PARBOABOA, Jakarta - Baru baru ini, rencana pembelian 12 unit jet tempur Mirage 2000-5 bekas milik Qatar dilaporkan mengalami penundaan.
Semula, Menteri Pertahanan (Menhan) RI sekaligus capres 02 Prabowo Subianto mengakui, pembelian 12 unit pesawat tersebut dilakukan untuk mengisi kekosongan jet tempur TNI AU sebelum pesawat asal Prancis, Rafale Dassault tiba di tanah air.
Namun nyatanya rencana tersebut telah ditunda. Hal ini dibenarkan oleh juru bicara Menhan Prabowo, Dahnil Anzar di Jakarta, Kamis (4/1/2024). Dahnil mengatakan, penundaan dilakukan karena keterbatasan fiskal.
Untuk sementara, kata Dahnil, Indonesia akan melakukan refrofit dan peningkatan kapasitas pesawat-pesawat F-16. F-16 adalah salah satu jet tempur andalan tanah air produksi Amerika, namun telah mampu di upgrade secara mandiri di dalam negeri.
Pengamat Militer, Khairul Fahmi mengatakan, sebenarnya sejak tahun 2019, belanja pertahanan Indonesia trennya meningkat, terutama untuk mengatasi kesenjangan dan mencapai target Minimum Essential Force (MEF) pada tahun 2024 ini.
Namun, perjalanan ini tidak mulus karena terhambat oleh stagnasi dan pelambatan di Renstra II 2014-2019 serta dampak pandemi Covid-19 yang mendorong realokasi dan refocusing anggaran.
Meskipun ada peningkatan anggaran pertahanan lagi pada tahun 2023, Fahmi menganggap angka tersebut masih kurang dari ideal.
Meskipun begitu, kata Fahmi, ini memberikan pemerintah sedikit kelonggaran untuk merealisasikan sejumlah rencana pembangunan postur pertahanan, termasuk komitmen pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang telah ditandatangani sebelumnya.
Anggaran ini juga ternyata belum cukup untuk mengakomodir rencana-rencana belanja alutsista baru dalam rangka akselerasi capaian MEF.
"Makanya kemudian pada medio 2023 disusunlah rencana akuisisi pesawat Mirage 2000-5 bekas dari Qatar sebagai kebijakan transisi untuk mengatasi kesenjangan," kata Khairul kepada PARBOABOA, Kamis (4/1/20203).
Fahmi mengungkapkan bahwa Qatar sebelumnya pernah menawarkan hibah pesawat serupa pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun waktu itu Indonesia belum melihatnya sebagai kebutuhan mendesak.
Saat itu, pesawat yang dimiliki masih dalam kondisi siap tempur, memiliki masa pakai yang cukup panjang, dan Indonesia tengah mengakuisisi pesawat baru serta terlibat dalam proyek Boramae dengan Korea.
Sejak tahun 2020, kesenjangan dalam kemampuan pertahanan dirasakan semakin membesar. Rencana akuisisi pesawat Sukhoi dari Rusia terhambat oleh alasan politik, sementara proyek Boramae belum mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan Bappenas.
"Makanya kemudian setelah mempertimbangkan sejumlah opsi, diambil kebijakan untuk mendatangkan pesawat bekas dari Qatar yang kebetulan juga satu-satunya yang ready dan lebih sederhana negosiasinya itu sebagai langkah transisi."
Namun, sayangnya, langkah transisi ini juga terhenti akibat keterbatasan anggaran.
Fahmi menjelaskan, ketika harus memilih prioritas di tengah keterbatasan, Kemhan memutuskan untuk melanjutkan rencana awal, yaitu akuisisi pesawat baru, dan sebagai langkah transisi, melakukan retrofit pesawat yang sudah ada saat ini.
Isu hangat di debat ketiga capres
Penundaan pembelian pesawat bekas asal Qatar ini tidak dengan sendirinya mengakhiri selisih pendapat di antara elit politik. Ekskalasinya justru memuncak jelang debat ketiga calon presiden, Minggu (7/1/2024).
Apalagi tema yang diusung di debat nanti beririsan langsung dengan kebijakan pembelian pesawat tempur, yaitu pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik.
Capres 03, Ganjar Pranowo, telah melempar bola panas soal ini. Ia mengatakan, dirinya sangat optimis menguasai debat sembari menegaskan, keputusan untuk membeli pesawat bekas tidak tepat.
"Kalau saya sangat optimis, kan. Kalau soal, menguasai debat itu keputusannya sesuai nggak, gitu. Dan kita tidak bisa lagi berbicara pertahanan kita tapi belinya pesawat bekas, nggak ada," kata Ganjar Pranowo.
Tak hanya itu, Ganjar juga mengatakan, dirinya telah menjaring berbagai aspirasi dari sejumlah elemen masyarakat untuk menguatkan pertahanan Indonesia.
Dalam temuan mereka, demikian Ganjar menjelaskan, banyak problem di sektor pertahanan yang belum diurus tuntas hingga saat ini, salah satunya terkait alusista.
"Saya telah menerima banyak sekali masukan, dari Komisi I, ada problem pertahanan, ada problem alusista, ada problem organisasi di dunia yang kita ikuti," katanya.
Sementara itu, cawapres 02, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan, ketimbang membeli alusista dengan harga yang fantastis, pemerintah sebaiknya menggunakan anggaran yang ada untuk memenuhi kebutuhan konkrit rakyat.
Menurut Cak imin, saat ini problem Indonesia terletak pada ketakterjangkauan fasilitas-fasilitas pendukung untuk menunjang kesejahteraan masyarakat.
Salah satu yang ia soroti adalah soal pertanian. Ia mengatakan, di tengah kondisi para petani yang memprihatinkan, sebaiknya anggaran yang ada, atau, kalau harus berutang, sebaiknya digunakan untuk kebutuhan konkrit rakyat.
"Kalau kita nggak perang, kenapa kebanyakan utang beli alat perang. lebih baik utang untuk beli alat pertanian," katanya.
Menanggapi itu, jubir Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Rayahu Saraswati mengatakan, Presiden Jokowi memberi kepercayaan kepada Prabowo Subianto untuk menjadi Menhan karena mengetahui kapasistasnya.
Karena itu, keputusan Prabowo untuk membeli alusista, kata Rahayu telah melalui serangkaian pertimbangan yang matang dari banyak aspek, termasuk ketika berencana membeli alusista dari Qatar.
"Presiden Jokowi Widodo memahami bahwa Pak Prabowo adalah ahlinya. Dari pengalaman beliau di militer, memahami alusista yang benar-benar dibutuhkan dan alusista yang ada di dunia saat ini dengan harga yang terjangkau," katanya.
Rahayu menambahkan, perlu ada edukasi ke tengah-tengah masyarakat, bahwa pemerintah tidak asal-asalan dalam membeli alusista, melainkan harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk ilmu pembuatannya dan kerahasiaan negara pembeli.
Rahayu menegaskan, pertimbangan Menhan untuk membeli alusista dari Qatar yang saat ini tertunda, telah mempertimbangan semua itu, apalagi, demikian ia menjelaskan, Indonesia dan Qatar memiliki hubungan yang baik.
Editor: Rian