PARBOABOA - Negara Vietnam dan Cina menjadi pasar utama penjualan satwa liar dilindungi yang dikirim lewat perjalanan laut, melalui jalur tikus yang lolos dari penjagaan petugas atau bisa lewat karena dugaan menyuap oknum.
Pemerhati Perdagangan Satwa Liar, Dwi Nugroho Adhiasto saat dihubungi melalui sambungan telepon, Sabtu, 29 April 2023 menjelaskan, dilihat dari posisinya Provinsi Sumatra Utara (Sumut) sangat strategis sebagai jalur keluar dan masuk satwa dari domestik ke luar negeri atau sebaliknya.
Kata dia, jalur perdagangannya lewat Kota Medan, kemudian melintas dari pesisir timur yang berbatasan dengan Selat Malaka dan semenanjung Malaysia.
“Apalagi daerah itu yang kita tahu sebagai traffic point untuk penyelundupan satwa dari Asia Tenggara dan bahkan Afrika, juga sudah masuk ke semenanjung Malaysia kan begitu,” katanya menjelaskan.
Sumut sendiri, lanjutnya, merupakan habitat terbanyak satwa liar dilindungi hidup, mulai dari orangutan Sumatra, harimau Sumatra, gajah, trenggiling dan lainnya. Hal inilah menjadikan provinsi ini tempat perburuan, perdagangan sekaligus pintu keluar dan masuk hewan yang memiliki nilai komoditas tinggi.
“Ditambah lagi di Sumut jugakan ada beberapa area konservasi yang memang dilindungi, karena ada sumber daya alam penting di dalamnya, seperti Taman Nasional Leuser dan beberapa suaka margasatwa,” ucapnya.
Sulit Terputus
Dwi Nugroho menerangkan, kejahatan satwa liar dilindungi dipastikan terus ada, karena tipikalnya sama seperti kejahatan lain.
“Karakter dari kejahatan itukan, selama ada area yang tidak diawasai dan target yang bisa diambil, dan juga ada pelaku yang termotivasi untuk melakukan kejahatan, pasti ada kejahatan di situ, apalagi terhadap satwa,” ucapnya.
Di samping itu, area-area yang juga kurang mendapatkan penjagaan atau kurangnya kemampuan pemerintah dari sisi sumber daya untuk patroli dan penjagaan, membuat kawasan tertentu tidak terlindungi dengan baik. Hal inilah jadi alasan kenapa perburuan terhadap satwa masih terus terjadi.
Dwi menjelaskan, selama masih ada pasar (market), kemudian pembelinya atau komunitas kejahatan satwa, upaya perburuan hingga perdagangan akan ada terus terjadi.
Naik turunnya kejahatan tersebut, lanjutnya, tergantung dari kemampuan aparat untuk bisa membendung.
“Sama seperti narkoba, mau dijaga seketat apapun, sampai saat ini masih ada terus, karena marketnya masih ada dan pembelinya juga,” katanya.
“Nah kenapa pasar dan pelaku itu juga tercipta? Karena benefit yang didapat dari kegiatan ilegal itu masih lebih tinggi dibanding risikonya. Pasti mereka melakukan berbagai cara untuk memastikan melakukan kejahatan itu, karena benefitnya lebih besar dibanding risiko,” imbuhnya.
Keterlibatan Oknum dan Pakai Fasilitas Negara
Dwi menyebut, soal keterlibatan oknum-oknum tertentu dalam memuluskan satwa liar dilindungi itu hingga bisa lolos di perbatasan Sumut atau kawasan Indonesia lainnya, tidak bisa dipungkiri terjadi.
“Memang ada keterlibatan oknum, apakah itu sebagai pedagang, backing ataupun konsumen,” ucapnya.
Soal keterlibatan oknum ini, Dwi memberi contoh pada September 2022 lalu kapal perang Republik Indonesia (RI) jenis KRI Teluk Lada 521 dengan rute dari Sorong, Papua Barat tujuan ke Surabaya, Jawa Timur isinya membawa satwa burung dilindungi.
