PARBOABOA, Jakarta – Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengumumkan bahwa sebanyak 15 warga negara Indonesia (WNI) yang terdampak perang saudara di Sudan berhasil dievakuasi ke gedung Kedutaan Besar RI (KBRI) di Khartoum.
Gedung tersebut telah diubah menjadi safe house untuk menyediakan perlindungan dan keamanan bagi WNI.
Menurut Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, mayoritas WNI yang dievakuasi terdiri dari keluarga yang memiliki anak kecil atau bayi serta ibu hamil.
“Ditengah situasi konflik dan pertempuran yang terjadi di Sudan, pada 18 April 2023, Perwakilan RI telah mengevakuasi 15 WNI ke Safe House di Kantor KBRI Khartoum,” ujarnya saat dihubungi Parboaboa, Rabu (19/4/2023).
Kendati demikian, berdasarkan data KBRI, terdapat sekitar 1.209 WNI yang berada di Sudan, dengan mayoritas beralamat di wilayah Khartoum, serta beberapa di antaranya tinggal di Wad Madani dan Port Sudan.
Lalu, bagaimana nasib WNI lainnya?
Judha mengatakan, situasi peperangan yang masih berlangsung di beberapa titik di Khartoum, membuat pihak KBRI sulit menjangkau WNI, begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar para WNI yang terimbas perang saudara di Sudan, tetap berada di dalam rumah masing-masing dan tidak melakukan kegiatan di luar rumah.
“Demi keselamatan, pergerakan menuju Safe House KBRI dilakukan ketika situasi keamanan sudah memungkinkan,” tuturnya.
Judha menambahkan, sebanyak 200 WNI di sejumlah kawasan Khartoum yang mayoritas berstatus Mahasiswa dan PMI juga telah mendapatkan bantuan logistik berupa mie instan, roti, beras, telur, teh, kopi dan air mineral.
“Pasokan didapatkan KBRI di tengah kelangkaan suplai logistik akibat tersendatnya distribusi barang masuk dan banyaknya toko yang tutup,” ucapnya.
Sementara itu, pertempuran antara tentara Sudan dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di Sudan dilaporkan telah menewaskan 185 orang dan melukai 1.800 lainnya.
Utusan PBB untuk Sudan, Volker Perthes mengatakan, kedua pihak awalnya menyetujui gencatan senjata kemanusiaan selama tiga jam.
Namun, keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda kesediaan untuk melakukan negosiasi, sehingga pertempuran terus berlanjut bahkan setelah itu.
"Kedua pihak yang bertikai tidak memberikan kesan bahwa mereka menginginkan mediasi untuk perdamaian segera," ujar Perthes melalui tautan video dari Khartoum.
Pertempuran di Khartoum dan kota kembar Omdurman dan Bahri yang bersebelahan merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade dan dinilai berisiko memecah Sudan menjadi dua faksi militer yang telah berbagi kekuasaan selama transisi politik yang sulit.