PARBOABOA, Jakarta – Tadi subuh ia berkendara dari kediamannya di Lobu Siregar, Siborongborong. Tujuannya adalah kantor redaksi Parboaboa.com di Jalan Toba, Pematang Siantar. Ia akan menyampaikan materi Fotografi Jurnalistik di Era Media Digital.
Sesampai di depan kantor tersebut ia bertelepon ke aku. Waktu itu pukul 08.30. “Aku belum sarapan. Masih bisa nggak makan pangsit di Awai?”
“Tentu. Sarapan dululah,” jawabku.
Dari Parapat, Danau Toba, tadi malam aku menghubunginya di Siborongborong lewat telepon untuk memastikan kehadirannya. Ia meminta: kalau mungkin jadwalnya dimundurkan menjadi pk. 09.00 dengan alasan perjalanan besok jauh.
Bisa mengerti, permintaannya kululuskan. Senang dia.
Seperti biasa, tadi sedari pk.08.00 kelas sudah kumulai. Begitu ia muncul dari balik pintu, paparan kehentikan. Kusambut dan kusalam dia sebelum kuperkenalkan secara singkat ke hadirin.
Edward Tigor Siahaan mengenalkan diri. Sesudah dia, barulah giliran peserta kelas melakukan hal serupa.
Tigor, begitu ia biasanya dipanggil. Hingga belasan tahun silam ia fotografer korporasi terkemuka di negeri kita. Perusahaan raksasa seperti BCA, Astra, BNI, dan Sampoerna antara lain kliennya. Foto-foto direksi-komisaris, buku tahunan, dan kalender mereka merupakan hasil jepretan dia di masa itu.
Saat kami berdua masih sama-sama di majalah TATAP bersama Jansen H. Sinamo, Nabisuk Naipospos (Salomo Simanungkalit), Martin Lukito Sinaga, Benget Besalikto Tinambunan (Mister Geok), dan Hans Miller Banuerah, ia akhirnya mengambil langkah besar yang sudah beberapa kali diutarakannya: berkegiatan di kampung halaman saja.
Menurut kami waktu itu, kelewat berani dan nekad ia berpindah ke negeri antar berantah bernama Siborongborong. Padahal, saat itu kesibukannya di Jakarta masih belum berkurang. Studio fotografi miliknya, Seni Jurnal (di Tebet) belum sepi order. Lalu, ia pun masih menjadi pengajar di London School of Public Relation yang didirikan dan dipimpin Prita Kemal Gani. Perempuan enerjik ini istri atasannya sewaktu masih di majalah SWA, Kemal Effendi Ghani.
Rupanya kata akhir sudah diucapkan. Di Lobu Siregar ia dan sang istri, Vera Hutauruk, langsung berkegiatan sejak 2013. Ia membuka kursus fotografi sedangkan pasangannya yang mantan orang PR Hotel Mandarin Oriental Jakarta dan money broker di Grup Salim membuka sekolah bahasa Inggris, Let’s Spek English, untuk anak-anak di sekitar tempat tinggal mereka serta di simpang jalan Siborong-borong—Lobu Siregar.
Adapun kedai kopi Piltik yang di sana belum dioperasikan; masih dipersiapkan. Kala itu tempat ini, bersama home stay yang di sebelahnya, pernah kulongok dan kuabadikan. Masih kuingat saat itu bahwa pasangan yang sangat kreatif ini tengah galau. Masalahnya, orang-orang lokal yang baru saja mereka didik untuk menjadi pegawai mendadak mogok untuk minta kenaikan gaji.
Entah apa yang dilakukan pasangan Edward Tigor—Vera Hutauruk kemudian. Yang pasti, bisnis mereka berkembang akhirnya. Piltik Coffee Academy telah lahir di Bandara Silangit. Belakangan, Piltik Art Space juga mengada di basis: Lobu Siregar. Terbukti bahwa suami-istri ini petarung yang melahirkan Timmy dan Tasya memang tangguh.
Kelas Fotografi
Edward Tigor Siahaan lahir di Tarutung 61 tahun silam dan besar di kota Medan. Sekolahnya terbilang tak normal.
Setamat SD ia melanjut ke sekolah Teknik (ST). Tamat dari sana ia masuk STM jurusan bangunan. Kuliahnya? Semula di jurusan Teknik sipil tapi tak klar. Ia lalu berpaling ke jurusan ekonomi. Selanjutnya ia mengikuti program master di bidang bisnis. Begitupun, ia tak menjadi pengusaha sesudah sekolahnya beres.
Sejak Agustus 1985 ia menjadi fotografer. Gemar belajar, ia mengikuti program fotografi di tempat yang sangat istimewa, St. Martin College, London. Ilmu dan pengalaman panjanglah yang membuat dirinya kemudian diminta mengajar di London School of Public Relation (LSPR) Jakarta. Bergabung sebagai dosen sejak 1998, ia mundur 16 tahun kemudian.
Ia juga mengajar di sekolah fotografi milik jawara penjepret model, Darwis Triadi, selain di Seni Jurnal miliknya sendiri. Di samping mengajar, ia juga menjadi bagian dari sidang redaksi majalah Fotomedia yang lama mengada sebelum fotografi digital berkembang pesat di negeri kita.
Aku menyimak betul tadi selama 2 jam barista lulusan Akademi Ekspresso, Florence, Italia,
berbagi ilmu dan pengalaman. Ia tetap bersemangat kendati hadirin adalah para sarjana baru dan mahasiswa yang umumnya awam fotografi.
Selain sejarah fotografi, aneka teknik penting yang diajarkannya. Termasuk pencahayaan (eksposur) yang merupakan hasil perkawinan tiga faktor penting: bukaan diafragma (aperture), kecepatan rana (shutter speed), dan ISO. Juga: eksposur kreatif (panning, ruang tajam, zooming; komposisi, angle of view, shot size, dan etika fotografer.
Foto-foto hasil perburuannya sendiri yang lebih banyak ia tampilkan sebagai contoh. Sisanya adalah buah karya para master termasuk Ansel Adams, Henri Cartier-Bresson, Annie Leibovitz, Steve McCurry, Sebastiao Salgado, dan James Nactwey.
Tak syak lagi, materi yang setidaknya untuk enam bulan telah disampaikan dengan baik oleh sang penulis kitab Batak Inspigraph. Laksana sihir saja!
Wajarlah kalau segenap peserta kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Pematang Siantar, tadi bergairah dan girang. Terlebih lagi setelah di penghujung acara fotografer kenamaan yang kini lebih menggeluti bisnis lewat produk-produk beratribut Piltik mengundang mereka ke Huta Art Space, Siborongborong.
“Tanggal 5 Juni mendatang ada pameran akbar foto Danau Toba di sana. Penampilnya termasuk Mas Darwis Triadi. Kalian datang, ya…”, ajaknya.
Semua peserta menyahutinya dengan mata berbinar-binar tadi. Mungkin karena itulah mereka sangat bersemangat tatkala sepeninggal Edward Tigor Siahaan kukasih tips memotret dengan kamera profesional yang disanggah tripod atau tidak.
Hingga beberapa hari mendatang mereka akan mempraktikannya langsung. Kalau teori saja akan lekas menguap, bukan?
Penulis: P. Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindryati