PARBOABOA, Pematangsiantar - Jalan menuju pendirian Museum Bappenas masih panjang. Sejak diinisiasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Periode 2016-2019, proses persiapan pendiriannya masih terus berjalan.
Sejak gagasan pendirian museum direalisasikan pada 2019, melalui pembentukan Tim Kajian Pendirian Museum yang diinisiasi Kepala Biro Humas dan Tata Usaha (TU) Pimpinan Kementerian PPN/Bappenas Parulian Silalahi, hingga saat ini persiapannya masih berlangsung.
Tahap desain telah berjalan dan mengaplikasikan konsep metaverse dengan sentuhan teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR).
Sejak 2021, Tim Kajian Pendirian Museum juga terus melakukan riset sejarah dan eksplorasi awal tokoh-tokoh perencana pembangunan nasional. Pada tahun ini, persiapan kembali berlanjut.
Di tanggal 19-20 April lalu, Biro Humas dan TU Pimpinan Kementerian PPN/Bappenas menggelar forum diskusi seputar latar belakang, urgensi, konsep ideal, serta peran Museum Bappenas yang dikemas dalam nama Ruang Bincang #1 dengan menghadirkan panelis dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), baik internal maupun eksternal.
Dukungan Pejabat Purnabakti
Ada yang menarik dari Ruang Bicara #1. Enam pejabat purnabakti Kementerian PPN/Bappenas yang terdiri dari Syahrial Loetnan, Max Hasudungan Pohan, Widjojo, Son Diamar, Bagus Rumbogo, Herry Suhermanto, Gumilang, Slamet Seno Adji dan Endah Murniningtyas hadir sebagai panelis.
Dalam forum diskusi tersebut, mereka menyatakan dukungan terhadap pendirian museum serta memaparkan memori mengenai pengalaman mereka berkarier di Bappenas dan berbagai kisah lucu serta horor tentang Gedung Bappenas yang dahulu dikenal sebagai loji atau rumah setan.
"Saya kira ini suatu gagasan yang bagus. Karena saya dan Pak Mustofa Widjaja dahulu pernah berpikir mengenai hal ini. Bahkan ada pengembangan berikutnya seperti Institut Perencanaan, tetapi itu susah terwujud karena waktu saya di fungsional justru banyak berbicara mengenai apa sebaiknya ke depan,” kata Herry Suhermanto yang pernah menjabat sebagai Direktur Pemberdayaan Koperasi dan UKM.
Dukungan juga diberikan karena Bappenas memiliki kontribusi besar dalam pembangunan nasional. Di Zaman Order Baru, Indonesia bangkit dari keterpurukan karena adanya perencanaan pembangunan nasional dari Bappenas.
Selain menyatakan dukungan, ada pula catatan penting dari pria yang mulai berkarier di Bappenas pada 1985 itu.
Kurasi koleksi museum tidak hanya memerlukan kenangan-kenangan mengenai memori cerita, tetapi juga infrastruktur. “Barangkali banyak di gudang, komputer-komputer tua dan mesin tik,” tambahnya.
Terkait lokasi museum, panelis mengusulkan untuk mengambil tempat di Gedung Bappenas karena ada historinya. “Lokasi museum sebaiknya melekat di Gedung Bappenas. Jadi fisik dan misinya tersambung satu sama lain sehingga lebih hidup,” ujar Widjojo.
Dari sisi sejarah, gedung yang didirikan pada 1925 itu dahulu merupakan tempat perkumpulan kebatinan yang dikenal dengan gerakan spiritual masoni atau freemasonry.
Catatan lain dari panelis ialah Museum Bappenas perlu lebih menghadirkan visualisasi dengan konsep yang mengusung berteknologi tinggi (high-tech).
Tonggak Penting Bappenas
Masih dari Ruang Bincang #1, ada pula gagasan untuk memasukkan tonggak penting dalam sejarah pembangunan nasional seperti sejarah pemutusan kerja sama Indonesia dengan Belanda pada 1991, Reformasi 1998, penetapan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Program Pembangunan Nasional Periode 2005-2025 yang pelaksanaannya sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, serta pentingnya menciptakan daya jual museum agar diminati turis seperti Museum Louvre di Paris.
Pemutusan kerjasama dengan Belanda bermula ketika pemerintah melalui Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Radius Prawiro meminta Menteri PPN/Kepala Bappenas Periode 1988-1993 Saleh Afiff mengirim surat pemutusan kerja sama dengan Belanda.
“Atas perintah Menteri Radius Prawiro melalui Pak Saleh Afiff, saya bawa surat pemutusan hubungan dan bantuan dari Belanda ke Timor Timur,” ungkap Mantan Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas, Max Hasudungan Pohan.
Peristiwa bersejarah tersebut riuh diberitakan surat-surat kabar cetak Belanda dan ia membawa koran-koran tersebut ke Bappenas atas perintah Saleh Afiff.
“Mungkin koran-koran itu bisa menjadi bukti pemutusan kerja sama Indonesia dengan Belanda. Headline-nya semua bunyinya Indonesia Marah,” kisah Max.
Sementara itu, Reformasi 1998 penting perannya bagi Bappenas karena mulai mengubah sistem perencanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat madani (civil society). “Saat itu mungkin hal yang aneh, tetapi hari ini tidak,” tegasnya.