PARBOABOA, Jakarta - Gabungan tujuh organisasi kemahasiswaan atau lebih dikenal dengan sebutan Cipayung Plus bersama Badan Eksekusi Mahasiswa (BEM) Universitas Papua (Unipa) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menarik militer dari tanah Papua.
Permintaan itu disampaikan Cipayung Plus dan BEM Unipa dalam rangka memperingati ulang tahun ke-75 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Minggu (10/12/2023).
Mereka mengatakan, aparat dan anggota militer berkontribusi menciptakan pelanggaran HAM berat di Papua.
Karena itu, menarik mereka dari Papua merupakan salah satu cara menghentikan kekerasan di tengah-tengah masyarakat.
"Kami mendesak kepada Presiden Republik Indonesia segera tarik militer organik dan nonorganik di seluruh tanah Papua," demikian pernyataan sikap Cipayung Plus dan BEM Unipa yang diterima PARBOABOA, Rabu (13/12/2023).
Selain itu, mereka mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di tanah Papua yang belum tuntas hingga saat ini
Di antaranya Biak berdarah pada 6 Juli 1998, Paniai berdarah 8 Desember 2014, Waemena berdarah 4 April 2023 dan pengungsian rakyat sipil di Nduga sejak 6 tahun lalu hingga saat ini.
Komnas HAM RI juga diminta segera membentuk dan meminta pansus investigasi pelanggaran HAM mengusut-tuntas pelanggaran HAM yang belum diselesaikan di seluruh Indonesia, khususnya di Papua.
Kasus lain adalah eksploitatif berlebihan oleh perusahaan ekstraktif dan perusahan kelapa sawit terhadap tanah adat masyarakat, seperti yang terjadi di Boven Digoel dan di beberapa lokasi lainnya.
Mereka menaruh harapan besar, agar negara segera mengintervensi dominasi pengusaha-pengusaha raksasa di tanah Papua, dengan memastikan warganya hidup sejahtera dan tanpa ketakutan untuk mengolah dan menikmati hasil pertanian dari tanah ulayatnya sendiri.
Cipayung Plus yang terdiri dari GMNI, HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI dan KAMMI bersama BEM Unipa menyampaikan beberapa poin tuntutan di atas dengan mendatangi langsung Kementerian Hukum dan HAM perwakilan Papua Barat, Senin (11/12/2023).
Mereka meminta agar ada kejelasan penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
"Kami sampaikan, ini suatu ungkapan isi hati, dan merasakan dinamika yang terjadi di tanah Papua, maka dengan harapan kami bahwa, Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat mohon ditidaklanjuti apsirasi kami," demikian permintaan mereka.
Mereka meminta agar pelaku pelanggaran HAM diadili melalui sistem peradilan pidana, bukan hanya dengan penanganan internal atau ditangani hanya sebatas sebagai pelanggaran disiplin.
Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak boleh menggantikan proses peradilan di lingkungan peradilan umum.
Apalagi, Komite HAM PBB dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif.
Melalui badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan maupun penghukuman terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi korban.
Tindak Tegas Oknum Ormas Pemukul Mahasiswa Papua di NTT
Cipayung Plus dan BEM unika juga mengutuk keras pemukulan terhadap mahasiswa Papua di Kupang, NTT oleh oknum anggota ormas yang terjadi pada 1 Desember lalu.
Mereka menilai, apa yang dilakukan oknum anggota ormas Garuda dan Garda Flobamora, merupakan bentuk pembukaman demokrasi karena mengintimidasi orang yang menyampaikan pendapatnya.
Lantas mereka meminta Kapolda NTT dan Kapolri mengevaluasi kerja-kerja anggotanya di NTT dan menghukum berat pelaku.
Menurut mereka, proses hukum yang tegas harus dilakukan segera agar tidak ada lagi orang yang ketakutan untuk menyampaikan aspirasi-aspirasinya.
Mereka menyangsikan tindakan tersebut, dan berkata "kami mengutuk keras pembungkaman ruang demokrasi, yang dibungkam ormas Garuda dan Garda Flobamora terhadap mahasiswa Papua AMP di NTT, tanggal 1 Desember 2023 segera diadili proses hukum."