PARBOABOA, Sudan - Pemerintahan Sudan, salah satu negara di Afrika Selatan kacau balau setelah tentara militer berhasil mengambil alih kekuasaan. Abdalla Hamdok yang merupakan Perdana Menteri di Sudan memutuskan mundur dari jabatannya di tengah protes massal warga yang menolak kudeta militer tersebut.
Adapun kudeta militer di Sudan ini dilakukan oleh kekuatan militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan pada 25 Oktober 2021 lalu. Pada saat kudeta, Jenderal Abdel Fattah kemudian mengumumkan pembubaran seluruh pemerintahan sipil dan menahan Hamdok.
Masyarakat yang tidak terima kudeta tersebut, kemudian melakukan demonstarsi massal pada 21 November 2021, pemerintah militer kemudian mengumumkan untuk mengangkat kembali Hamdok sebagai Perdana Menteri Sudan dengan kesepakatan akan digelarnya pemilu pada pertengahan Juli 2023 mendatang.
Beberapa media sempat mengabarkan jika Hamdok tidak berada di kantornya, sebelum mengeluarkan pernyataan mengenai pengunduran dirinya. Dalam pidato pengunduran dirinya, Hamdok mengatakan dirinya telah berusaha untuk mencegah negaranya jatuh dalam bencana. Namun menurutnya semua usaha itu tidak membuahkan hasil.
"Saya memutuskan untuk mengembalikan tanggung jawab dan mengumumkan pengunduran diri saya sebagai perdana menteri, dan memberikan kesempatan kepada siapa pun dari negara mulia ini untuk membantu negara ini melewati masa transisi menuju negara sipil yang demokratis," kata Hamdok dalam pidato yang disiarkan televisi, dikutip dari AFP, Senin (3/1/2021).
Setelah Hamdok mengundurkan diri, politik dan kepemimpinan di negara tersebut semakin dipenuhi dengan ketidakpastian.
Penolakan Kudeta Militer di Sudan
Pengembalian Hamdok ke posisinya sebagai Perdana Menteri tidak membuat masyarakat menghentikan penolakan kudeta. Para demonstran anti-kudeta menegaskan ketidakpercayaannya pada Jenderal Burhan dan janji-janjinya mengawal Sudan menuju demokrasi penuh.
Bahkan pada Minggu (2/1/2022) masyarakat kembali turun kejalanan dan berhadapan dengan militer yang dilengkapi dengan senjata, gas air mata, dan pemutusan saluran telekomunikasi. Dalam aksi demo ini, pasukan keamanan dilaporkan telah menyebabkan 3 orang tewas. Salah satu korban meninggal setelah tertembak di dada dan 2 korban lainnya mengalami cedera di kepala. Saat ini tercatat setidaknya 57 orang telah meninggal dunia setelah kudeta militer ini terjadi.
Perjalanan Kepemimpinan di Sudan setelah kemerdekaan
Sejak merdeka pada tahun 1956, pemerintahan di Sudan sudah mengalami kekacauan politik. Kudeta militer pertama kali terjadi di negara tersebut hanya 2 tahun setelah kemerdekaan. Pada tahun 1958 negara tersebut berhasil dikudeta oleh Jenderal Ibrahim Abboud melengserkan pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri Ismail Alazhari.
Pemerintahan militer ini sempat berjalan dengan baik, namun karena sejumlah masalah ketidakstabilan ekonomi dan inflasi yang tidak terkendali, masyarakat akhirnya melakukan demo dan melengserkan pemerintahan tersebut pada tahun 1964.
Setelah Abboud lengser, Sudan kembali ke pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Atim Al-Khalifa sebagai perdana menteri dan Ismail Al-Azhari sebagai presiden. Namun pemerintahan ini tidak berlangsung lama, karena kudeta militer kembali terjadi pada tahun 1969.
Kudeta kali ini dipimpin oleh Kolonel Gaafar Nimeiry. Sebelumnya saat Abboud masih berkuasa, Gaafar Nimmery pernah mencoba melakukan kudeta, namun gagal. Nimmery berhasil memimpin Sudan selama 16 tahun sebelum digulingkan pada tahun 1985. Dalam masa kepemimpinannya Sudah masih dalam kondisi ekonomi yang sama.
Ketidakpuasan masyarakat kembali menjadi alasan dilengserkannya Nimeiry dari jabatannya. Kali ini kudeta dilakukan oleh Marsekal Abdel Rahman Suwar Al-Dahab, menteri pertahanan merangkap panglima Angkatan Bersenjata saat itu. Namun, Marsekal Abdel memilihkan menyerahkan kepemimpinannya kepada pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Ahmed Al-Mirghani yang terpilih secara demokratis pada Mei 1986 dan menjadikan Sadiq al-Mahdi sebagai perdana menteri.
Sialnya, lagu lama terulang kembali. Omar Al-Bashir, seorang kolonel Angkatan Darat Sudan melengserkan Al-Mirghani. Omar al Bashir memimpin Sudan dengan otoriter selama 30 tahun. Setelah merebut kekuasaan pada tahun 1989, Bashir kemudian membubarkan pemerintahan, partai politik, dan serikat dagang lalu mendeklarasikan diri sebagai Ketua Dewan Komando Revolusioner.
Pada 1993, Bashir membubarkan Dewan Komando Revolusioner dan mengembalikan pemerintahan sipil, dan mengangkat dirinya menjadi presiden. Pada pemilihan umum 1996, Bashir menang dengan meraih 75 persen suara. Empat tahun kemudian, dia kembali menang dengan meraih 85 persen suara. Pada pemilu 2015, Bashir menang dengan meraih 94 persen suara. Namun, kelompok oposisi memboikot hasil itu karena dianggap penuh kecurangan.
Unjuk rasa kembali terjadi sejak tahun 2018 yang menuntut untuk mendesak Bashir turun dari jabatannya. Hingga pada tahun 2019, Bashir secara resmi dilengserkan oleh militer Sudan.
Presiden sekaligus Menteri Pertahanan Sudan Letjen Ahmed Awad Ibn Nauf mendeklarasikan diri sebagai kepala negara de facto. Letjen Ahmed kemudian mundur dan menunjuk Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan sebagai pemimpin pemerintahan. Pemerintahan militer kemudian mau berbagi kekuasaan dengan pihak sipil. Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan sejumlah pejabat tinggi pun dipilih untuk mewakili sipil dalam dewan pemerintahan transisi.
Namun hanya berselang 3 tahun setelah lengsernya Omar al Bashir, Sudan kembali dikudeta miiter, yang menyebabkan Perdana Menteri Abdalla Hamdok memutuskan untuk mundur dari jabatannya.