PARBOABOA, Jakarta - Tradisi perburuan ikan paus di Lamalera, Kabupaten Lembata, NTT akan segera dimulai.
Model perburuan tradisional ini hendak mewarisi pengetahuan dan keterampilan dari nenek moyang Lamalera di zaman dahulu.
Secara umum, tradisi perburuan paus dimulai dengan melaksanakan Leva Nuang. Dalam bahasa setempat, Leva Nuang atau ‘musim melaut’ adalah tahapan penting bagi masyarakat untuk memulai perburuan paus.
Masyarakat Lamalera yakin, Leva Nuang menjadi kesempatan dimana ikan paus mulai bermigrasi melewati perairan sekitar Lamalera.
Seli Bataona (64), salah seorang penduduk Lamalera menyebutkan bahwa Leva Nuang tidak hanya sekedar momentum tahunan.
“Itu justru kesempatan ketika laut memberikan rezeki untuk menopang kehidupan kami,” ungkapnya kepada PARBOABOA, Senin (23/04/2024).
Baginya, Leva Nuang tidak hanya merupakan waktu yang penting secara ekonomis, tetapi juga momen yang memperkuat ikatan sosial dan spiritual antar sesama mereka.
“Leva Nuang itu waktu Tuhan. Alam telah memberikan rezeki yang harus kami manfaatkan dengan bertanggung jawab,” tambah Seli.
Dalam kehidupan masyarakat di Lamalera, demikian Seli menjelaskan, terdapat dua tradisi unik yang masih dipertahankan sejak zaman nenek moyang, yaitu Leva dan Penete.
Tradisi Leva dilaksanakan oleh kaum laki-laki yang menangkap ikan paus di Laut Sawu menggunakan peralatan sederhana.
“Jadi, Leva itu berbeda dengan Penete. Leva dijalankan oleh kaum pria karena tanggung jawab mereka sebagai kepala rumah tangga,” ungkap Seli.
Sementara tradisi Penete dijalankan oleh kaum wanita. Mereka bertanggung jawab menjual daging paus dan hasil tangkapan lainnya.
Proses penjualan umumnya dilakukan melalui sistem barter dengan hasil bumi dari daerah pedalaman Lembata guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Secara periodik, Seli menjelaskan bahwa tradisi perburuan ikan paus tradisional akan dimulai sejak Mei sampai Oktober di setiap tahun.
Leva Nuang terlebih dahulu diawali dengan ritual Tobu Nama Fatta yang dijalankan pada tanggal 29 April. Adapun lokasi utama pelaksanaan ritus terjadi di pesisir pantai Lamalera.
Sedangkan tiga suku yang terlibat adalah suku Levotuka, Bataona, dan Blikololong. Ritus akan dipimpin oleh seorang Tuan Tanah atau Tana Alap yang berasal dari Suku Langovujo.
Seli menjelaskan, ritual Tobu Nama Fatta menjadi wadah diskusi untuk mengevaluasi hasil tangkapan tahun lalu dan mempersiapkan musim melaut yang akan datang.
Sehari setelah pelaksanaan ritus ini, masyarakat akan melanjutkannya dengan satu ritus lain yang disebut Le Gerek. Di sini, mereka memberi makan leluhur di ‘Batu Paus’ yang berada di Gunung Labalekan.
Ritual ini mengungkapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan sepanjang tahun lalu dan memohon hasil tangkapan yang melimpah untuk tahun ini.
Sore harinya, masyarakat akan beramai-ramai mengadakan Misa Arwah yang menggabungkan tradisi Katolik dengan kepercayaan lokal.
Mereka akan berdoa bagi arwah leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal. Misa diakhiri dengan pelepasan lilin secara bersama ke laut sebagai simbol doa dan penghormatan.
Musim Leva Nuang baru dimulai secara resmi pada 1 Mei yang ditandai dengan Misa Leva.
Seorang Pastor sebagai Pimpinan Umat Katolik setempat memberkati seluruh masyarakat serta peralatan yang akan digunakan untuk melaut, antara lain perahu penangkap paus (peledang) dan tombak (tempuling).
Di akhir acara, mereka akan melakukan pelepasan simbolik Peledang Prassosapang ke laut yang menandai dimulainya musim perburuan.
Selain melewati sejumlah ritual tersebut, masyarakat juga memperbaiki peralatan untuk melaut, seperti mengasah tempuling dan memastikan bahwa pledang dalam kondisi baik.
Bagi Seli, perburuan ikan paus di Lamalera bukan hanya kegiatan yang bersifat ekonomis, tetapi juga spiritual.
“Leva Nuang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi menjadi ekspresi dari hubungan kami dengan leluhur dan alam Lamalera,” ungkapnya.
Rangkaian ritual yang bersifat inkulturatif telah menunjukkan kuatnya iman masyarakat. Di satu pihak, mereka memiliki kepercayaan kepada leluhur, tetapi di pihak lain mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan sebagai orang Katolik.
Tokoh utama yang berperan sebagai juru tikam disebut 'lamafa'. Biasanya, setiap suku di Lamalera memiliki seorang ‘lamafa’ yang bertugas menghadapi ikan paus secara langsung dalam pertarungan yang menegangkan dan berbahaya.
Perburuan dilakukan dengan penuh rasa hormat terhadap alam dan leluhur. Lamafa hanya akan memburu ikan paus jenis tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan populasi paus di waktu-waktu mendatang.
“Kita tidak bisa sembarang bunuh paus. Kalau ada paus yang sedang hamil tidak boleh bunuh. Juga jenis paus biru. Itu dilarang,” ungkap Seli.
Meskipun tradisi ini sangat dihormati, Seli menyebut ada banyak tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Lamalera.
Tantangan itu antara lain soal perubahan iklim yang mempengaruhi migrasi ikan paus dan tekanan dari komunitas internasional terhadap praktik perburuan tersebut.
“Apapun tantangannya, kami akan terus berusaha menyeimbangkan antara pelestarian tradisi dan tanggung jawab terhadap lingkungan,” tutup Seli.
Editor: Defri Ngo