Menyoal Perubahan Status Cagar Alam Mutis Menjadi Taman Nasional

Deklarasi perubahan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional (Foto: ksdae.menlhk.go.id)

PARBOABOA, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belakangan getol melakukan perubahan status Cagar Alam menjadi Taman Nasional (TN).

Sejauh ini, tercatat sekitar 55 Cagar Alam yang telah diubah statusnya menjadi TN. Terbaru, Cagar Alam Mutis Timau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga berubah bentuk menjadi TN melalui SK Menteri LHK Nomor 946 Tahun 2024. 

Perubahan status diumumkan secara resmi dalam kegiatan Deklarasi Taman Mutis Timau pada Minggu (08/09/2024) di kawasan Mutis Timau, NTT.

Mengutip laman KLHK, disebutkan bahwa perubahan status Cagar Alam Mutis bertujuan melestarikan kondisi habitat, biofisik, dan lanskap kawasan tersebut. 

"Selain itu, perubahan status ini juga bertujuan untuk mengintegrasikan wilayah eks Cagar Alam dengan kawasan Hutan Lindung yang ada di sekitarnya." 

Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam deklarasi status Mutis menekankan betapa pentingnya pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. 

"Taman Nasional Mutis Timau tidak hanya berperan sebagai paru-paru bagi NTT, tetapi juga simbol dan wujud nyata dari komitmen kita dalam melestarikan kekayaan alam Indonesia," ungkap Siti, Minggu (08/09/2024).

Pasca putusan tersebut, gelombang protes bermunculan. Pada Selasa (17/9/2024), misalnya beredar luas petisi online "Tolak Perubahan Status Cagar Alam Mutis Menjadi Taman Nasional!". 

Petisi ini mencakup beberapa poin keberatan, salah satunya adalah anggapan bahwa perubahan status Mutis tidak representatif, karena tidak mewakili seluruh Komunitas Timor. 

Selain itu, petisi tersebut juga menyebutkan bahwa Forum Sejarah dan Budaya Timor Pusat Indonesia, yang memiliki 46.504 anggota, secara tegas menolak perubahan status Mutis menjadi TN.

Serupa, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) melalui Presidium Gerakan Kemasyarakatan, Raymundus Tolok juga mengungkapkan keprihatinan mendalam. 

Ia menilai, perubahan status Mutis menjadi TN justru mempersulit masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah lama mendiami kawasan tersebut, serta berperan sebagai penjaga hutan Mutis.

“Banyaknya penolakan dari masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di sekitar Gunung Mutis menunjukkan bahwa perubahan status ini akan mengganggu kehidupan mereka,” ujar Raymundus dalam rilis yang diterima PARBOABOA, Senin (11/11/2024). 

Menurutnya, penetapan status TN membuat akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam yang mereka andalkan, seperti pangan, obat-obatan, dan air, akan semakin terbatas.

Raymundus juga menekankan bahwa bagi masyarakat adat di sekitar Mutis, hutan bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang sangat penting dalam tradisi mereka. 

"Bagi mereka, Mutis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan budaya yang telah berkembang selama ratusan tahun. Pembatasan akses terhadapnya akan mengancam kelangsungan tradisi mereka," tambah Raymundus.

Ia menyayangkan mengapa pemerintah tidak mempertimbangkan lebih dalam hak-hak masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait status taman nasional ini. 

"Mutis merupakan hutan milik masyarakat adat, yang harus diakui dan dijaga. Setiap intervensi dari luar, termasuk proyek-proyek pemerintah, dapat merusak kehidupan mereka," tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyerukan pentingnya pengakuan terhadap hak wilayah dan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat melalui pengesahan peraturan daerah. 

“Gunung Mutis adalah penyedia air bersih bagi beberapa kabupaten di wilayah Timor, NTT. Itu bukan milik satu pihak saja. Oleh karena itu, keputusan seperti ini harus didasarkan pada prinsip keadilan,” katanya.

Raymundus menegaskan, jika kebijakan ini justru merugikan masyarakat adat dan merusak lingkungan, PMKRI akan terus mendukung perjuangan warga yang menolak keputusan tersebut. 

“PMKRI, dengan semangat Ensiklik Laudato Si, berkomitmen menentang setiap kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan dan merugikan hak-hak masyarakat adat,” jelasnya.

Kekhawatiran yang disampaikan Raymundus bukan tanpa alasan. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bagaimana kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat dapat mengusir mereka dari tanah leluhur mereka. 

"Kami tidak ingin apa yang terjadi di tempat lain menimpa masyarakat di sekitar Gunung Mutis," katanya.

Karena itu, ia menegaskan, “KLHK perlu mengevaluasi keputusan ini untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan menghindari potensi konflik yang mungkin timbul.” 

Sekilas tentang Mutis

Gunung Mutis atau Nuaf Nefomasi merupakan gunung tertinggi di Pulau Timor dengan ketinggian mencapai 2.427 meter di atas permukaan laut (mdpl). 

Sebagai gunung tertinggi di NTT, Mutis terletak di daerah administratif antara Kabupaten TTU dan TTS serta memiliki tiga puncak utama, yaitu Nuaf Muna, Nuaf Nefomasi, dan Nuaf Nupala. 

Gunung Mutis juga menjadi rumah bagi berbagai spesies satwa, termasuk 88 spesies burung dan 8 spesies mamalia, di antaranya Kus-Kus dan Rusa Timor yang dilindungi.

Salah satu tumbuhan endemik yang terdapat di kawasan ini adalah Ampupu (Eucalyptus urophylla), yang hanya dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Ampupu dikenal karena kandungan minyak atsirinya yang memiliki banyak manfaat, seperti antibakteri, antivirus, antiinflamasi, analgesik, antiinfeksi, insektisida, dan ekspektoran. 

Selain itu, tanaman ini juga menjadi sumber plasma nutfah yang mendukung kesejahteraan masyarakat setempat. 

Umumnya, masyarakat NTT mengenal Mutis karena keindahan alamnya yang menakjubkan, termasuk keberadaan Cagar Alam Gunung Mutis yang kaya akan marmer. 

Masyarakat setempat, yang merupakan bagian dari Suku Dawan, menyebut marmer tersebut dengan nama Faut Kanaf atau batu nama.

Secara topografi, Gunung Mutis memiliki relief berbukit dan bergunung yang membentuk tapal kuda, dengan lembah besar yang membuka ke arah timur. 

Batuan penyusun gunung ini terdiri dari berbagai jenis malihan, seperti batu sebak, filit, sekis, amfibolit, kwarsit, dan granulit, dengan amfibolit sebagai komponen utama. 

Di bagian timur gunung, ditemukan batu gabro, sementara di bagian barat lazim ditemukan jenis batuan kwarsit filitan.

Mutis juga memiliki peran penting sebagai sumber air bagi tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di Pulau Timor, yaitu Noelmina dan Noel Benain di selatan, serta Noel Fail di utara. 

Pola drainase sungai di kawasan ini berbeda, di mana pola dendritis pada sungai Noel Mina dan Noel Benain di selatan sebagai akibat kompleksitas permukaan. 

Sementara pola paralel pada sungai Noel Fail terletak di utara, yang memiliki kemiringan lebih seragam.

Mutis mengalami dua musim utama, yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan November hingga Juli, dengan suhu rata-rata berkisar antara 14°C hingga 29°C. 

Pada bulan Juli hingga pertengahan Agustus, suhu dapat turun drastis hingga 9°C, yang terjadi pada puncak musim kemarau ketika angin timuran yang dingin dan kering bertiup. 

Dengan kondisi cuaca dan keanekaragaman hayati yang kaya, Mutis dijadikan sebagai kawasan yang bernilai bagi ekosistem hewan dan masyarakat sekitar.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS