PARBOABOA, Jakarta - Misi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mencapai kota global harus didukung banyak pihak.
Di level politik, momen ini perlu dijemput dengan memberi ruang lahirnya pemimpin atau gubernur yang punya komitmen kuat menyokong misi tersebut.
DKI merupakan salah satu daerah yang pada November nanti mengikuti Pilkada serentak pemilihan gubernur (Pilgub).
Saat ini, ada beberapa nama yang digadang-gadang sebagai calon gubernur terkuat.
Beberapa yang mencuat ke publik adalah Anies Baswedan, Basuki Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tri Rismaharini, Andika Perkasa, Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni dan beberapa nama lain.
Meski beberapa nama ini belum secara terang-terangan menyatakan kesiapannya, tetapi kehadiran mereka telah menjadi perbincangan di publik-luas.
Hal ini tentu saja tidak mengherankan mengingat mereka adalah politisi kawakan sekaligus figur publik yang namanya tidak asing lagi.
Anies misalnya, merupakan mantan Gubernur DKI sekaligus mantan calon presiden pada pilpres Februari 2024 kemarin. Demikian Ahok, juga merupakan mantan gubernur DKI.
Andika Perkasa mantan Panglima TNI, Tri Rismaharini Mantan Wali Kota Surabaya sekaligus Menteri Sosial saat ini, Ridwan Kamil mantan Gubernur Jawa Barat dan Ahmad Sahroni anggota DPR RI beberapa periode.
Di tengah beredarnya nama tokoh-tokoh ini, pertanyaan yang muncul adalah figur seperti apa yang cukup representatif menahkodai DKI melanjutkan misi kota global?
Inisiator Jakarta Barometer, Jim Lomen Sihombing punya catatan menarik soal ini. Kata dia, Jakarta membutuhkan pemimpin yang punya komitmen kuat meneruskan misi kota global.
Menurutnya, figur tersebut bukan orang yang berambisi meraih kekuasaan, apalagi sekedar batu loncatan menjadi calon presiden berikutnya.
Ia menegaskan, pembangunan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kota global harus terus hidup, sehingga sangat dibutuhkan sosok gubernur punya integritas dan komitmen.
"Bukan dia yang sekedar mencari kekuasaan, apalagi menjadikan Jakarta sebagai batu loncatan buat nyapres," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (9/5/2024).
Lebih lanjut Jim Lomen membeberkan alasan kenapa pembangunan Kota Global harus berkesinambungan.
Menurut dia, di masa transisi Ibu Kota Negara, banyak hal yang harus dijaga dan ditingkatkan guna mendongkrak peringkat Jakarta di mata dunia.
"Bicara Jakarta sebagai Ibu Kota Negara tentu sudah kokoh. Tapi sebagai daerah khusus dan sedang metamorfosis menjadi kota bisnis kelas dunia, Jakarta memerlukan pembangunan berkesinambungan," tegasnya.
Jim Lomen mewanti-wanti pentingnya kesinambungan pembangunan karena tradisi politik Indonesia cenderung ganti pemimpin/gubernur maka ganti pula kebijakannya.
"Secara politik itu hal wajar, tapi untuk transisi seperti ini, nasib Jakarta jangan dipertaruhkan," tegas pria yang akrab disapa Jim itu.
Sementara, menanggapi isu Anies Baswedan Kembali mencalonkan diri di Pilkada DKI, ia menyarankan agar Mantan Rektor Paramadina itu tidak banyak berakrobat politik, apalagi setingkat daerah.
Menurutnya, usai Anies kalah di Pilpres sebaiknya fokus pada agenda-agenda nasional dengan menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan yang baru.
Karena, demikian Jim Kembali menegaskan, "Jakarta itu perlu sosok yang bisa merajut kerjasama lintas sektor."
Kemudian bisa mengkonsolidasi daerah Aglomerasi, membangun koneksitas yang baik dengan Pemerintah Pusat, terlebih memahami setiap sudut Jakarta dengan berbagai masalahnya.
"Kalau soal Anies kan dia sudah kelas capres, turun lagi jadi cagub itu namanya akrobat politik," kata dia.
Tetapi kalau Anies tetap ngotot, kata Jim itu hanya akan mendegradasi Anies yang sebelumnya dipandang memiliki kualitas kepemimpinan nasional.
"Pada akhirnya hanya berakrobat mengejar kekuasaan. Terlebih, Anies tidak punya partai politik, juga bukan kader partai," Tutupnya.
Diketahui, daya tawar gubernur DKI untuk memperoleh tiket capres memang sangat potensial dan beberapa telah terbukti, salah satunya Presiden Jokowi.
Sebelum diusung jadi capres hingga terpilih dalam 2 periode, Jokowi menjabat gubernur DKI selama kurang lebih 2 tahun (15 Oktober 2012-16 Oktober 2014).
Ia tidak menyelesaikan masa jabatannya karena keburu menerima tawaran jadi capres yang diusung oleh sejumlah partai politik.
Langkah ini diikuti oleh Anies Baswedan. Tapi berbeda dengan Jokowi, Anies terlebih dahulu menyelesaikan masa kepemimpinannya meski hanya dalam 1 periode.
Meski banyak yang mendukung Langkah Anies kala itu untuk jadi capres, tapi ada juga pihak yang menyayangkan - mengingat, menurut mereka, Anies harus tetap di DKI agar pembangunan yang ia rintis dapat dilanjutkan.