Pengelolaan Pasar Horas Buruk, Kemana Biaya Retribusi Dialokasikan?

Pasar Horas Pematang Siantar (dok Parboaboa)

PARBOABOA, Pematang Siantar – Memasuki musim penghujan seperti sekarang ini, jalanan yang ada di area Pasar Horas, Kota Pematangsiantar becek, akibat tidak berfungsinya selokan dengan baik.

Kondisi itu sudah terjadi bertahun-tahun, namun tidak juga ada perbaikan, padahal pedagang rutin membayar iuran retribusi yang nilainya tidak kecil. Demikian kata Banta Tarigan, kepada Parboaboa Kamis, (28/07) siang.

“Bayangkan lah, kami selalu bayar retribusi harian Rp12 ribu, katanya untuk kebersihan. Itupun tarifnya baru naik tahun ini, dari sebelumnya Rp10 ribu,” ucap Banta yang sehari-hari berjualan buah jeruk.

Banta mengeluhkan kenaikan tarif retribusi tersebut, karena nihil perawatan pasar. “Sebenarnya kalo bisa adil-lah. Kita kasih kewajiban kita, ya maunya hak kita juga dipenuhi. Contohnya pajak (pasar) ini direhab atau diperubahilah, yang terpenting itu drainase, tidak berfungsi,” harapnya.

Pedagang lainnya, Martin yang berada di lantai dua juga mengungkapkan hal serupa, tentang penataan pasar yang buruk, padahal iuran tidak pernah absen dibayarkannya. Ia menyewa lima kios, dengan biaya besaran retribusi mencapai Rp203 ribu perbulan.

“Pasarnya gini-gini aja, entah dikeramik, dicat, dibenahi, ini tidak ada sama sekali. Sudah protes pun tapi tidak juga ada perubahan,” katanya dengan nada kesal.

Kepada Parboaboa, Martin menyayangkan penataan pasar yang tidak rapi, di mana tangga yang berfungsi sebagai akses jalan justru berubah fungsi menjadi lapak jualan. “Penataannya sekarang tidak rapi, padahal dahulu rapi. Sekarang di bawah ada jual baju dan sepatu. Dulu itu tidak ada. Di tangga itu juga aksesnya dipakai jadi tempat jualan,” ujarnya.

Sudah Mendapat Izin

Pedagang di tangga pasar, Lidia saat diwawancarai Parboaboa tentang alasannya berjualan di tempat tidak selayaknya mengaku sudah mendapat izin dari pengelola pasar. “Diberi (izin). Cuma di suruh jaga kebersihan. Sama diminta jangan dikuasai jalannya semua. Kadang, ganti atasan ganti peraturan. Jadi kapan aja bisa di gusur, ini kan jalan umum soalnya,” ucap Lidia.

Walau berjualan di tangga, Lidia mengaku tetap patuh membayar retribusi sebesar Rp10 ribu perhari. “Biaya itu hanya biaya karcis doang, Rp10 ribu. Itu sudah termasuk uang kebersihan,” katanya.

Parkir Semrawut

Pedagang juga mengeluhkan tentang penataan parkir yang semrawut. Hal itu diungkapkan Mariska yang berjualan cabai dan bawang.

“Lahan parkir berubah jadi lapak berjualan. Itu mengganggu kami yang jualan di dalam, karena itu jatah area parkir, kenapa jadi lapak pedagang? Kalo kayak gitu, kami jadinya berlomba keluar lah. Nanti orang jadi malas masuk ke dalam, karena di luar udah ada yang jualan,” ucap Mariska yang mengaku sudah melayangkan protes ke pengelola pasar.

Untuk itu, Mariska meminta pengelola agar mengembalikan penggunaan zonasi pasar sesuai peruntukannya.

“Jadi tolong dinas pasar untuk mempergunakan fasilitas sesuai dengan lahannya. Parkir untuk parkir, jangan untuk jualan. Gak adil kesannya ke kami. Soalnya kami udah bayar retribusi perbulan, belum lagi kartu identitas pedagang (KIP) kami bayar Rp300 ribu per tahun,” pinta Mariska.

Tidak Ada Kenaikan Tarif

Parboaboa melakukan konfirmasi ke Kepala Bagian Operasional Pasar Horas, Lusi Tambunan, tentang penataan pasar dan kenaikan tarif retribusi pedagang. Secara mengejutkan, justru dia membantah, karena Perusahaan Daerah (PD) Pasar Horas terakhir kali menaikkan harga retribusi pada 2016 lalu, sesuai dengan ketetapan Peraturan Walikota Nomor 900/344/IV/wk-2016.

“Tidak ada kenaikan tarif PKL, hal itu salah, karena peraturan ini sudah ada sejak 2016,” katanya.

Lusi menjelaskan, besaran tarif yang ditetapkan adalah sebagai berikut, untuk uang kebersihan Rp1.000/meter dan tarif lapak Rp800/meter.

“Awalnya pedagang berasumsi bahwa hanya mengeluarkan Rp1.800 saja, padahal harus dikalikan dengan lebar lapak yang mereka pakai. Biaya itu hanya berlaku untuk satu shift saja, mulai pukul 06.00-12.00 WIB,  shift berikutnya dari jam 12.00-18.00 WIB. Jadi sehari membayar dua shift,” paparnya.

Lusi mengatakan jika uang retribusi tersebut digunakan untuk operasional kantor, membayar gaji pegawai, membayar petugas kebersihan, keamanan dan lainnya.

“Itu udah wewenang perusahaan, contoh operasional kantor, mobil sampah, membeli cangkul. Kemudian untuk membayar gaji petugas kebersihan, keamanan dan penagih. Dengan uang yang tak sampai Rp1.000 itu, harus tetap dijaga keamanan dan kebersihan lapak dan kios. Menurut peraturan seharusnya tarif dinaikkan setiap 4 tahun sekali. Tapi kami tidak menaikkan dengan alasan kemanusiaan,” paparnya.

Terkait dengan penggunaan area tangga dan parkiran sebagai lokasi berdagang, Lusi mengatakan hal ini terjadi karena sebagian pedagang kaki lima (PKL) tidak mempunyai lapak dagangan.

“Para PKL tidak memiliki tempat untuk berdagang, tapi harus punya penghasilkan untuk makan dia dan keluargnya, kemudian untuk biaya anaknya sekolah. Tempatnya di mana selain dip asar? Kalau pasar tidak menampung, mereka akan berkeliaran di luar. Sedangkan luas pasar tidak muat untuk menampung semua pedagang. Mereka tetap boleh berjualan asalkan kami menata. Tapi, itu adalah bagian tersulit untuk menata lapak pedagang,” tandasnya.

Pasar Horas merupakan tempat belanja utama masyarakat yang tinggal di Kota Pematang Siantar. Terletak di pusat kota membuat pasar ini selalu ramai dikunjungi. Ada ratusan pedagang yang menggantungkan hidup di pasar ini, mereka berjualan bahan pokok, pakaian, sepatu, tas dan lainnya.  

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS