PARBOABOA, Pematangsiantar - Perubahan iklim menjadi poin utama dalam Pemilu Australia, karena berkaitan dengan serangkaian bencana alam terus yang melanda negeri itu.
Dilansir BBC, Jumat (20/5/2022), banyak penduduk di 'Negeri Kanguru' merasa putus asa menghadapi bencana alam.
"Mengerikan sekali, segala daya upaya serta waktu yang Anda habiskan untuk (membangun) rumah dan melihatnya tenggelam," kata Sam Bowstead kepada BBC.
Sam bukan orang sembarangan. Ia merupakan arsitek yang khusus membangun perumahan tahan bencana alam.
Tapi ketika banjir menenggelamkan rumahnya yang terletak di Kota Brisbane Februari lalu, ia merasa tak berdaya.
"Saya telah bekerja untuk membantu orang-orang yang mengalami situasi serupa, sekarang ini terjadi kepadaku," ujarnya lirih.
"Saya terkejut melihat betapa cepatnya air naik, lebih dari satu meter dalam dua jam. Saya yang awalnya takut rumah kebanjiran jadi berubah menjadi takut mati."
Yang dialami Sam akhir-akhir ini dialami juga oleh banyak warga Australia. Banjir kini dianggap umum karena sering terjadi.
Belum lagi masalah kebakaran hutan yang semakin memburuk dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Kebakaran hutan dan banjir telah mencetak rekor karena menewaskan 500 orang dan miliaran hewan di seantero benua itu.
Kekeringan, angin puting beliung, dan ombak raksasa semakin menghantui penduduk. Belum lagi masalah tingginya biaya hidup.
Perubahan iklim saat ini menjadi masalah kunci bagi warga Australia untuk memberikan suara mereka dalam Pemilu yang berlangsung Sabtu (21/5/2022).
Australia juga tengah menghadapi 'krisis asuransi'. Satu dari 25 rumah diperkirakan tak memiliki asuransi pada 2030. Menurut laporan Dewan Iklim, satu dari 11 rumah bahkan berisiko tak dapat diasuransikan.
Itu karena asuransi bagi perumahan yang berisiko tinggi terpapar bencana alam akan semakin mahal atau bahkan tidak diterima oleh penyedia layanan asuransi.
"Perubahan iklim langsung dirasakan di sini. Banyak masyarakat yang merasa mustahil bagi mereka untuk mengasuransikan rumah dan bisnisnya," kata Kepala Eksekutif Dewan Iklim Amanda McKenzie.
Di antara sejumlah wilayah di Australia, Queensland merupakan yang terparah. Sekitar 40 persen dari 500.000 rumah diperkirakan bakal tak dapat diasuransikan.
Negara bagian itu dalam beberapa bulan terakhir telah dilanda banjir bandang. Pada Februari, ibu kota negara bagian Queensland, Brisbane, mengalami 70 persen peningkatan curah hujan tahunan hanya dalam tiga hari.
"Saya trauma jika hujan deras turun," kata Michelle Vine, penduduk yang tinggal di Brisbane bagian timur. Rumahnya hancur akibat banjir bandang.
"Kami harus pindah dari rumah kami, tak dapat dipercaya. Ini (Australia) menjadi tak layak huni," katanya dengan penuh duka.
Menurut penyedia layanan asuransi, yang juga menghancurkan Negara Bagian New South Wales, banjir yang melanda Australia akan menjadi banjir termahal. Bahkan, pada tahun lalu biaya asuransi sudah meroket.
"Penduduk tidak pindah menjauh dari wilayah paling terdampak oleh perubahan iklim. Malahan, (dengan bermukim) di sepanjang pinggiran kita-kota besar, mereka (penduduk) cenderung bergerak mendekati (wilayah rawan bencana oleh perubahan iklim)," kata ahli demografi dari Australian National University, Liz Allen.
Pemerintah Australia berjanji membantu pembeli asuransi untuk dapat mengajukan klaim akibat bencana alam.
Masyarakat meminta pemerintah untuk membatasi pembangunan di wilayah berisiko tinggi terdampak bencana. Mereka juga meminta pemerintah memberikan insentif untuk membangun rumah yang tahan bencana.
Namun demikian, meski ide tersebut dinilai memiliki tingkat kesuksesan tinggi, tetapi pemerintah dinilai enggan untuk melakukannya.
Sejak kebakaran hutan dahsyat yang terjadi pada 2019 hingga 2020, warga Australia telah diperingatkan agar bersiap menghadapi masa depan yang "meresahkan" akibat serangkaian bencana alam yang kian memburuk.