PARBOABOA, Jakarta - Perang antara kelompok militan Hamas dan militer Israel nyatanya tidak hanya sebatas adu fisik di dunia nyata.
Di luar itu, kedua pihak sama-sama mengerahkan pasukan siber untuk turut bertempur di ranah digital.
Dilansir dari The Hindu pada Rabu (11/10/2023), Palestina yang didukung kelompok pasukan siber Hamas, telah melancarkan serangkaian serangan Distributed Denial of Service (DDoS) terhadap situs web pemerintah dan swasta di Israel.
Tujuannya tak lain untuk menimbulkan kebingungan, ketakutan, serta membuat situs-situs tersebut tidak dapat diakses.
Iron Dome, sistem pertahanan udara yang dibangga-banggakan Israel selama ini, termasuk aplikasi peringatan serangan roket juga tak luput dari serangan.
Kelompok Microsoft Storm-1133 dari Jalur Gaza juga telah menargetkan perusahaan energi, pertahanan, dan telekomunikasi Israel dengan mengirimkan malware melalui profil palsu di LinkedIn.
Bahkan, pasukan siber pro-Palestina dari luar negeri juga turut ambil bagian.
Salah satunya, kelompok hacktivist seperti Anonymous Sudan, yang diduga memiliki koneksi dengan Rusia dan mendukung Hamas.
Mereka telah mengklaim tanggung jawab atas serangan terhadap situs berita ternama The Jerusalem Post.
Sementara di pihak yang berseberangan, pasukan siber pro-Israel juga telah menargetkan situs-situs resmi Hamas.
Tujuannya yakni menciptakan ketidakmampuan akses publik terhadap situs penting tersebut.
Perang siber Hamas dan Israel ini tentu menciptakan ancaman keamanan digital di Timur Tengah, bahkan lebih parahnya lagi, bisa jadi menyusup hingga Indonesia.
Lantas apa yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia?
CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat kepada PARBOABOA mengatakan, konflik Hamas-Israel yang merambah ke ranah digital merupakan tanda dari kompleksitas tantangan keamanan global saat ini.
Menurutnya, meskipun konflik Hamas-Israel tampaknya jauh dari Indonesia, bukan berarti pemerintah boleh mengabaikan dampak yang tercipta terhadap keamanan digital dan stabilitas negara.
"Serangan siber semacam ini dapat mengganggu infrastruktur digital, layanan pemerintah, dan sektor swasta di Indonesia," katanya, Sabtu (14/10/2023).
Situasi tersebut juga bisa berdampak buruk pada ekonomi, keamanan nasional, dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, konflik siber Hamas-Israel juga bisa jadi membuka peluang pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi untuk menciptakan ketidakstabilan dan konflik dalam negeri.
Dengan kata lain, upaya propaganda dan pengaruh asing melalui media sosial dan internet dapat merambah ke Indonesia sehingga memicu perselisihan, dan memecah belah masyarakat.
Maka dari itu, kata Achmad, sejumlah hal perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia, di antaranya:
Pertama, peningkatan kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional dan mitra regional untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.
Kerja sama ini mencakup pertukaran informasi, pelatihan, dan pembentukan strategi bersama.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus aktif dalam diplomasi digital demi mendorong kedamaian dan perdamaian di Timur Tengah seperti mediasi, dialog, dan upaya lain yang relevan.
Terakhir, pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyakarat demi menciptakan kesadaran yang lebih baik tentang keamanan siber.
"Langkah itu dapat membantu mencegah serangan siber dan penyebaran propaganda yang merugikan," katanya.