian Dolok dan Batu VI.
Karena itu, pihaknya terus meningkatkan sosialisasi melalui media leaflet dan elektronik untuk memastikan informasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, jelasnya, penting untuk melakukan pemantauan rutin terhadap pasien untuk memastikan kesembuhan.
Termasuk peningkatan kualitas gizi dan pengobatan sesuai berat badan pasien harus dilakukan.
Setiap tahun terangnya, pasti ada yang meninggal karena keterlambatan penanganan medis. Oleh karena itu, deteksi dini dan pengobatan yang tepat sangat krusial.
Dia berharap, dengan berbagai upaya dan dukungan dari pemerintah dan dunia internasional, kasus TBC di Simalungun dapat ditekan dan akhirnya dieliminasi.