PARBOABOA, Pematangsiantar – Kasus pemerasan calon legislatif (caleg) kian santer terdengar dari kalangan penyelenggara pemilihan umum (pemilu).
Kali ini datang dari anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Parlagutan Harahap, Komisioner KPU Padangsidimpuan ditangkap pada Sabtu (27/1/2024) dan ditetapkan sebagai tersangka keesokan harinya, Minggu (28/1/2024).
Hadi Wahyudi, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara menduga kuat bahwa Parlagutan melakukan pemerasan terhadap seorang caleg di Padang Sidimpuan berinisial F.
Menggunakan posisinya, dia meyakinkan korban untuk mengamankan 1000 suara seharga Rp50 juta, dengan tarif Rp50 ribu per suara.
Dia bahkan mengancam bahwa suara korban akan hilang dalam proses pemilihan caleg jika tidak bersedia bekerja sama dan memberikan uang.
Namun, karena korban kekurangan dana, mereka akhirnya sepakat pada jumlah yang lebih kecil, sekitar Rp26 juta. Uang tersebut berhasil diamankan saat operasi tangkap tangan (OTT).
Selain Parlagutan, kasus serupa juga baru saja menjerat anggota Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Medan, Azlansyah Hasibuan.
Belum genap 3 bulan menjabat, Azlan terjaring OTT oleh Polda Sumut akibat memeras salah satu caleg DPRD Medan.
Azlan diamankan di hotel JW Marriott, Medan pada Selasa (14/11/2023) malam bersama dua orang lainnya, Fahmy Wahyudi Harahap (29) dan IG (25) saat menerima uang Rp25 juta dari korban.
Menurut Hadi, kasus ini dilaporkan oleh korban. Para pelaku diduga mempersulit pengurusan administrasi korban untuk menjadi caleg.
Penyelenggara Pemilu Bikin Pilu
Penangkapan para komisioner penyelenggara pemilu tidak hanya menimbulkan keprihatinan, tapi juga merusak citra dan marwah lembaga pemilu.
Seperti yang diungkapkan Mangasi Tua Purba, mantan ketua KPU Pematangsiantar. Mereka yang terpilih dan dilantik telah berjanji di hadapan pemuka agama untuk menjaga amanah tersebut, namun malah dilanggar oleh mereka sendiri.
Menurutnya, pelanggaran ini merupakan akibat dari faktor pribadi dan sosial. Secara pribadi, timbul keinginan untuk mendapatkan keuntungan instan yang berujung pada tindakan ketamakan dan keserakahan.
Sementara dari sisi sosial, perubahan status dan tekanan mendorong perilaku koruptif ini. Ini adalah refleksi dari krisis karakter dan etika yang mendalam.
"Jadi ini masuk kategori korupsi. Dia kan menerima suap, dia menerima hadiah dari caleg, dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara Negara," tuturnya kepada PARBOABOA, Sabtu (3/2/2024).
Hal ini sangat disayangkan karena bukan hanya merugikan lembaga, tapi merusak kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggara pemilu.
Tak cukup sampai situ, lemahnya sistem pengawasan internal juga dinilai menjadi penyebab terjadinya insiden tersebut.
"Kembali lagi ke persoalan pengawasan yang tidak memadai dari pimpinan atau teman-temannya di kantor, ini kan harus saling mengawasi," tuturnya.
Untuk itu, kata dia, kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas dan transparansi harus selalu diutamakan dalam setiap lini penyelenggaraan pemilu.
Editor: Yohana