PARBOABOA, Jakarta - Kehadiran Romo Magnis dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (02/04/2024) lalu memantik perdebatan.
Tak ayal, publik memberikan satire yang menyinggung posisi Romo Magnis sebagai seorang imam Katolik.
Mereka mengharapkan Romo Magnis lebih fokus pada urusan-urusan Gereja. Dinamika politik cukup diisi oleh orang-orang yang memang memiliki passion pada bidang itu.
Sebagai Tim Ahli Paslon Ganjar-Mahfud, kehadiran Profesor Filsafat STF Driyarkara itu hendak memberikan keterangan tentang persoalan selama dinamika Pemilu 2024.
Romo Magnis dianggap mampu untuk memberikan penjelasan filosofis-etis terkait siklus keterlibatan Presiden dan model pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Masyarakat Indonesia secara umum dan penganut Katolik secara khusus kemudian memberikan sejumlah penafsiran keliru. Mereka menganggap Romo Magnis terkooptasi oleh kepentingan politik Paslon 03.
Penilaian itu dimaklumi karena tidak banyak orang yang paham kedudukan dan peran Romo Magnis sebagai seorang akademisi sekaligus imam Katolik.
Jauh sebelum dihadirkan dalam kontroversi hasil Pemilu 2024, Romo Magnis sesungguhnya telah tampil untuk memberikan keterangan dalam sejumlah sengketa.
Pada Selasa (19/02/2013) yang lalu, ia pernah diminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan keterangan soal pelanggaran Kode Etik yang menjerat nama Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi dana Hambalang.
Selanjutnya, Senin (26/12/2022) dua tahun silam, ia juga pernah diminta oleh Kuasa Hukum Bharada Eliazer untuk memberikan keterangan yang meringankan dalam sidang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.
Kecakapan Romo Magnis di bidang filsafat dan etika dinilai mampu memberikan penjelasan komprehen terkait dasar-dasar etis yang dilanggar dalam sebuah perkara pidana.
Kehadirannya tentu tidak terlepas dari tuduhan-tuduhan sepihak. Tuduhan serupa muncul karena ketidaktahuan atas perannya sebagai seorang Imam Katolik dan ahli yang concern di bidang filsafat dan etika.
Gereja dan Politik
Keterlibatan Romo Magnis dalam berbagai persoalan hidup bangsa memantik pertanyaan publik. Tanggapan ini dialamatkan kepada Romo Magnis mengingat posisinya sebagai seorang imam.
Pertanyaannya, apakah ia layak terjun ke dalam dinamika politik? bukankah politik adalah sebuah arena yang “kotor” dan tidak pantas dimasuki oleh pemuka agama?
Rektor dan Dosen Filsafat Politik dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Otto Gusti Madung memberikan jawaban menarik. Menurut Otto, tugas misioner seorang imam seperti orang Kristen pada umumnya ialah mewartakan Allah yang membebaskan.
“Apa yang dilakukan oleh Romo Magnis di MK adalah bagian dari usaha Gereja untuk membangun tatanan masyarakat yang adil dan demokratis. Sebab, hanya dalam tatanan seperti itulah martabat manusia yang adalah Citra Allah dapat dihargai dan dilindungi,” tulis Otto kepada PARBOABOA, Jumat (05/04/2024).
Alumnus Hochschule für Philosophie München Jerman itu menyebutkan, sikap Romo Magnis sesungguhnya menunjukkan penolakan terhadap model berpolitik yang kotor dan sewenang-wenang.
Tanggapan serupa disampaikan oleh Founder The Indonesian Agora Research Center dan Ranaka Institute, Ferdinandus Jehalut, S.Fil, M.A. Bagi Ferdi, tidak sulit untuk menemukan pendasaran dalam Kitab Suci tentang alasan keterlibatan Gereja dalam dunia politik.
“Kalau kita membaca narasi-narasi Injil, Yesus tidak pernah bersikap netral atau abu-abu berhadapan dengan situasi sosial yang menindas, kacau, atau bobrok. Seluruh narasi Injil itu adalah narasi keberpihakan,” tulis Ferdi kepada PARBOABOA, Jumat (05/04/2024).
Secara historis, demikian Ferdi melanjutkan, Gereja sudah berkonflik dengan penguasa politik (Kekaisaran Romawi) yang mempraktikkan pola-pola kekuasaan yang menindas dan membelenggu. Berhadapan dengan sistem kekuasaan seperti itu, Gereja berani bersuara.