“Bahkan kemarin ada kasus satwa yang dibawa oleh kapal-kapal perang, itu menunjukkan bahwa ada beberapa oknum yang menggunakan fasilitas yang ada dan kemudahan mereka untuk melakukan kegiatan ilegal penyelundupan satwa,” jelasnya.
“Itukan sempat ramai kemarin ya, dan itu faktanya ada, tidak bisa kita pungkiri juga,” imbuhnya kembali.
Dwi menjabarkan, wilayah Indonesia yang sangat luas, menjadi lahan empuk dan kemudahan yang dimanfaatkan para penjahat satwa liar dilindungi, untuk memindahkan dari satu pulau ke pulau lain, atau satu provinsi ke provinsi lain itu, menjadi kemudahan tersendiri.
“Nah, pintu-pintu masuk dan keluar perdagangan itu memang banyak sekali. Sementara penjagaan-penjagaan yang dilakukan tidak banyak karena jumlah petugas juga tidak banyak,” sebutnya.
Di samping itu, lanjutnya, para penyelidik yang secara aktif melakukan penyelidikan, melakukan investigasi untuk bisa menemukan jalur-jalur baru atau tempat-tempat keluar juga tidak banyak.
Itulah mengapa, terangnya, sebagian besar kasus yang terungkap di Indonesia bergantung dari laporan masyarakat yang bisa memberikan informasi.
“Karena memang jumlah aparat kita tidak banyak jika dibandingkan dengan lokasi-lokasi penyeludupan, pelabuhan-pelabuhan kecil, atau bandara-bandara yang tidak terawasi, yang menjadi tempat favorit untuk bisa melakukan penyelundupan,” jelasnya.
Dugaan Keterlibatan Oknum Militer, Polisi dan Karantina
Dwi menjelaskan, dilihat dari kasus-kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang terungkap, oknum yang terlibat bermacam-macam, ada dari kalangan militer, kepolisian, dan oknum karantina.
Kata Dwi, dugaan keterlibatan oknum-oknum tersebut menggunakan kekuasaannya untuk mengamankan jalur penyeludupan, hingga proses pengiriman barang atau pelaku yang mencoba melakukan suap agar bisa memuluskan proses pengiriman.
“Dua hal itu terjadi. Jadi rata-rata aparat yang berada di dalam rantai perdagangan satwa ilegal itu,” jelasnya.
“Nah ada pun keterlibatan oknum melakukan kejahatan yang terlibat itu, memang juga dipicu oleh daya tarik atau adanya iming-iming dari para pelaku,” sebutnya.
Rawan Jalur Penyelundupan
Dwi menerangkan, dari hasil penilaian (assesment) yang pernah dilakukannya, rute penyelundupan satwa liar dilindungi dari Sumut ke luar negeri, memanfaatkan jalur-jalur kecil di daerah Langkat, kemudian sekitar area perairan Belawan.
Kalau ke Utara lagi, sambunya, seperti Langsa dan Aceh Tamiang sering menjadi langganan pintu keluar dan masuk satwa dari Indonesia ke luar negeri atau sebaliknya.
“Sebenarnya ada beberapa kasus juga yang ditemukan di situkan ya, seperti kasus trenggiling tahun lalu yang ditemukan oleh Polair, pelakunya dan barang bukti juga disita di sekitar pelabuhan Belawan,” jelasnya.
“Dan sekitar dua tahun lalu ada juga kura-kura dari luar negeri juga masuk dari Aceh Tamiang,” bebernya.
“Jadi memang pantai-pantai di timur Sumut itu rawan, namun kasus yang terlihat jelas itu ada di sekitar perairan Belawan ya, kemudian di Langsa, Aceh Tamiang dan Langkat itu,” imbuhnya.
Menggunakan Modus Baru
Pelaku kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi memakai modus baru untuk mengelabui petugas. Dwi menerangkan, jika sekitar lima atau sepuluh tahun lalu mereka melintas dari pelabuhan laut resmi karena aparat penegak hukum belum masif melakukan penjagaan, kini bergeser dengan teknik lain.
