PARBOABOA, Jakarta – Indonesia tengah bersiap menuju tahun 2045, momen bersejarah ketika negara ini akan memasuki usia 100 tahun kemerdekaan.
Dalam visi "Indonesia Emas," pemerintah memprioritaskan penguatan sektor ekonomi kelas menengah sebagai salah satu pilar utama.
Kelompok masyarakat ini dinilai memiliki peran strategis sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Atas dasar hal ini, Pemerintah Indonesia mulai menempuh langkah besar untuk membawa negara ini keluar dari jebakan kelas menengah atau middle-income trap.
Kondisi ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi stagnan di tingkat tertentu tanpa mampu naik ke level negara maju.
Langkah ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang diproyeksikan sebagai strategi jangka panjang untuk menciptakan transformasi ekonomi.
Baru-baru ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menejelaskan pentingnya transformasi ekonomi sebagai inti dari RPJPN ini.
Dengan target pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7 persen per tahun, pemerintah bercita-cita menjadikan Indonesia negara maju pada kisaran tahun 2038 hingga 2041.
Walaupun penuh tantangan, Rachmat menyegaskan, Indonesia harus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen dalam lima tahun mendatang, sebagaimana arahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stagnan di angka 5 persen selama dua dekade terakhir, membuat negara ini berisiko terjebak dalam kategori kelas menengah lebih lama.
Di balik rencana ambisius ini, pembangunan manusia menjadi perhatian utama.
Data menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia hanya mencapai 0,54, jauh tertinggal dari negara-negara maju.
Selain itu, masalah stunting, angka kematian ibu, dan kematian bayi yang masih tinggi menjadi penghambat besar dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Pemerintah pun berkomitmen untuk menekan tingkat kemiskinan hingga mendekati nol persen pada tahun 2045, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Rachmat menegaskan bahwa pemerataan pembangunan harus menjadi kunci untuk mencapai target ini, dengan menekan ketimpangan pendapatan antarwilayah sebagai fokus utama.
Dalam kerangka RPJPN 2025-2045, lima pilar transformasi ekonomi telah dirancang untuk menjawab tantangan tersebut.
Pilar pertama adalah peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta inovasi, yang menitikberatkan pada industrialisasi berbasis sumber daya alam, ekonomi biru, ekonomi kreatif, ekonomi syariah, dan modernisasi sektor pertanian.
Pilar kedua adalah ekonomi hijau, yang mengintegrasikan kebijakan ramah lingkungan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan.
Pilar ketiga adalah transformasi digital, yang bertujuan meningkatkan daya saing melalui digitalisasi di berbagai sektor.
Pilar keempat, integrasi ekonomi domestik, berfokus pada penciptaan rantai nilai domestik (Domestic Value Chain) untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekonomi.
Terakhir, pengembangan perkotaan dan perdesaan diarahkan agar wilayah-wilayah ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Khusus di sektor industri, perhatian pemerintah terarah pada hilirisasi sumber daya alam serta pengembangan industri berteknologi tinggi.
Hilirisasi ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing ekspor. Industri makanan, minuman, tekstil, dan produk tekstil menjadi sektor prioritas.
Di sisi lain, penerapan ekonomi hijau menjadi strategi yang tidak kalah pentingnya untuk mendukung transformasi ini, dengan menjaga keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas.
Transformasi digital dan ekonomi hijau dipandang sebagai fondasi utama untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing Indonesia di pasar global.
Namun, salah satu tantangan terbesar adalah kemiskinan yang terkonsentrasi di sektor pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hampir separuh dari penduduk miskin ekstrem Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Mayoritas dari mereka adalah buruh tidak tetap atau bahkan tidak mendapatkan bayaran. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi kantong kemiskinan terbesar di Indonesia.
Selain itu, sifat hidup yang berpindah-pindah dari sebagian penduduk miskin ekstrem menyulitkan pemerintah untuk mendata mereka secara akurat.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar, menyampaikan bahwa sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar terhadap statistik kemiskinan nasional.
Oleh karena itu, pemerintah berencana mengembangkan data tunggal untuk memastikan semua penduduk miskin dapat teridentifikasi dan mendapatkan penanganan yang tepat.
Keberadaan data tunggal ini dipandang sebagai langkah strategis untuk mengelompokkan penduduk miskin berdasarkan karakteristik tertentu, seperti usia, sektor pekerjaan, hingga penyebab kemiskinan.
Dengan cara ini, program pengentasan kemiskinan dapat dirancang lebih efektif. Misalnya, masyarakat usia produktif yang kehilangan pekerjaan dapat diberdayakan melalui pelatihan keterampilan.
Di sisi lain, lansia yang tidak memiliki perlindungan sosial membutuhkan program bantuan khusus.
Data yang akurat juga akan menjadi pedoman penting bagi kementerian dan lembaga terkait dalam menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Transformasi ekonomi melalui RPJPN 2025-2045 adalah visi besar untuk menciptakan Indonesia yang lebih sejahtera, merata, dan maju.
Namun, keberhasilannya membutuhkan kerja sama lintas sektor, termasuk pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Dengan kebijakan berbasis data serta langkah-langkah konkret, Indonesia memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan kelas menengah dan menjadi negara maju.
Editor: Norben Syukur