PARBOABOA - Meskipun pemusnahan ladang ganja telah berulang kali dilakukan, namun pembukaan ladang ganja masih tetap terjadi. Pada Rabu, 7 Juni 2023, pasukan gabungan kembali memusnahkan ladang ganja di pedalaman Desa Rao Rao Dolok, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara.
Di lahan dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (MDPL), pasukan gabungan yang terdiri dari BNN RI, Polri dan TNI, Brimob, PM, Satpol PP, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Bea Cukai itu setidaknya mencabut sekitar 12.000 batang ganja, rata-rata setinggi 100-150 cm.
Petugas juga membakar semua pohon ganja yang telah dicabut di lokasi ladang ganja tersebut.
Koordinator Narkotika Direktorat Narkotika Deputi Bidang Pemberantasan BNN RI, Kombes Pol. Guntur Aryo Tejo menyebutkan pihaknya bekerjasama dengan pihak terkait mencari tahu siapa petani, pemodal, penanam hingga siapa yang bertugas melakukan panen.
"Kita memiliki satelit untuk melihat keberadaan lokasi ladang ganja setelah mendapatkan laporan sebelumnya. Kita cek lebih dalam informasi itu dan kemudian setelah dirasa cukup dan A1, kita berangkat ke lokasi untuk pemusnahan," ucap Guntur.
Namun, tim tidak menemukan pemilik ladang ganja itu.
Catatan BNN, sepanjang tahun ini BNN telah memusnahkan tak kurang dari 32,8 hektare di di kawasan Aceh dan Madina. Di beberapa lain, seperti Aceh Besar, Gayo Lues, Aceh Utara, dan Aceh Selatan, BNN juga memusnahkan sekitar lebih dari 190.000 batang ganja siap panen dan dengan berat 95 ton ganja kering.
Menanggapi kenapa ladang ganja masih tetap ada meski sudah kerap dimusnahkan, Kombes Guntur, mengatakan perputaran uang yang cepat menjadi penyebabnya.
Tidak butuh waktu yang lama untuk sekali panen ladang ganja, katanya.
"Mereka butuh uang tapi dengan cara instan. Harga bisa berkali lipat dari harga beras dan tanaman lain. Pengonsumsi umumnya di wilayah Jawa, di luar Sumatra," ujarnya.
Guntur mengharap kesadaran masyarakat yang mengkonsumsi ganja agar berhenti. Mengingat kegiatan itu melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian efek yang dihasilkan oleh tanaman ganja menyerang dan merusak saraf otak dan anggota tubuh yang lain.
"Berhentilah konsumsi ganja. Karena jiwa dan raga akan reot dan rapuh. Tulalit dan lemah fisik. Generasi kita akan rusak jika dibiarkan mengkonsumsi ganja dan menanamnya. Itu tidak boleh, ilegal," ungkapnya.
Zat Tetrahidrokanabinol (THC) dan Cannabinoid (CBD) dalam ganja dalam beberapa kasus, seperti dalam medis, dapat meredakan nyeri dan efektif untuk mengobati Cerebral Palsy, yaitu penyakit yang diakibatkan masalah saraf dan menyebabkan pengidapnya mengalami gangguan motorik tubuh.
Pro Kontra Legalisasi Ganja
Kriminolog dari Universitas Pembangunan Panca Budi UNPAB, Dr. Muhammad Arif Sahlepi Lubis, menilai penanaman ladang ganja yang dimusnahkan BNN di Desa Rao Rao Dolok, Madina memiliki unsur kesengajaan.
“Jika sudah mencapai luasnya di atas 1 hektare atau lebih dengan jarak tanam berkisar 50 cm dengan tanaman lain dan tinggi tanaman dapat dikatakan rata, maka dapat dikategorikan bahwa tanaman itu ditanam dengan sengaja bukan faktor alam," ucapnya kepada Parboaboa.
