PARBOABOA, Pematang Siantar - Praktik politik uang di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang diperkirakan masih menghantui Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara. Hal ini kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi para pemilih pemula.
Terlebih, partisipasi dari pemilih pemula dinilai jadi sasaran empuk para politikus yang haus suara. Bermodalkan imbalan uang yang nominalnya tidak seberapa dibandingkan efek jangka panjang terhadap perkembangan Kota Pematang Siantar.
Kondisi tersebut tentu akan merugikan kehidupan demokrasi di Indonesia,dan terkhusus di Kota Pematang Siantar.
“Kalau aku sih tergantung nanti siapa yang nyiram (memberi imbalan, red) lebih banyak lah. Lumayan kan uangnya bisa buat jajan,” ungkap Sari (bukan nama sebenarnya) seorang siswi di salah satu SMA Negeri Kota Pematang Siantar kepada Parboaboa.
Hal serupa juga diungkapkan Marlina (bukan nama sebenarnya), salah seorang mahasiswi yang tinggal di Jalan Lorong 2 Kota Pematang Siantar.
Marlina tidak mempermasalahkan jika suaranya nanti diberikan kepada politikus yang memberikan uang paling besar kepadanya.
“Karena harus ada timbal balik yang ku dapatkan secara nyata. Tergantung seberapa banyak yang ditawarkan caleg itu lah samaku,” jelasnya.
Selain Sari dan Marlina, ada pula Jordan (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di Kota Pematang Siantar yang mengaku Pileg menjadi momennya mendapatkan uang dari para politikus yang bertarung dalam kontestasi politik.
Meski merupakan pemilihan pertamanya, Jordan tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya, materi yang didapatkan dari politikus itu dapat sedikit membantu perekonomian keluarganya.
“Milih yang ngasih duit paling banyak lah bang. Uangnya lumayan bisa untuk beli beras di rumah,” katanya.
Selain pemilih pemula, pemilih yang telah beberapa kali mengikuti kontestasi pemilu, Sondang, juga mengamini praktik politik uang tersebut.
Menurut Sondang, transaksi uang dalam politik menjadi hal yang wajar.
Ia juga menjelaskan, uang yang ia dan anaknya nanti dapatkan dari politisi sangat membantu ekonomi keluarga nya walau hanya untuk beberapa hari saja.
“Sudah hal biasa itu (praktik politik uang) di sini. Bayangkan saja, di rumah kami ada 5 orang yang memilih. Kalau per orangnya dikasih Rp100 ribu saja udah dapat Rp500 ribu keluarga kami. Kan lumayan buat uang makan beberapa hari. Daripada memilih sesuai hati toh ujung-ujungnya yang dipilih juga enggak akan kerja benar mending milih yang ngasih aja (uang, red) kan,” ungkapnya.
Tak Pernah Ada Sosialisasi Tolak Politik Uang
Praktik transaksi suara yang dikhawatirkan marak terjadi menjelang Pileg menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan politik yang ada di Kota Pematang Siantar.
Masyarakat, terutama pemilih pemula, seharusnya diberikan pemahaman yang kuat tentang pentingnya partisipasi politik yang berlandaskan pada integritas dan nilai-nilai demokrasi.
Kurangnya sosialisasi terkait tolak politik uang tersebut juga belum dilakukan penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal tersebut diamini Gilbert (bukan nama sebenarnya), salah seorang pemilih pemula yang tinggal di Jalan Bali, Pematang Siantar.
“Kalau selama ini belum ada sih bang yang ku dapat (sosialisasi pendidikan politik). Di sekolah juga gak dapat. Malah di lingkunganku semua nya kayak gitu (nerima uang dari para politikus),” ungkapnya kepada Parboaboa.
Pemakluman politik uang juga dibenarkan pemilih pemula. Mereka terbiasa melihat lingkungan sekitarnya diwarnai tindakan serupa, sehingga menganggap praktik ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses politik.
Ironisnya, pemilih pemula justru merasa heran ketika para politisi yang terlibat dalam kontestasi politik tidak membagikan uang kepada masyarakat.
“Udah biasa kayak gitu bang. Enggak akan mungkin bisa menang kalau dia (politikus) enggak ngasih duit ke masyarakat,” katanya.
Sementara Margareth salah seorang siswi kelas 3 di salah satu SMA di Kota Pematang Siantar yang juga menjadi pemilih pemula di Pemilu tahun 2024 nanti, menilai politisi yang ingin mencalonkan diri di pemilu haruslah memiliki biaya politik yang besar agar nantinya dapat dibagikan kepada masyarakat untuk mendapatkan suara.
“Caleg-caleg yang nyalon itu harus punya uang yang banyak lah biar bisa dibagi-bagikan ke masyarakat. Aneh kalau caleg-caleg itu enggak punya uang banyak dan enggak bagi-bagi ke masyarakat. Bakal susah menang itu bang di sini,” katanya.
Kondisi seperti itu menunjukkan adanya kegagalan sistem pendidikan politik yang seharusnya memberikan pemahaman yang jelas tentang prinsip-prinsip demokrasi, etika politik dan kepentingan bersama.
Apalagi pendidikan politik yang berkualitas dapat membentuk pemilih pemula yang cerdas, kritis dan memiliki integritas, sehingga dapat berkontribusi nyata dalam memilih pemimpin yang berkomitmen untuk kepentingan masyarakat.
Politik Uang Jadi Strategi Jitu Raih Suara
Salah seorang bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari Kota Pematang Siantar yang enggan disebutkan namanya juga tidak memungkiri bahwa praktik politik uang memang masih menjadi strategi jitu mendapatkan suara masyarakat.
Menurutnya, praktik politik uang yang terjadi tak terlepas dari adanya permintaan masyarakat.
“Kalau mau jujur sih, hal-hal kayak gitu (praktik politik uang) masih jadi cara paling jitu untuk dapat suara dari masyarakat di sini. Masyarakat masih belum peduli visi-misi mu apa yang penting kau ngasih berapa (uang) ke mereka,” pungkasnya.
PARBOABOA mencoba meminta konfirmasi dari Bawaslu sebagai lembaga yang diamanatkan Negara untuk mengawasi Pemilu di Kota Pematang Siantar. Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada jawaban sama sekali dari lembaga tersebut.