“Nah yang menarik di sini, inikan dulunya atau sebelum aparat penegak hukum di pelabuhan laut itu memperketat penjagaan dan perdagangan satwa ilegal belum terlalu tinggi, jadi pelaku lebih mudah melakukan penyeludupan lewat pelabuhan resmi dengan berbagai macam modus,” terangnya.
“Tapi sekarangkan sudah lebih ketat, penjaga sudah lebih paham aturan, modus-modus baru dilakukan pelaku, menggantinya dengan mereka lebih sering menggunakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang berada di sekitar pelabuhan resmi itu,” ucapnya kembali.
Pelaku kejahatan, terangnya, sekarang memanfaatkan pelabuhan resmi bukan lagi untuk jalur penyeludupan, melainkan mengisi bahan bakar, bersandar, dan mengisi logistik.
"Oleh sebab itu, tim patroli perairan seharusnya tidak hanya melakukan patroli di pelabuhan resmi saja, namun juga di perairan sekitar pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar pelabuhan resmi itu," jelasnya.
“Sama juga, ada modus transitment (pemindahan satwa-satwa di tengah laut), jadi mereka tidak melakukan transaksi di pelabuhan namun menggunakan kapal-kapal kecil di tengah laut, kemudian memindahkannya ke kapal besar untuk melanjutkan pengiriman satwa tersebut ke tempat tujuan,” terangnya.
Dua Kelompok Pelaku
Dwi menjelaskan, di Indonesia ada dua kelompok pelaku, pertama di tingkat dasar, yakni mereka yang merupakan masyarakat-masyarakat lokal dan tinggal berdekatan di sekitar lokasi sumber satwa.
“Jadi mereka berburu, menampung dan menjual ke supplier yang lebih besar, namun mereka memang tidak mendapatkan benefit terlalu banyak dan resikonya pun lebih besar. Dibanding ketika satwa sampai ke supplier yang lebih besar di luar negeri, maka keuntungan semakin berlipat,” katanya.
Kelompok kedua, lanjutnya, ada para eksportir pendukung keuangan (finansial), sebagai kelompok yang mendapat keuntungan lebih besar. Mereka punya jaringan yang terorganisir, tidak berdagang sendiri-sendiri.
“seperti yang terjadi di Indonesia atau beberapa negara, di level tingkat tinggi, mereka biasanya satu etnis atau satu keluarga yang punya kesamaan bahasa dan budaya antara negara sumber satwa dengan negara tujuan, seperti tulang harimau atau sisik trenggiling biasanya di tingkat atas biasanya dilakukan oleh etnis Cina, karena pasarnya di China,” paparnya.
Diperdagangkan Hingga Cina
Dwi memaparkan, jalur perdagangan satwa liar dilindungi dari Sumut ke luar negeri tujuannya berbeda-beda tergantung jenisnya. Untuk trenggiling, tulang harimau, kuda laut, dan sirip hiu tujuan pasarnya di cina.
Selain itu, sambungnya, jenis burung kakak tua juga mayoritas dikirim ke cina, daerah Timur Tengah, Asia Selatan. Orangutan dua kali terdeteksi transit sampai di india. Untuk orangutan, dikirim melalui Malaysia perbatasan Myanmar, Thailand hingga masuk ke India.
Satwa jenis lain, jelasnya, untuk ular atau kadal-kadalan pasar yang paling minat di Jepang, Australia, hingga Eropa. Negara Philipina dan Thailand, juga sering dijadikan transit untuk menampung beberapa satwa dari Indonesia, sepeti kasuari, burung nuri sebelum ke negara tujuan.
“Ini pernah ada kasus ikan arwana ya sampai ke US (Smerika), itu memang berasal dari perdagangan ilegal. Jangkauan satwa dari Indonesia ke luar negeri itu memang banyak sekali,” terangnya.
Kulit Harimau Diminati Pasar Lokal
Berkaca dari kasus Mantan Bupati Langkat yang memelihara satwa liar dilindungi, yakni jenis orangutan Sumatra, burung elang brontok, beo, jalak Bali dan monyet hitam Sulawesi di rumahnya, ada beberapa konsumen di dalam negeri yang memilih mengoleksi hewan hidup hingga opsetan.