Dia menambahkan, meskipun ganja tumbuh dengan sendirinya tak mengubah statusnya dalam kategori narkotika jenis golongan 1 sesuai UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
“Apakah tanaman itu bertuan atau tidak, maka wajib dimusnahkan,” katanya.
Dikaitkan dengan legalisasi di sejumlah negara seperti Thailand dan di sebagian Malaysia, Dr Arif menyebutkan hal itu tergantung pada kebijakan pemerintah.
Penerapan kebijakan seperti itu, katanya, harus dilihat melalui nilai yang dianut di Indonesia, dan harus melalui koordinasi dan kerjasama dengan bidang kesehatan dan para ahli hukum di Indonesia.
“Selain dilarang oleh undang-undang, di Indonesia tanaman ganja juga (dianggap) memberi efek buruk bagi kesehatan dan yang tidak bermanfaat bagi manusia,” katanya.
Berpandangan berbeda, kriminolog Prof Edy Warman mengatakan seharusnya pemerintah lebih terbuka agar bisa menjual hasil tanaman ganja Indonesia ke Amerika Serikat.
Dia mencontohkan legenda tinju dunia, Mike Tyson yang membudidayakan ganja sesuai permintaan kebutuhan industri farmasi. Petinju yang dijuluki “Si Leher Beton” itu menghasilkan hingga Rp10 miliar per bulan dari berbisnis ganja.
“Di Amerika Utara Mike Tyson memiliki ladang ganja seluas 10 hektare dan bisa mendapatkan Rp10 miliar per bulannya. Di Aceh ganja tumbuh sendiri. Kalau untuk obat legalkan saja, hasilnya dijual ke Amerika," katanya.
Menurutnya, Indonesia juga bisa melakukan hal serupa, tapi harus memperbaiki sistemnya terlebih dahulu. “Sistem perundang-undangan Indonesia harus diperbaiki dulu," ujarnya.
Dinilai Bangun Stigma Negatif Ganja
Di tengah pro kontra tentang legalisasi ganja, saat ini Direktorat Narkotika BNN menggandeng Deputi Pemberdayaan Masyarakat BNN guna menindaklanjuti upaya pemusnahan ladang ganja melalui program Grand Design Alternative Development (GDAD).
Seperti dijelaskan Kombes Pol. Guntur Aryo Tejo, melalui program ini ditargetkan terjadi alih fungsi lahan ganja menjadi lahan produktif lainnya, yang mampu meningkatkan kesejahteraan serta komoditas perkebunan khas daerah, seperti kopi, jagung, coklat dan sebagainya.
Upaya ini, jelasnya, merupakan komitmen BNN dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) sesuai dengan Pasal 111 Ayat (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman terhadap pelaku berupa hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup.
“Diharapkan masyarakat sekitar sadar akan aturan tersebut dan beralih pada tanaman produktif lain,” katanya.
Meski demikian, upaya yang juga di dalamnya mencakup pemusnahan ladang ganja, menurut Yayasan Sativa Nusantara—lembaga yang selama ini mendorong legalisasi ganja di Indonesia—, tidak akan pernah dapat merubah hakikat tanaman ganja sebagai tanaman yang bermanfaat untuk umat manusia.
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara, Dhira Narayana, menilai pemusnahan ladang ganja, seperti yang telah dilakukan di Madina, adalah hal efektif untuk membangun stigma negatif untuk ganja.
"Catatan pentingnya, tujuan dari dibuatnya regulasi ini harus mengutamakan kepentingan masyarakat, mudah diakses dan murah," ucap Dira.
Catatan penting kedua, jelasnya, obat diproduksi dalam negeri dan mengutamakan obat herbal terstandarisasi atau fitofarmaka. Karena sudah ada Permenkes 16/2022 dan 05/2023 sebagai aturan main untuk menjalankan penelitian ganja medis," kata Dira yang meyakini bahwa dalam waktu dekat Indonesia melegalkan pemanfaatan tanaman ganja.
Reporter: Raden Armand (jurnalis tulis dan foto berdomisili Medan).
Editor: Tonggo Simangunsong