Alumnus IFTK Ledalero itu menyebutkan, sikap Gereja terhadap politik sesungguhnya didorong oleh semangat pembebasan.
“Dalam perkembangan sejarah, konsep misi sebagai pembebasan baru direfleksikan secara tajam sekitar abad ke-19 dan ke-20 oleh teolog-teolog pembebasan seperti Guterres, Freire, Dussel, Segundo, J. B. Metz, Girardi, dll. Tokoh-tokoh ini merumuskan misi sebagai pembebasan,” tulis Ferdi.
Karena itu, keterlibatan Romo Magnis dalam dunia politik, secara khusus kehadirannya dalam sidang PHPU kemarin memiliki pendasaran biblis-teologis yang jelas.
Kesaksiannya di gedung MK bukan saja didorong oleh keahlian di bidang filsafat dan etika, tetapi keharusan karena orientasi misionernya sebagai seorang imam Katolik.
Pelajaran untuk Gereja Masa Kini
Menurut Otto, keberanian Romo Magnis untuk berbicara di hadapan sidang MK menjadi pelajaran penting yang harus diikuti oleh para imam dan awam Katolik.
Ia berharap agar para imam dan semua pengikut Kristus terus berusaha untuk mewartakan Allah yang membebaskan dan Allah yang adalah kasih. Jalan itu sudah ditunjukkan oleh Yesus sebagai Putra Allah.
“Ia (red: Yesus) menjalin relasi yang erat dan dalam solidaritas dengan mereka yang terpinggirkan,” tulis Otto.
Keterlibatan bersama orang-orang kecil dan terpinggirkan mendorong Yesus untuk berpihak kepada mereka dan menolak semua bentuk penindasan.
Yesus tak gentar melawan semua bentuk kejahatan bahkan sampai mengorbankan diri-Nya sendiri. Ia mati di Kayu Salib untuk menebus dosa dunia.
Bagi Otto, sikap untuk bersolider dengan penderitaan manusia adalah bentuk panggilan bagi semua orang yang menamakan dirinya pengikut Kristus.
Dengan mengambil jalan penderitaan dan masuk ke dalam persoalan hidup orang yang tertindas, maka orang-orang Kristen turut terlibat dalam karya pewartaan Injil.
“Menerima undangan untuk bersikap solider terhadap penderitaan dunia dan umat manusia adalah esensi menjadi orang Kristen, esensi menjadi pengikut Kristus dan esensi menjadi imam Allah,” tutup Otto.
Sekilas tentang Romo Magnis
Romo Magnis dilahirkan di Nuremberg, Jerman pada tanggal 26 Mei 1936. Ayah kandungnya bernama Ferdinand Graf von Magnis dan ibunya Maria Anna Gräfin von Magnis né Prinzessin zu Löwenstein.
Sejak kecil, ia memiliki minat untuk menjadi seorang imam Katolik. Setelah menamatkan pendidikan filsafatnya di Pullach 1961, ia kemudian berpindah ke Indonesia. Ia belajar bahasa Jawa dan melanjutkan studi teologinya di Yogyakarta sejak 1964 sampai 1968.
Ia ditahbiskan menjadi imam Jesuit pada 1968 oleh Kardinal Justinus Darmojuwono. Setelah ditahbiskan, ia kemudian ditugaskan untuk membangun sebuah lembaga studi filsafat yang kemudian dikenal dengan nama Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
Di STF Driyarkara, ia mengajar mata kuliah Filsafat dan Etika. Ia lalu melanjutkan studi doktoral di Ludwig-Maximilians-Universität München pada 1971 sampai 1973. Disertasi doktoralnya fokus membahas pemikiran Karl Marx, filsuf Jerman yang menginspirasi lahirnya pemikiran tentang komunisme.
Setelah kembali dari München, ia kembali ditugaskan mengajar Filsafat dan Etika serta menjadi Sekretaris Eksekutif di STF Driyarkara. Ia juga pernah diminta mengajar di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) di Bandung.
Perjalanan intelektual Romo Magnis sungguh berkesan. Pasca studi doktoral, ia intens mengajar dan menerbitkan sejumlah publikasi ilmiah yang tersebar luas di dalam negeri maupun luar negeri. Ia juga sering tampil sebagai pembicara dalam seminar dan diskusi publik.
Nama Romo Magnis tidak saja dikenal sebagai seorang imam, tetapi menjadi pemikir kontemporer yang paling disegani di Indonesia. Oleh sebagian akademisi, ia bahkan dijuluki sebagai ‘penjaga demokrasi’ di Indonesia.
Editor: Defri Ngo