PARBOABOA, Jakarta – Saat ini perdagangan Indonesia sedang mengalami berbagai tantangan yang mempengaruhi transaksi perdagangan.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Perdagangan, Kasan, masalah yang dihadapi sektor perdagangan Indonesia amatlah kompleks, termasuk perubahan iklim yang telah menciptakan masalah jangka panjang.
Terlebih, saat ini World Meteorological Organization (WMO) dan the US Climate Prediction Center ENSO menyatakan bahwa Indonesia masih akan mengalami El-Nino hingga Januari 2024.
Perubahan iklim yang tidak stabil dapat mengancam pertanian karena meningkatkan risiko hama dan kekeringan yang berdampak pada hasil panen.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin, pemerintah seharusnya memiliki instrumen kebijakan jangka pendek dan panjang untuk mengatasi perubahan iklim.
“Kita jangan hanya belajar dari gangguan iklim seperti El Nino saja, terlebih dari itu kita harus terbiasa dengan perubahan iklim yang dikenal dengan pemanasan global, yang siap mengganggu produktivitas tanaman pangan setiap waktu,” jelas Benjamin kepada PARBOABOA pada Jumat, (27/10/2023)
Dalam hal ini, Benjamin menyebut program penambahan lahan pangan dan diversifikasi pangan perlu dilakukan pemerintah agar tidak hanya bergantung pada beras.
Selain itu menurut Benjamin, kebijakan jangka pendek yang bisa diambil pemerintah adalah impor beras untuk memenuhi pasokan sementara.
Pemerintah harus fokus dalam memenuhi pasokan, dengan memperhitungkan atau memperkirakan kemungkinan defisit beras yang akan terjadi di tahun depan.
Disrupsi Rantai Pasok Berpengaruh pada Lambatnya Perdagangan
Selain masalah perubahan iklim, masalah disrupsi rantai pasok juga masih menjadi pekerjaan bersama.
Pasalnya, tekanan rantai pasok akibat covid-19 membuat kemacetan di masing-masing mata rantai pasokan, seperti kontainer, pengiriman, pelabuhan, truk, kereta api, angkutan udara, hingga gudang.
Benjamin menilai, masalah utamanya ada pada ketidakstabilan ekonomi.
Selama lima tahun kebelakang, rantai pasok sangat terganggu dengan iklim bisnis yang berfluktuasi akibat situasi ekonomi yang tidak menentu.
Disisi lain, kesempatan pengembangan industri berbasiskan teknologi juga turut menuntut kemampuan pengusaha untuk beradaptasi.
Disrupsi ini terjadi dikarenakan kinerja ekonomi yang tidak stabil, belakangan tren pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan.
Karena itu, menurut Benjamin dibutuhkan alternatif ekonomi baru yang seimbang untuk mengatasi disrupsi rantai pasok yang menyebabkan melambatnya perdagangan pangan global.
“Kita membutuhkan tingkat keseimbangan ekonomi baru yang nantinya bisa memperbaiki masalah disrupsi tersebut,” pungkasnya.