Dwi menyebut, pemanfaatan kulit harimau pasar terbesarnya ada di Indonesia. Rata-rata kulit harimau tersebut, dikuliti para pelaku setelah hewan tersebut mati.
“Jadi kulitnya dijual di Indonesia. kalau di luar negeri seperti Vietnam dan Cina kulit tidak begitu laku. Mereka inginkan daging dan tulangnya atau taringnya, di Indonesia juga cukup laku.
“Jadi di Indonesia para kolektor lebih gemar koleksi opsetan, yang tadi misalkan harimau, beruang, rusa, atau kepala rusa itu diminati orang Indonesia,” bebernya.
Dwi menghitung, setiap tahunnya para aparat penegak hukum sekurang-kurangnya melakukan operasi penangkapan sebanyak 200 kali di Indonesia.
“Kalau itu vonis semua berarti ada 200 voniskan ya, 200 putusan pengadilan. Namun tak semua kasus cepat proses pengadilannya dan tidak semua datanya terangkum di database Mahkamah Agung,” katanya.
Kata Dwi, berbicara tentang perdagangan ilegal satwa tidak ada habisnya, selama area hidup satwa tidak dilindungi dengan baik, ditambah target konsumen dan pasar tersedia, kemudian pelaku yang termotivasi untuk melakukan kejahatan masih ada.
“Pelaku yang termotivasi juga ada motif tersendiri ya, ada yang untuk kebutuhan pribadi, atau tujuan lain seperti dikonsumsi, untuk hobi, ditembak dan tidak diapa-apakan satwanya juga ada,” jelasnya.
Dwi memberikan solusi, untuk mencegah dan meminimalisir perburuan hingga perdagangan satwa liar dilindungi bisai dengan semaksimal mungkin memperkuat penjagaan dan memperbanyak aktivitas pencegahan.
Maksud dia memperkuat penjagaan dan memperbanyak aktivitas pencegahan dengan melakukan pengecekan atau razia di sepanjang jalan yang membelah kawasan Taman Nasional, karena jika hanya mengandalkan patroli tidak cukup.
Di samping itu, sambungnya, kolaborasi atau kerja sama bareng juga penting. Kasus yang ada di Indonesia mayoritas diungkap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena mereka yang punya peran menjaga satwa di habitatnya.
“Namun saat satwa sudah keluar, diperjualkan diselundupkan, justru yang menangani banyak tuh, ada polisi bisa, bea cukai, karantina dan KLHK.
Terjadi saat ini, sebutnya, yang mengeroyok kasus di tengah-tengah sampai dengan hilir itu banyak, tetapi di hulu yang menangani (membentengi) mayoritas hanya KLHK.
“Itu tidak akan cukup, makanya kebobolan terus kan itu,” sebutnya.
Hukuman Belum Diterapkan Maksimal
Terkait dengan sanksi yang dijatuhi ke pelaku yang sangat ringan dan isu UU No. 5/ 1990 tentang konservasi perlu direvisi. Dwi menyebut ada beberapa bagian diperlukan revisi.
“Namun sebenarnya UU ini belum dimaksimalkan. Ya saya setuju kalau ada revisi, karena memang ada beberapa bagian yang perlu direvisi, namun kalau UU ini juga menurut saya masih bagus dan efektif jika bisa dimaksimalkan dengan baik,” jelasnya.
Alasan itu dia utarakan, karena yang digembor-gemborkan saat ini masa hukuman ke terdakwa kejahatan yang cuma lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta, justru kenyataan di lapangan penerapan hukuman yang belum maksimal.
Hal yang menyebabkan penjatuhan hukuman belum maksimal, kata Dwi pertama karena level pelaku. Vonis biasa diberikan berdasarkan bobot kejahatannya, atau bisa jadi barang buktinya, nilai kerugiannya dan pelakunya seperti apa.
