PARBOABOA, Jakarta - Hari ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-78 tahun. Salah satu persoalan krusial yang selalu menjadi perhatian serius adalah kemiskinan.
Merujuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 sekitar 29,9 juta orang.
Persentase tersebut mengalami penurunan sekitar 460 ribu orang jika dibanding jumlah penduduk miskin pada September 2022.
Penurunan angka kemiskinan ini tentu menjadi angin segar, mengingat, masalah kemiskinan menjadi salah satu peroalan kompleks yang hingga hari masih terus diperjuangkan.
Sekretaris Utama BPS, Atqo Mardiyanto mengatakan, penurunan angka kemiskinan pada perioede Maret 2023 terjadi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Jika dilihat berdasarkan tempat tingkat, angka kemiskinan di perkotaan pada periode September 2022 hingga Maret 2023 mengalami penurunan sebesar 0,24 juta orang.
Semantara pada perioede yang sama, angka kemiskinan di wilayah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,2 juta orang.
Mardiyanto menjelaskan, Pulau Maluku dan Papua menjadi wilayah dengan persentase penduduk miskin terbesar, yakni sebesar 19,68%. Sementara itu, Pulau Kalimantan menjadi wilayah dengan persentase penduduk miskin terendah, yaitu sebesar 5,67%.
Kilas Balik Masalah Kemiskinan di Indonesia
Persoalan kemiskinan menjadi salah satu isu utama pra kemerdekaan yang digodok Bung Karno. Ia kemudian kembali menegaskan hal tersebut dalam pidato di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945.
“Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka,” tegas Bung Karno.
Di awal kemerdekaan, perjuangan pemerintah mengentas kemiskinan harus berhadapan dengan beragam kendala. Agresi militer yang kembali digencarkan kolonial menjadi salah satu kendala utama yang memicu instabiltas politik nasional.
Soekarno kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada periode 1959-1965 yang dalam perjalanannya merumuskan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun (Penasbede), yakni pada perioede 1961-1969. Penasbede menjadikan kemiskinan sebagai salah satu isu utama yang digodok.
Kendatipun demikian, pengentasan kemiskinan bukanlah perkara mudah saat itu. Di tengah kondisi instabilitas nasional, Soekarno mendorong diterapkannya ekonomi terpimpin.
Prestasi ekonomi pun mulai terlihat, meski pada akhirnya memicu terjadinya krisi lantaran sistem yang kurang baik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengalami defisit yang menyebabkan kondisi fiskal ekonomi lepas kendali.
Di era kepemimpinan Soeharto, perekonomian bangsa kembali ditata. Stabilisasi harga-harga kebutuhan pokok mulai gencar dilakukan sejak akhir 1966 hingga 1968.
Soeharto kemudian menggagas salah satu program populer dalam mengentas kemiskinan saat itu, yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Mengutip analasis yang dikeluarkan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, penanggulangan kemiskinan di era Soeharto menyasar tiga komponen penting, di antaranya pemenuhan kebutuhan dasar, pemberdayaan masyarakat dan pendekatan berbasis hak.
REPELITA membuahkan hasil yang maksimal saat itu. Angka kemiskinan turun signifikan. Bahkan, sepanjang periode 1979 hingga 1996 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, yakni sebesar 31,7 juta atau 1,6 juta per tahun.
Selama 20 tahun tersebut, angka kemiskinan pada 1996 berada di posisi paling rendah, yaitu 11,7 persen atau sebanyak 22,5 juta penduduk miskin.
Setelah Soeharto berhasil dilengserkan pada 1998, arah kebijakan ekonomi di Indonesia mulai berubah. Memasuki periode 2000-an, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Undang-undang ini menggodok sejumlah strategi penting dalam konteks penanggulangan kemiskinan, di anataranya penciptaan kesempatan (create opportunity), pemberdayaan masyarakat (people empowerment), peningkatan kemampuan (increasing capacity) dan perlindungan sosial (social protection).
Sejumlah peraturan kemudian dikeluarkan pemerintah, misalnya, Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002 sebagai dasar hukum dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK).
Selain itu, pemerintah juga membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005. Keberadaan KPK diharapkan mampu melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.
Tak hanya itu, sebagai penyempurnaan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koodinasi Penanggulangan Kemiskinan, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Perpres tersebut mengamanatkan untuk membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat nasional dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat provinsi. Keduanya masih secara aktif melakukan program-program penanggulangan kemiskinan.
Di era kepemimpinan Jokowi, pengentasan kemiskinan terfokus pada stabilisasi harga, program subsidi dan dana desa, serta bantuan sosial.