“Ada pertimbangan moral, atau jaksa dan hakim belum terlalu paham soal nilai kerugian dari perburuan dan perdagangan satwa. Berbicara soal nilai kerugian ini menarik, karena ternyata untuk nilai kerugian satwa ini belum ada landasan referensi,” ucapnya.
Pada titik ini, jelasnya, ketika meminta hakim dan jaksa menghukum pelaku sesuai dengan nilai kerugian yang diderita oleh negara, harus bisa menyediakan referensi yang kuat berupa angka referensi penetapan nilai kerugian ekonominya hingga ekosistemnya.
“Kelemahan-kelemahan di dalam bagian UU No. 5/1990 yang harus diperbaiki. Kita ya harus bisa menyediakan referensi yang kuat buat jaksa dan penyidik bahwa ketika memburu harimau nilai kerugiannya seperti ini, ketika memburu orangutan itu nilai kerugiannya seperti ini,” imbuhnya.
Di sisi lain, jelasnya, Indonesia sudah ada UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sangat cocok diterapkan ke pelaku di level tinggi, seperti pendukung keuangan (financial), eksportir atapun suplier yang besar.
Mereka itu, sebutnya, tidak cocok jika dikenakan dengan UU No. 5/199 saja, lebih tepat TPPU pencucian uang.
“Tapi memang sekarang masih ada perdebatan, soal perampasan aset itu masih menjadi perdebatan. Karena UU TPPU itu akan efektif ketika ada dilanjutkan dengan perampasan aset, jadi kemiskinan, nah kalau dasar hukum perampasan aset itu belum ada juga, sulit TPPU akan diterapkan dengan baik,” ucapnya.
Saat ini pedagang level tinggi tidak tersentuh, karena menurut Dwi aparat penegak hukum lebih mudah menangkap pelaku yang memiliki barang bukti ditangan.
“Misal pemburu yang memburu harimau, ada barang buktinya, ada senjata apinya, itu gampang pakai UU 5 sudah selesai, tapi kalau pendukung financial ya, yang mereka tidak bersentuhan dengan satwanya, tapi mereka memainkan peranan penting, membiayai biaya operasional pengiriman trenggiling, atau jaringan trenggiling, kan mereka ga pegang trenggilingnya langsung,” bebernya.
“Nah itu harus ada upaya penyelidikannya ya, yang bisa memastikan mereka bisa, oh ini ada kaitannya dengan pencucian uang, memberikan hubungan pendanaan kepada pelaku, itu teknik penyelidikannya beda, tidak seperti teknik penyelidikan pelaku pemburu yang memang ada barang bukti di tangan,” imbuhnya kembali.
Pada titik ini, Dwi menilai dibutuhkan kemampuan level tinggi di tingkat penyidik untuk melakukan penelusuran aliran dananya, hingga uang dari satwa itu dibawa atau dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal lainnya.
Kata dia, penyidik harus dilatih oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), untuk belajarmelakukan penyelidikan tentang tindak pencucian uang.
“Dua tahun lalu, MK sudah memutuskan TPNS KLHK dan KKP bisa melakukan penyidikan TPPU, itu langkah penting, tidak harus kepolisian,”.
Pada penutup, Dwi menjelaskan, dibanding 5 atau 10 tahun ke belakang, fokus pemerintah ke perdagangan satwa ilegal sudah jauh lebih tinggi, dengan hasil yang signifikan.
Persoalan yang menjadi pekerjaan rumah tambahan, kata Dwi, adalah pelaku yang mengembangkan modus baru lewat teknik pencucian uang.
“Jika penyidiknya tidak paham tentang pencucian uang, tentang bagaimana para pelaku menyamarkan hasil kejahatannya, ya itu pelaku di tingkat tinggi susah tersentuh, maka hanya menangkapi pelaku tingkat bawah, yakni pemburu atau penampung lokal,”
“Ketika ditangkap, ada satwa barang bukti di tangan, sementara di tingkat atas, yang mereka di balik layar, memiliki peranan penting, akan sulit tersentuh, karena teknik penyelidikan atau penyidikannya akan berbeda,” tandasnya.